Persyaratan Analisis mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) untuk perusahaan dikabarkan dihapus dalam draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Isu itu dibantah oleh pihak Istana.
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum Dini Purwono menegaskan Amdal masih menjadi bagian dalam izin berusaha. Namun penerapannya tidak sekaku sebelumnya.
"Amdal akan tetap perlu ke depannya. Cuma sekarang lebih spesifik dilihat dari risiko," ujarnya di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (21/2/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam draf RUU tersebut persyaratan Amdal berdasarkan risiko jenis usahanya. Untuk kegiatan usaha memiliki dampak lingkungan yang tinggi persyaratannya akan semakin ketat sebelum mengurus izin lainnya.
"Dalam praktiknya kalau untuk industri yang berisiko tinggi, berkorelasi bahan baku yang berbahaya nah itu Amdal harus tetap," terangnya.
Sebaliknya bagi kegiatan usaha yang memiliki dampak negatif terhadap lingkungan yang minim akan dilonggarkan. Perusahaan cukup melakukan registrasi terlebih dahulu kemudian bisa mengurus izin lainnya.
"Kalau rendah ya nggak perlu di awal. Dia hanya dikasih tau apa yang tidak boleh dilakukan lalu dimonitor," ujarnya.
Menurut Dini urusan Amdal yang paling penting adalah pengawasan. Pemerintah akan memperketat pengawasan terkait dampak lingkungan dari kegiatan usaha yang berlangsung.
Dia menilai selama ini, urus Amdal menjadi kendala bagi pelaku usaha yang kegiatan usahanya tidak memiliki dampak berbahaya bagi lingkungan. Perusahaan wajib memiliki Amdal sebelum mengurus izin lainnya.
"Nah urus Amdal itu nggak murah. Bisa sampai ratusan juta. Enggak semua mampu. Setelah itu dokumen Amdal hanya formalitas, disimpan saja. Kalau nggak ada monitoring ya nggak bermanfaat," tutupnya.
(das/fdl)