Dana hasil penerbitan obligasi itu disalurkan oleh pemerintah kepada perusahaan berupa kredit khusus. Tujuannya untuk menjaga keberlangsungan usaha agar tidak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di tengah pelemahan ekonomi gara-gara virus corona (COVID-19).
"Recovery bonds diskusi kita belum selesai, nanti akan dibahas oleh KSSK, nanti akan kita lihat dalam 1, 2 hari ini," kata Candra saat diskusi 'Meneropong Fiscal Policy Atasi Corona, Jakarta, Selasa (31/3/2020).
Menurut Candra, rencana penerbitan recovery bonds masih dibahas dengan ketat oleh pemerintah dan KSSK lantaran adanya trauma masa lalu yakni pada mekanisme bantuan likuiditas yang pernah dikucurkan pada era 1998, yakni Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Meski demikian, Guru Besar Universitas Brawijaya menyebut aturan penerbitan recovery bonds ini akan terbit dalam beberapa hari ke depan di luar dari Perppu pelebaran defisit APBN tahun 2020.
"Mungkin itu akan dimasukkan dalam Perppu lain, tapi itu salah satu sumber pembiayaan yang harus dimunculkan," jelasnya.
Perlu diketahui, setelah menerbitkan stimulus I dan II, pemerintah sedang menyiapkan stimulus lanjutan yang tujuannya menjaga daya beli masyarakat dan keberlangsungan usaha.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan khusus yang keberlangsungan usaha pemerintah akan mengucurkan kredit khusus yang dananya berasal dari penerbitan surat utang.
"Ini untuk mengurangi PHK, kita ingin menjaga supaya perusahaan, dunia usaha yang butuh cashflow, butuh likuiditas keuangan," kata Susi saat video conference BNPB, Jakarta, Kamis (26/3/2020).
Bagi perusahaan yang ingin mendapatkan kredit khusus ini, kata Susi ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, antara lain perusahaan tidak boleh melakukan PHK, kalau pun PHK harus tetap mempertahankan 90% pegawainya tanpa mengurangi sepeser pun pendapatannya.
Surat utang yang diterbitkan pemerintah ini dinamakan recovery bonds dalam bentuk rupiah. Nantinya yang akan membeli surat utang ini adalah Bank Indonesia (BI) atau pihak swasta yang mampu melakukan ekspor.
Untuk melaksanakan kebijakan itu, Susi mengaku pemerintah harus menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) agar BI bisa membelinya.
(hek/hns)