AS-India Masih 'Serang' Ekspor RI, Pengusaha Melawan

AS-India Masih 'Serang' Ekspor RI, Pengusaha Melawan

Vadhia Lidyana - detikFinance
Rabu, 17 Jun 2020 18:30 WIB
pelabuhan
Foto: shutterstock
Jakarta -

Di tengah pandemi virus Corona (COVID-19), Indonesia menerima 10 tuduhan anti dumping dan 6 peringatan pengenaan safeguard atas ekspor sejumlah produk. Tuduhan terbanyak diperoleh dari Amerika Serikat (AS) dan juga India.

Produk-produk ekspor yang 'diserang' itu antara lain monosodium glutamat (MSG/mecin), baja, alumunium, produk kayu, benang tekstil, bahan kimia, matras kasur, dan produk otomotif.

Jumlah tuduhan yang diterima dalam kurun waktu yang cukup singkat yakni 5 bulan (Januari-Mei) ini bahkan berpotensi memecah rekor dibandingkan jumlah tuduhan yang biasa diterima Indonesia di tahun-tahun sebelumnya.

Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani menilai tuduhan tersebut dalam jangka panjang bisa membuat kegiatan ekspor terganggu, bahkan terhenti.

"Dalam jangka panjang, kondisi ini akan backfire dan sangat-sangat menekan ekspor nasional hingga kita tidak lagi bisa berdagang atau mempenetrasi pasar global meskipun produk kita kompetitif," ujar Shinta kepada detikcom, Rabu (17/6/2020).

Bahkan, menurut Shinta pengenaan safeguard dari negara penuduh berpotensi melebar ke produk-produk lain.


"Efek samping tuduhan-tuduhan tersebut bisa saja melebar ke komoditas ekspor yang lain karena kebijakan safeguard cenderung menciptakan retaliasi proteksi dagang dari negara lain terhadap Indonesia," kata Shinta.

Secara khusus, ia khawatir tuduhan anti dumping, pengenaan safeguard, atau tuduhan lainnya seperti anti subsidi bisa menghambat ekspor produk unggulan Indonesia seperti minyak kelapa sawit, kertas, karet, dan sebagainya.


"Bila dibiarkan, tuduhan dumping, subsidi bahkan tuduhan diskriminasi perdagangan akan banyak menghantam Indonesia atas komoditas-komoditas unggulan ekspor nasional seperti CPO, kertas, garmen, sepatu, otomotif, karet, dan lain-lain dari berbagai negara yang mengalami defisit perdagangan cukup signifikan dengan Indonesia seperti AS, UE, India atau negara yang memiliki kepentingan tertentu terhadap perdagangan seperti Australia atau New Zealand," jelas dia.

Ia menuturkan, salah satu penyebab negara-negara tersebut memberikan tuduhan ialah stimulus ekspor yang diberikan pemerintah kepada dunia usaha.

"Secara garis besar memang measures-measures perdagangan dari sisi ekspor dan impor yang kita berlakukan sejak wabah COVID-19 adalah measures-measures perdagangan yang sifatnya sangat distortif terhadap persaingan dagang yang sehat, menganggu kelancaran dan kebebasan untuk berdagang," ujar Shinta.

Namun, menurut Shinta di tengah pandemi ini stimulus ekspor juga diberikan oleh pemerintah negara lain pada dunia usahanya masing-masing. Stimulus tersebut pun telah diinformasikan kepada World Trade Organization (WTO) dan telah ditetapkan sebagai pengecualian dan hanya berlaku sementara.


"Namun, measures perdagangan yang kurang lebih sama juga diberlakukan oleh banyak negara karena COVID-19 untuk jangka waktu tertentu. Ini datanya bahkan dirilis oleh WTO secara resmi karena diinformasikan kepada WTO oleh masing-masing negara sebagai pengecualian yang sifatnya sementara," urai Shinta.

Dengan pertimbangan itu, menurut Shinta stimulus ekspor yang berlaku di Indonesia untuk sementara waktu ini bukanlah bentuk kecurangan dalam perdagangan.

"Measures-measures perdagangan yang kita berlakukan yang sifatnya distortif terhadap perdagangan dan sdh dilaporkan ke WTO diperhitungkan sebagai exceptions atau pengecualian atas aturan perdagangan yg berlaku umum/normal di WTO dan bukan sebagai kecurangan perdagangan," tegasnya



Simak Video "Video: Pedagang di Chinatown San Francisco Kena Dampak Tarif 145%"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads