Senior Advisor Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Fortasbi) Rukaiyah Rafik membeberkan, jika kejadian ini melebar maka akan banyak pekerja di sektor kelapa sawit yang kehilangan pekerjaannya.
"Kalau kemudian itu terjadi maka kebun tidak akan dipanen karena tidak ada pembeli, dan yang akan terjadi selanjutnya adalah, akan banyak yang kehilangan mata pencaharian, para pekerja desa itu. Mulai dari pekerja panen, pekerja pupuk, tukang semprot," kata Rukaiyah dalam diskusi online dampak COVID-19 pada petani dan buruh sawit SPKS, Jumat (24/4/2020).
Saat ini, dampak Corona utamanya sudah menyentuh para petani swadaya yang tak tergabung dalam organisasi kelapa sawit. Sehingga, para petani swadaya ini harus berjuang sendiri dalam menjual hasil panennya. Pada akhirnya, kelompok tersebut hanya bergantung pada hasil penjualan sawit untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
"Petani swadaya hanya mengandalkan sawit sebagai sumber kehidupan. Ini terancam kekurangan nutrisi. Mereka hanya berpikir bahwa kalau tidak jual sawit, tidak punya uang, dan saya tidak bisa makan, saya tidak bisa beli beras. Nah ini yang paling rentan di kelapa sawit," ungkap Rukaiyah.
Ia menuturkan, ketika harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit turun saja, ada petani yang hanya memakan mi instan untuk sarapan, makan siang, hingga makan malam. Apalagi jika hasil panen yang terancam tak terserap.
"Saya pernah melihat petani sawit itu punya lahan 2 hektare (Ha), ketika harga turun itu hanya makan Indomie, itu saja dibagi 3, pagi, siang, sore, malam. Sarapan pagi ya Indomie. Jadi itu betul-betul mengkhawatirkan kalau ini terjadi," imbuh dia.
Menurutnya, petani swadaya memang merupakan korban Corona terdepan dibandingkan petani lainnya. Pasalnya, penyerapan hasil panen petani swadaya ini bukan jadi prioritas pabrik.
"Petani swadaya ini kan produk pelengkap, bukan produk utama bagi pabrik. Jadi bayangkan kalau ada kejadian sesuatu yang paling utama itu antre itu TBS dari inti dulu, baru dari plasma, kemudian kalau masih butuh untuk digiling ya baru dari petani swadaya. Nah bayangkan kalau tangki penampungan penuh, kemudian ekspor melambat, maka yang akan terjadi petani swadaya itu nggak mendapatkan ruang untuk diproses," pungkas dia.
(dna/dna)