Dituding 'Curangi' Ekspor, RI Mau Sikat AS hingga India di WTO?

Dituding 'Curangi' Ekspor, RI Mau Sikat AS hingga India di WTO?

Vadhia Lidyana - detikFinance
Kamis, 11 Jun 2020 21:15 WIB
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Terminal 3 Tanjung Priok, Jakarta, Senin (17/2/2020). Selama Januari 2020, ekspor nonmigas ke China mengalami penurunan USD 211,9 juta atau turun 9,15 persen dibandingkan bulan sebelumnya (mtm). Sementara secara tahunan masih menunjukkan pertumbuhan 21,77 persen (yoy).
Foto: Agung Pambudhy
Jakarta -

Di periode Januari-Mei 2020, Indonesia menerima 16 tuduhan anti dumping dan safeguard atas ekspor kepada mitra dagang. Terdapat 9 negara yang memberikan tuduhan antara lain Amerika Serikat (AS), India, Vietnam, Uni Eropa (UE), Australia, dan sebagainya.

Atas tuduhan tersebut, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) langsung memberikan respons kepada negara-negara penuduh melalui interaksi yang hanya dilakukan secara virtual karena pandemi virus Corona (COVID-19).

Direktur Pengamanan Perdagangan Kementerian Perdagangan (Kemendag) Pradnyawati mengatakan, kasus ini masih dalam proses verifikasi apakah tuduhan yang diberikan betul dilakukan oleh perusahaan yang mengekspor dari Indonesia.

"Dokumen yang disertakan pada suatu negara menuduh itu biasanya merupakan petisi yang di-file oleh industri di sana, industri yang merasa terganggu dengan produk impor. Isinya itu uraian dari dia mengenai kerugian yang diderita dan sebagainya terus mungkin ada besaran dumpingnya juga menurut perkiraan mereka. Dari situ kita mulai teliti satu per satu. Ada 15 indikator biasanya, rugi laba perusahaan, cost, sales, investment dan sebagainya. Kita lihat di situ bahwa benar nggak indikatornya itu tercederai di sana," terang Pradnyawati ketika ditemui di kantornya, Jakarta, Kamis (11/6/2020).

Pradnya menjelaskan, ada beberapa tahapan dalam menyelesaikan tuduhan tersebut. Saat ini, pemerintah bersama perusahaan sedang menjawab seluruh tuduhan dari 9 negara tersebut dengan fakta-fakta yang ada di perusahaan. Dalam tahap ini, pihak Indonesia bertujuan membuktikan bahwa ekspor yang dilakukan tak ada kaitannya dengan gangguan industri di negara penuduh.

"Kita intinya membuktikan bahwa di sana tidak injured, industri di sana tidak tercederai dengan impor. Kita membuktikan bahwa industri di sana injured atau terganggu karena mereka sendiri, nggak ada kaitan dengan impor. Mungkin misalnya mereka ada self-inflected, injury, atau perusahaan miss management atau bagaimana sehingga kinerjanya turun, jadi bukan karena impor," paparnya.

Proses pembelaan ini akan berlangsung 12-18 bulan. Jika pada akhirnya negara penuduh tidak menerima dengan pembelaan Indonesia, maka negara tersebut bisa langsung mengenakan bea masuk anti dumping (BMAD), atau bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) untuk kasus safeguard.

Apabila sudah dikenakan dan perusahaan eksportir di Indonesia tidak terima, maka langkah yang dilakukan setelahnya adalah membawa kasus ini ke World Trade Organization (WTO). Namun, langkah ini bukanlah satu-satunya opsi penyelesaian.

"Kita lihat metodologi yang diberikan negara penuduh benar nggak, sesuai nggak dengan yang digariskan oleh WTO. Kalau nggak sesuai ya kita komplain, dan itu bisa macam-macam nggak harus ke WTO. Pakai surat bisa, masuk ke pengadilan lokal juga bisa di negara tersebut. Bisa, ada kejadian seperti ke AS dumping dan subsidi biodiesel, itu kita adukan ke perusahaan. Perusahaan nggak terima dengan keputusannya, diadukan ke pengadilan lokal di Amerika. Saat ini sedang berproses," jelas dia.

Untuk itu, Pradnya menegaskan saat ini ekspor produk-produk yang tengah dituduh anti dumping dan safeguard masih belum dikenakan BMAD dan BMTP. Hasil akhir dari tuduhan ini masih harus menunggu usainya masa waktu pembelaan paling lama 18 bulan itu.

"Belum. Itu masih proses semuanya. Kita sedang dalam proses pembelaan saat ini. Belum kena bea masuk dumping apa pun, belum ada apa pun," imbuh dia.

Pradnya mengatakan, pembelaan yang dilakukan Indonesia di tengah pandemi ini cukup melelahkan. Biasanya, proses pembelaan atau verifikasi dengan investigator dari negara penuduh dilakukan langsung atau tatap muka.

"Sekarang karena pandemi tidak ada travelling. Kita nggak bisa ke sana, mereka nggak bisa ke sini. Ya akhirnya mereka pakai Zoom, atau sekarang yang sering terjadi mengirimkan surat terus menerus, suplementary quisioner. Jadi kalau mereka tidak jelas dari jawaban kuisioner, ditambah lagi pertanyaannya. Nggak jelas lagi kemudian dikeluarkan lagi deficiancy letter, jilid 1,2,3. Kita merasa terbebani banget, karena kita juga WFH, perusahaan banyak yang merumahkan karyawan, kemudian banyak juga pertanyaan tambahan yang datang," tuturnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, Pradnya mengatakan pembelaan harus terus dilakukan. Pasalnya, jika Indonesia tidak memberikan respons maka negara penuduh dapat menggunakan informasi milik sendiri sebagai bahan penyelesaian kasus.

"Kita harus penuhi itu. Karena kalau enggak, otoritas itu bisa menerapkan klausul best information available. Itu adalah momok buat kita. Karena itu artinya mereka tidak mendapatkan informasi yang mereka butuhkan, atau perusahaan mempersulit prosesnya, sehingga mereka tidak akan menggunakan data yang di-submit perusahaan. Mereka akan menggunakan data yang mereka miliki entah dari koran, artikel, atau petisi yang mereka isi di negara penuduh, dan itu biasanya sangat tinggi bea masuknya," pungkasnya.




(dna/dna)

Hide Ads