Industri Netral Karbon Didorong Dapat Insentif Pajak

Industri Netral Karbon Didorong Dapat Insentif Pajak

Anisa Indraini - detikFinance
Senin, 17 Feb 2020 12:50 WIB
Pekerja menyelsaikan pembuatan stainless steel strip di Pabrik milik PT. Bina Niaga Multiusaha, Cikarang, Jawa Barat, Selasa (25/08/2016). PT. Bina Niaga Multiusaha (BNM) merupakan satu-satunya produsen stainless steel strip di Indonesia dalam bentuk coil khususnya untuk material yang sangat tipis dibawah 0.2 mm sampai dengan paling tipis 0.06 mm) dan sesuai dengan standard JIS (Japanese Industrial Standard) serta Standard Pengujian Material dari Amerika yaitu ASTM. Grandyos Zafna/detikcom.
Ilustrasi Foto: Grandyos Zafna
Jakarta - Pemerintah didorong bisa memberikan insentif pajak untuk perusahaan atau industri yang sudah menjadi netral karbon atau perusahaannya dapat menyeimbangkan emisi karbon yang dihasilkan dari proses produksinya.

Pendiri Bumi Global Karbon Foundation (BGKF), Achmad Deni Daruri mengatakan, saat ini perusahaan di dunia yang telah mengarah ke sertifikasi netral karbon terus bertambah. Di antaranya, Temasek (Singapura) Wespac bank, ( Australia), Mowilex (Indonesia), dll.

"Mereka memahami bahwa periode 2020-2030 adalah periode transisi untuk climate risk sehingga diperlukan roadmap yang jelas dalam penurunan emisi dari kegiatan usahanya , agar tidak terjadi resiko biaya yang tinggi dan kebangkrutan di masa yang akan datang," kata Deni, Senin (17/2/2020).

Untuk mendukung komitmen perusahaan mengedepankan industri ramah lingkungan, di negara lain, pemerintahnya memberikan penghargaan kepada perusahaan yang sudah karbon neutral berupa insentif penurunan pajak, bunga dan kemudahan lainnya.

Selain itu, negara tersebut juga memberikan hukuman berupa pajak karbon kepada industri yang tidak mencapai target dalam penurunan emisi dari kegiatan usaha.

Deni juga menerangkan, berdasarkan laporan Word Bank Group "State and trends of carbon pricing 2019", Swedia adalah negara dengan pajak karbon tertinggi sebesar 127 dolar AS per 1 ton CO2e kepada perusahaan yang gagal menurunkan emisi sesuai yg ditargetkan.

Bahkan berdasar laporan The Global Risk Report 2020 dalam World Economy Forum di Davos Swiss, Januari 2020 negara Jerman akan menutup industri otomotif pada tahun 2030 jika masih menggunakan bahan bakar fosil.

Bank of England menyatakan industri lebih baik bangkrut jika tidak siap dengan masa transisi ini.

Di Indonesia, sebenarnya sudah banyak aturan yang mengharuskan perusahaan membuat laporan emisi, mulai dari Perpres No 61 tahun 2011 tentang Rancangan Aksi Nasional Gas Rumah Kaca, Undang-undang No 16 tahun 2016 pengesahan Paris Agreement, & POJK 51/03 tahun 2017.


"Nah, sampai saat ini hanya ada satu di Indonesia perusahaan yang mendapatkan sertifikat netral karbon," kata President Director Center for Banking Crisis ini.

Bahkan, sangat sedikit sekali perusahaan yang patuh terhadap peraturan di atas karena tidak adanya penghargaan dan hukuman yang jelas dari pemerintah.

Deni mencontohkan, pada tahun 2018 dari 134 bank dengan total aset sebesar Rp 8.633,5 triliun, hanya 2 bank yang membuat laporan emisi. Itu pun tidak seluruh kegiatan dihitung emisinya dengan benar, dengan total penurunan emisi kedua bank tersebut sebesar 5.544 ton CO2e.

Selain itu, di tahun 2018, dari total 116 BUMN dengan total aset Rp 8.112 triliun, yang melaporkan emisi hanya 7 perusahaan BUMN dengan total penurunan emisi ke-7 perusahaan tersebut hanya 3,4 juta ton CO2e.

Deni mengatakan, dalam indeks sustainability pasar modal dunia, Indonesia saat ini rangking ke-36, atau jauh di bawah pasar modal Thailand di peringkat 9 dunia.


"Sesuai undang-undang 16 tahun 2016 Paris Agreement, agar industri tidak berisiko biaya tinggi, dan mereka terhindar dari kebangkrutan di masa yang akan datang, sebaiknya masa transisi risk ini pemerintah memberikan insentif pajak kepada perusahaan yang sudah menjadi netral karbon," ujar Deni.

Selain itu, pemerintah juga harus mewajibkan seluruh kegiatan perusahaan apapun untuk membuat sustainability report yang di dalamnya terdapat hitungan emisi atas seluruh kegiataannya secara terukur, objektif, kredible, dan akurat.

"Harus ada juga alokasi dan distribusi dana CSR sebesar 25% dari semua perusahaan untuk biaya pemeliharaan hutan berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan agar mendapat penurunan emisi yang signifikan sebagai pengurang kegiatan emisi perusahaan," tutupnya.


(ang/ang)

Hide Ads