Protokol New Normal Harusnya Dibahas Semua Pihak

Protokol New Normal Harusnya Dibahas Semua Pihak

Hendra Kusuma - detikFinance
Sabtu, 30 Mei 2020 23:28 WIB
Sutrisno Iwantono-Ketua Tim Ahli Apindo
Foto: Dok. Pribadi: Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sutrisno Iwantono
Jakarta - Pemerintah kini sedang menyiapkan new normal alias suatu kondisi di mana masyarakat beraktivitas dengan protokol kesehatan ketat. Kebijakan ini diambil agar aktivitas masyarakat tetap berjalan, terutama kegiatan perekonomian, di tengah pandemi Corona (COVID-19).

New Normal pun diberlakukan dengan ketentuan ketat. Salah satunya bisa berlaku di daerah yang tergolong zona hijau atau status diberikan kepada wilayah tanpa konfirmasi kasus positif baru dalam kurun waktu yang ditentukan.

Menurut Ketua Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Sutrisno Iwantono, new normal itu penting karena masyarakat tidak mungkin selamanya tinggal di rumah. Apalagi, mayoritas masyarakat Indonesia bekerja di sektor informal, khususnya UMKM. Berikut petikan wawancara detikcom dengan Sutrisno Iwantono, yang juga Founder IWANT & CO AMCC dan Managing Director Intstitute of Developing Economies and Entrepreneurship,

Bagaimana tanggapan tentang dibukanya PSBB dengan konsep new normal?

Ya itu mau nggak mau harus ke sana. Sebab tidak mungkin semua orang terus-terusan di rumah, mau makan apa nanti rakyat. Kecuali kalau pemerintah bisa memberi makan rakyat yang tinggal di rumah tanpa kerja. Jangan dikira rakyat itu hidupnya dari sektor formal saja. Sekitar 97% angkatan kerja hidupnya di Usaha Mikro, Kecil, yang umumnya sektor informal dengan penghasilan harian. Kalau mereka di rumah terus, bisa menimbulkan bencana kelaparan. Yang terpenting kehati-hatian harus tinggi dilonggarkan dulu di zona-zona aman. Jadi pendekatannya bukan sektor mana yang akan dibuka dulu tapi zona mana yang lebih aman.

Berarti protocol Covid 19 yang penting?

Iya itu sangat penting. Tapi nyusunnya mesti bersama-sama dengan dunia usaha dan masyarakat. Sekarang itu banyak sekali lembaga kementerian yang sedang susun, jadi bisa bikin bingung kita, yang mana yang mau diikuti. Kalau hanya lembaga dan kementerian yang susun pasti nanti kesulitan dijalankan di lapangan. Yang bakal menjalankan adalah masyarakat dan pelaku usaha. Memang asosiasi suka diundang dalam rapat, tapi sering terkesan formalitas bahwa asosiasi sudah diundang soal materinya ya entahlah. Kemarin rapat di Kementerian Pariwisata lewat zoom, saya minta klarifikasi point-point tertentu, tapi ya tidak juga ditanggapi secara memadai. Disuruh nanti buat tertulis. Sebelum tertulis kita kan ingin konfirmasi tentang point-point tertentu, apa maksud dan tujuannya. Jadi yang banyak bicara adalah orang-orang kementerian aja. Ya udah silahkan aja.

Apa ada isu yang memberatkan?

Di situ ada soal sanksi hukum. Kita ingin tahu apa dimensi dan cakupan soal sanksi hukum ini? Di lapangan nanti jadi pegangan, kalau ada beda praktek dari isi surat edaran bisa-bisa kita jadi objek pemerasan oknum di lapangan. Ini kondisi sudah susah jangan pula ada urusan-urusan moral hazard begitu. Ada beberapa point lagi yang perlu diklarifikasi. Intinya adalah bahwa ketentuan-ketentuan yang akan dijalankan di lapangan marilah kita diskusikan secara bersama secara transparan, agar pelaksanaan di lapangan bisa jalan. Pelaku usaha kalau pertimbangannya memang tidak mungkin dijalankan, akhirnya mereka nggak mau buka, yang rugi pasti semua pihak.

Contohnya apa?

Misalnya soal kewajiban melakukan rapid test bagi seluruh karyawan. Pertanyaannya apa sanggup ya pelaku usaha melakukan itu. Terutama kalau kita bicara usaha kecil mikro ya. Misalkan warung padang pegawai 10 orang, rapid test biaya swasta di rumah sakit sekitar Rp 500 ribu, testnya 2 kali, berarti Rp 1 juta per pegawai, ada 10 pegawai total Rp 10 juta, ya ga sangguplah. Demikian juga hotel-hotel kecil, restoran kecil dan yang sejenisnya. Kalau pabrik-pabrik besar mungkin sanggup mungkin juga tidak. Apa ga bisa yang begini ini di dukung oleh pemerintah, kemarin itu kan import banyak banget. Kamudian juga ada keharusan menyediakan pengawas bagi pelaksanaan protokol COVID- 19. Kalau UMK, ya kan ga bisa bayar untuk tenaga yang demikian ini. Ini kan perlu didiskusikan dan dicarikan jalan keluar.


(hns/hns)

Hide Ads