Ekonomi RI Diramal Tak Tumbuh, New Normal Bisa Jadi Solusi?

Ekonomi RI Diramal Tak Tumbuh, New Normal Bisa Jadi Solusi?

Soraya Novika - detikFinance
Jumat, 19 Jun 2020 12:17 WIB
summarecon mal bekasi new normal
Foto: Devi S. Lestari/detikFood
Jakarta -

Bank Dunia (World Bank) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 ini akan berada di bawah 5%. Parahnya lagi, ekonomi Indonesia bisa tak tumbuh sama sekali alias 0% karena wabah yang melanda.

Menurut World Bank, anjloknya pertumbuhan ekonomi RI bisa terjadi akibat perlambatan konsumsi rumah tangga karena banyaknya masyarakat yang kehilangan pekerjaannya atau menjadi korban dirumahkan karena Corona. Serta akibat minimnya kegiatan ekonomi dan menurunnya kepercayaan konsumen selama PSBB ini.

Lalu, apakah dengan beralih kepada kebijakan kehidupan normal yang baru atau new normal, maka ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih baik dari ramalan world bank tersebut?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira, new normal tak akan membawa perubahan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi RI dalam jangka pendek ini. Justru, dengan adanya new normal ekonomi RI bisa berjalan lebih lambat dari PSBB karena kemungkinan terjadinya lonjakan kasus COVID-19 lebih tinggi dari sebelumnya.

"New normal belum mampu memulihkan ekonomi dalam jangka pendek, justru dikhawatirkan pemulihan berjalan lambat karena masyarakat belum yakin beraktivitas di pusat-pusat perbelanjaan di saat kasus positif masih tinggi," kata Bhima kepada detik, Jumat (19/6/2020).

ADVERTISEMENT

Selama new normal nanti, kinerja ekspor diprediksi masih akan menerima tekanan karena permintaan global masih rendah.

"Situasi di AS misalnya masih cukup kompleks, ada krisis ekonomi, krisis kesehatan dengan jumlah kasus positif tembus 2 juta orang sekaligus, ditambah krisis politik jelang pemilu November mendatang. Sebagai negara tujuan ekspor utama, Indonesia sama sekali tidak diuntungkan dengan kondisi tersebut, demikian juga ekspor kita dengan China," terangnya.

Di sisi lain, Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai meski ada new normal, Indonesia bakal tetap kesulitan untuk tumbuh positif tahun ini. Lantaran, beberapa indikator penggerak ekonomi belakangan menunjukkan gejala perlambatan misalnya industri manufaktur.

"Dalam rilis terakhir BPS (Badan Pusat Statistik), impor bahan baku kita mengalami kontraksi hingga -31% bahkan impor ini merupakan impor terendah sejak 2009. Padahal, 75% impor kita diperuntukkan untuk bahan baku penolong industri. Jika impor melambat, maka bisa diartikan pelaku usaha industri di dalam negeri juga sedang mengurangi produksi karena melambatnya permintaan baik itu dari dalam maupun luar negeri," papar Yusuf.

Menurutnya, jika kinerja industri manufaktur melambat, maka besar pula potensi ekonomi RI mengalami terkoreksi yang lebih dalam lagi. Mengingat industri manufaktur merupakan penyumbang terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) RI.

Selain itu, daya beli masyarakat juga mengalami penurunan. Hal ini bisa dilihat dari indikator penjualan riil RI yang juga mengalami penurunan.

"Jika world bank meramal 0% itu sebenarnya cukup realistis bila melihat indikator-indikator tersebut, terkait new normal, memang memberikan sedikit angin optimis bagi perekonomian, namun jika masalah fundamental ekonomi masih terus mengalami perlambatan, maka agak sulit berharap pertumbuhan ekonomi bisa lebih tinggi dari proyeksi Bank Dunia tersebut," tandasnya.



Simak Video "Video: BI Sebut Daya Tahan Ekonomi RI Lebih Tinggi Dibanding AS-China"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads