Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, secara spasial atau wilayah, pertumbuhan ekonomi nasional masih ditopang oleh Pulau Jawa dan Sumatra. Untuk Jawa, DKI Jakarta jadi penyumbang terbesar.
"Secara spasial, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 strukturnya tidak banyak berubah. Sepanjang 2019 provinsi-provinsi di Pulau Jawa dan Sumatera itu memberikan kontribusi terbesar pada Indonesia, di Jawa terbesar di Jakarta," kata Suhariyanto di kantornya, Jakarta Pusat, Rabu (5/2).
Sementara untuk wilayah Indonesia Timur, kondisi ekonominya tercatat negatif. Untuk Maluku dan Papua, BPS mencatat mengalami minus hingga 7,44%.
Nah sebenarnya jika dirinci, wilayah Maluku, Maluku Utara dan Papua Barat masih tumbuh ekonominya, hanya Papua yang ekonominya malah turun. Penurunannya di 2019 bahkan sangat besar, mencapai 15,72%.
Perekonomian di Papua ternyata mengalami penurunan terus menerus turun selama 5 kuartal. Hal itu disebabkan penurunan produksi tambang milik PT Freeport Indonesia.
Menurut pria yang akrab disapa Kecuk itu penurunan ekonomi di Papua sudah terjadi sejak kuartal IV-2018 yang tercatat turun 17,95%.
Sejak saat itu, setiap kuartalnya di 2019 ekonomi di Papua kontraksi. Pada kuartal I-2019 -18,66%, kuartal II-2019 -23,91%, kuartal III-2019 -15,05% dan kuartal IV -3,73%.
Menurut catatan Kecuk turunnya perekonomian di Papua disebabkan penurunan produksi PT Freeport Indonesia. Penurunan produksi itu terjadi lantaran adanya peralihan kegiatan tambang, dari tambang terbuka ke tambang bawah tanah.
"Itu penyebab utamanya adalah Freeport penurunan produksi karena ada peralihan sistem tambang itu yang menyebabkan penurunan," tuturnya.
Memang menurut data BPS pertambangan dan penggalian anjlok drastis selama 2019 yakni -43,21%. Jika dilihat secara kuartalan memang terus menurun dan terjadi juga sejak kuartal IV-2018.
Pada kuartal IV-2018 industri pertambangan dan penggalian di Papua turun -43,68%, kuartal I-2019 -48,47%, kuartal II-2019 57,48%, kuartal III-2019 38,31% dan kuartal IV-2019 19,04%.
Apa kata pemerintah pusat?
Sebenarnya pembangunan infrastruktur di Papua terbilang cukup agresif dibanding daerah lain di Indonesia. Dikutip dari laman resmi Setkab, sepanjang 2019 lalu, pemerintahan Presiden Jokowi telah mengalokasikan anggaran dalam rangka otonomi khusus, bagi Provinsi Papua dan Papua Barat hingga Rp 12,6 triliun.
Anggaran itu dibagi untuk Provinsi Papua dan Papua Barat terdiri dari dana otonomi khusus (otsus) sebesar Rp 8,34 triliun dan dana tambahan infrastruktur dalam rangka otsus sebesar Rp 4,26 triliun.
Secara rinci, dana otsus untuk Papua sebesar Rp 5,85 triliun dan Papua Barat sebesar Rp 2,51 trilun. Sedangkan dana tambahan infrastruktur untuk Papua sebesar Rp 2,82 triliun dan Papua Barat Rp 1,44 triliun.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, minusnya ekonomi terjadi lantaran belum semua proyek infrastruktur yang dibangun di Papua rampung. Lagi pula, untuk infrastruktur yang sudah terbangun tak serta merta hasilnya bisa dirasakan dalam sekejap mata.
Artinya, butuh bertahun-tahun lamanya untuk melihat dampak pembangunan infrastruktur terhadap perekonomian suatu daerah.
"Infrastruktur kan ada waktunya juga, lagipula infrastruktur proyeknya belum selesai semua," ujar Airlangga ditemui di kantornya, Jakarta, Rabu (5/2).
Airlangga pun tak memungkiri bahwa minusnya pertumbuhan ekonomi di Papua terjadi sebab sepanjang 2019 lalu produksi tambang di Freeport sedang mengalami penurunan signifikan.
"Ya itu juga salah satunya (sebab penurunan ekonomi Papua)," imbuhnya.
Untuk diketahui, Freeport telah melaporkan penurunan produksi tembaga pada kuartal IV-2019 lalu dan memperkirakan pengeluaran lebih tinggi pada tahun tersebut karena transisi tambang tembaga raksasa Grasberg di Indonesia ke penambangan bawah tanah.
Produksi tembaga di Grasberg turun 14% pada kuartal IV-2019, sementara total produksi logam turun 1,7% menjadi 827 juta pon. Freeport-McMoran saat itu mengalokasikan US$ 500 juta untuk pengembangan smelter baru di Indonesia.
Selain itu, menurut Airlangga, harga komoditas juga jadi penentu kuat yang membuat pertumbuhan ekonomi di Papua merosot sepanjang 2019 kemarin.
"Kalau kita lihat semua harga komoditas turun, apakah itu copper (tambang), nikel, kemudian juga batubara, BBM, nah itu ada faktor harga juga," katanya.