Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump baru-baru ini memerintahkan Senatnya untuk menyusun Rancangan Undang-undang (RUU) yang bisa menghapus keberadaan perusahaan China di bursa AS.
Bila saham-saham raksasa China ngotot ingin tetap melantai di bursa AS maka mereka harus mau diaudit oleh regulator AS selama tiga tahun berturut-turut. Jika tidak, perusahaan itu dilarang diperdagangkan di pasar modal AS. Menurut Profesor Hukum dari Harvard Law School, Jesse Fried, China sudah pasti bakal lebih memilih mudik ke negara asalnya ketimbang diaudit oleh regulator AS.
"Sangat tidak mungkin China mau mengizinkan inspeksi AS mengaudit perusahaan mereka. Ini akan membuat harga saham mereka jatuh," kata Fried dikutip dari CNBC, Rabu (10/6/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, bila disahkan, RUU ini bakal menjadi bumerang tersendiri bagi para investor AS sekaligus melukai keuangan Wall Street.
"Ini bisa menjadi bumerang bagi investor AS, karena harga saham perusahaan China itu bisa turun ke titik sangat rendah," sambungnya.
Fried pesimis RUU ini dapat melindungi kepentingan pemegang saham AS. "Tidak banyak yang dapat dilakukan untuk melindungi mereka pada titik ini," katanya.
Fried meramal Wall Street bakal menentang RUU tersebut. Pada akhirnya, ia yakin RUU ini tidak bakal bisa disahkan.
"Wall Street akan melobi untuk membatalkan RUU tersebut, karena bagaimanapun Wall Street diuntungkan dari perusahaan China yang terdaftar di sini. Mereka mungkin akan memberikan tekanan pada orang-orang di Senat untuk membatalkan UU itu," tandasnya.
(fdl/fdl)