Badan Pusat Statistik melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 hanya 5,02%, jauh di bawah target 5,3% dan lebih rendah dibandingkan dengan realisasi tahun sebelumnya 5,17%.
Sejak masa pemerintahan 5 tahun terakhir ini, pertumbuhan ekonomi belum pernah tembus 5,2%. Pada 2014, ekonomi hanya tumbuh 5,01% bahkan sempat turun menjadi 4,88% pada 2015. Pertumbuhan ekonomi tertinggi terjadi pada tahun 2018 yakni 5,17%.
Dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, berdasarkan data Bank Dunia dan ADB, mereka mampu tumbuh di atas 6% pada 2019, yakni Vietnam 6,97%, Kamboja 7%, Filipina 6,5%, Myanmar 6,6%, dan Laos 6,5%.
Baca juga: Hantu Berdasi Pengganggu Investasi |
Apa yang salah?
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi Arif Budimanta mengungkapkan penyebab pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya 5,02% sepanjang 2019. Dia menjelaskan itu disebabkan nilai ekspor yang menurun dibandingkan 2018.
"Secara nilai ekspor kita alami kontraksi minus 4,86% karena aspek cyclical, bukan karena kemudian ketiadaan usaha. Usahanya sudah maksimal," kata Arif dalam Press Briefing di Wisma Negara, Jakarta Pusat (10/2/2020).
Baca juga: Sah! Perjanjian Dagang RI-Australia Diteken |
Beda dengan istana, pengamat ekonomi Bambang Haryo Soekartono justru berpandangan, melambatnya pertumbuhan ekonomi RI menunjukkan pemerintah tidak mampu mengatasi masalah domestik, meskipun sudah memacu pembangunan infrastruktur dan investasi.
"Pemerintah selalu menyebut ketidakpastian global memukul ekonomi Indonesia, padahal penyebab terbesarnya adalah masalah di dalam negeri," kata dia.
Masalah domestik yang menyebabkan ketidakpastian, antara lain inkonsistensi regulasi, upah minimum yang berbeda-beda di setiap daerah, fluktuasi bahan pokok dan energi, pungutan liar, korupsi, serta kerusakan infrastruktur.
Sebagai contoh, tutur Bambang, bawang putih yang merupakan salah satu kebutuhan pokok masih dikuasai oleh spekulan dan mafia sehingga harganya berfluktuasi dan penuh ketidakpastian.
Sejak merebak virus corona, harga bawang putih di dalam negeri tembus Rp70.000 per kg, naik lebih dua kali dari tahun lalu sekitar Rp30.000 per kg. Padahal harga wholesale-nya di China sebagai produsen utama dunia hanya USD0,76 atau sekitar Rp10.400 per kg.
Harga gas di Indonesia juga masih tinggi sehingga harga pupuk mahal. Akibatnya, harga komoditas pertanian dan perkebunan sebagai sumber pangan terus naik, seperti harga jagung Indonesia yang termasuk paling mahal di dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Masih ada peluang
Dia menilai ekonomi turun sangat tidak beralasan, sebab pemerintah sudah meluncurkan 16 Paket Kebijakan Ekonomi, membangun infrastruktur 2-3 kali lipat tiap tahun dari pemerintahan sebelumnya, serta mengucurkan kredit usaha rakyat (KUR) hingga Rp 190 triliun dan Dana Desa Rp 74 triliun per tahun.
Bahkan, hampir semua partai politik kini bergabung ke koalisi pemerintah sehingga pemerintah pusat bisa lebih mudah mengendalikan pemerintah daerah.
"Kalau pemerintah tidak mampu mengatasi masalah domestik, ya keterlaluan," ujarnya.
Tak hanya itu, Indonesia memiliki sumber daya melimpah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, baik dari sektor riil, pariwisata, pertambangan, pertanian, perikanan, maupun sumber daya manusia termasuk TKI di luar negeri.
Namun, posisi strategis Indonesia di poros maritim dunia belum dimanfaatkan maksimal. Perhatian pemerintah terhadap sektor maritim sangat minim dan justru dibebani banyak biaya, seperti pendapatan negara bukan pajak (PNBP) angkutan antarpulau naik hingga 1.000%.
"Karena Indonesia negara kepulauan, berbagai beban tambahan di sektor maritim itu akhirnya meningkatkan ongkos logistik antarpulau," ujarnya.
(dna/dna)