Jakarta -
Pandemi COVID-19 menyebabkan kegiatan produksi berhenti akibat pembatasan mobilitas manusia. Hal ini menyebabkan supply shock dan demand shock secara bersamaan.
Ketua umum Jaringan Pengusaha Nasional (JAPNAS) Bayu Priawan mengungkapkan pandemi ini menyebabkan terganggunya kegiatan ekonomi bisnis secara ekstrem khususnya sektor produksi sehingga mata rantai sektor terkait terganggu hingga menyebabkan stagnasi.
Bayu mengungkapkan saat ini memang pemerintah telah melakukan mitigasi atas kemungkinan terpuruknya dunia usaha, sebagaimana dilakukan oleh hampir semua negara di dunia - dengan mengalokasikan anggaran khusus penanganan dampak ekonomi akibat COVID-19.
"Namun dunia usaha perlu melakukan prediksi secara cermat dan lebih prudential agar tidak terlalu dalam menanggung risiko," kata Bayu dalam siaran pers, Jumat (22/5/2020).
Menanggapi hal tersebut, ekonom senior Faisal Basri mengungkapkan supply shock and demand ini terjadi di sektor manufaktur hulu dan hilir.
Kemudian sektor keuangan juga mengalami guncangan diikuti bursa saham, pasar obligasi dan investasi yang nyaris berhenti.
Menurut Faisal hampir seluruh negara di dunia merasakan tekanan hebat ini. "Kurva aggregate supply bergeser ke kiri. Semua sektor terkait terganggu, sehingga mengakibatkan demand shock, menggeser aggregate demand ke kiri atau ke bawah. Semua negara telah mengalokasikan anggaran besar untuk menangani COVID-19, sekaligus mitigasi dampaknya, khususnya sektor ekonomi - bisnis," jelas Faisal.
Dia membandingkan krisis ekonomi dan depresi besar pada 1929 akibat wabah penyakit yang nota-bene berbeda dengan kondisi dunia akibat pandemi COVID1-19 ini.
Baca halaman selanjutnya>>>
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada masa yang lalu, katanya, langsung tersedia obatnya dengan sejumlah kebijakan ekonomi untuk memulihkannya. Berbagai perangkat kebijakan ekonomi membuat kegiatan usaha dan masyarakat bisa terus berlangsung - walaupun skalanya menciut.
"Tapi akibat pandemi saat ini, semua berjalan serba tidak jelas. Sistem informasi dan globalisasi yang sangat masif menjadikan kondisi ekonomi dunia terguncang. Akibatnya di tingkat operasional bisnis terjadi supply shock dan demand shock secara bersamaan. Butuh kebijakan ekstra keras dan dana yang besar untuk mitigasi dan penyelamatannya menuju kondisi new-normal," kata Faisal.
Kemudian dia mencontohkan Amerika Serika yang telah menganggarkan dana sangat besar untuk penanganan dampak COVID-19, diantaranya Kongres dan White House menyepakati US$2,35 triliun untuk menopang para pekerja yang kehilangan pekerjaannya, dan industri yang terpukul. Selain juga memasok berbagai kebutuhan vital sistem penanganan kesehatan dalam jumlah yang sangat besar.
Kongres dan White House, kata Faisal, juga menyetujui paket bantuan senilai US$484 miliar untuk usaha kecil yang terimbas Coronavirus. Juga mengesahkan paket tambahan senilai US$3 triliun. Sedangkan Bank Sentral AS (The Federal Reserve) memompakan likuiditas sebesar US$4 triliun ke dalam perekonomian makro. "Ini sungguh suatu langkah yang tak pernah terjadi sedemikian masifnya dilakukan AS pada masa sebelumnya," jelasnya.
Di Indonesia, kata Faisal, pandemi COVID-19 yang telah menyebar ke hampir semua provinsi masih berada di lereng menuju puncak kurva. Sementara rendahnya kapasitas sistem pelayanan dan kesehatan lumayan merata, sehingga tingkat kematian (case fatality rate) Indonesia pada kasus wabah ini mencapai 6,6%, atau yang tertinggi di Asia.
Menurut dia, berbeda dengan perang konvensional yang selalu melahirkan dua kutub yang saling bertentangan. Pada konteks pandemic Coronavirus, katanya, yang telah menjelma sebagai pandemik global dan telah menjadi musuh bersama, dibutuhkan aksi kolektif secara bersama (global) untuk menghadapinya.
"Negara maju membantu negara miskin yang lebih rentan. Menghimpun segala sumber daya dan berbagi data, temuan, pengalaman, dan vaksin. Perlu semacam global solidarity guna menuju keseimbangan baru antara interdependency dengan penguatan nation-state. Menutup diri bukanlah solusi. Konsolidasi di tingkat nation-state dalam periode transisi, juga diperlukan - tapi bukan anti asing."
Jika kebersamaan dunia berjalan baik, kata Faisal, maka situasi ekonomi akan terselamatkan. Hubungan antara pasar dan negara akan terseimbangkan kembali.
"Ini akan disertai dengan keseimbangan kembali antara hiper-globalisasi dan nasional otonomi. Tapi apa yang terjadi dalam krisis ini (akibat Coronavirus) sejauh ini bukanlah indikator masa depan."
Ketua Harian Jaringan Pengusaha Nasional Widiyanto Saputro menjelaskan para pengusaha saat ini selalu membutuhkan informasi kondisi dan forecast ekonomi aktual yang terpercaya, peta jalan yang cukup bisa diandalkan menghadapi situasi COVID-19 ini. Menurut dia hal ini adalah kondisi luar biasa yang tidak pernah terjadi sebelumnya.
"Kita perlu memahami dimana ombak besar dan dimana karang. Sekalipun kita tak mampu mengatur arah angin, tapi kita bisa menyesuaikan layar. Mengambil kesempatan, tumbuh dan melaju cepat kedepan," ujarnya.
Ketua Umum Japnas Wilayah Jawa Timur Moh. Supriyadi menyatakan bahwa di daerah khususnya Jatim, para pengusaha sudah mulai menyiapkan langkah aksi dan bersiap kondisi terburuk.
"Nggak bisa kita banyak analisa, pokoknya kita asumsi terburuk, jadi susun langkah aksi segera yang terbaik. Kalau kelamaan, terlambat momentum malah hancur semua," jelasnya.
Simak Video "Video WHO soal Ilmuwan China Temukan Virus Corona Baru Mirip Penyebab Covid-19"
[Gambas:Video 20detik]