Wacana pembangunan lumbung pangan nasional (food estate) di Kalimantan Tengah (Kalteng) menuai kritik. Ternyata, proyek lumbung pangan itu sudah berulang kali dicetuskan mulai dari era pemerintahan Presiden ke-2 RI Soeharto, juga pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan juga di periode pertama pemerintahan Jokowi sendiri.
Pengamat pertanian sekaligus Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas mengatakan, proyek lumbung pangan selalu berujung pada kegagalan.
"Itu yang gambut 1 juta Ha yang dibangun Pak Harto tahun 1996-1997 . Lalu Ketapang 100 ribu Ha di masa SBY, 300 ribu Ha di Bulungan masa SBY juga, nggak ada ceritanya. Hanya tersisa beberapa belas Ha saja. Lalu di awal pemerintahan Pak Jokowi rencana pengembangan Merauke 1,2 juta Ha. Nggak ada ceritanya sampai sekarang. Semua gagal. Dalam arti semua proyek food estate sampai detik ini gagal total," kata Dwi kepada detikcom, Sabtu (4/7/2020).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, membangun lumbung pangan di lahan jenis rawa di Kalteng tidaklah mudah apalagi dengan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) di Indonesia. Oleh sebab itu, ia menyarankan agar pemerintah lebih mendorong program peningkatan kesejahteraan petani, dibandingkan mengeluarkan anggaran yang besar untuk membangun lumbung pangan.
"Berikan harga yang layak untuk petani. Harga pembelian pemerintah (untuk gabah) saja yang sering kami kritik, hanya naik dari Rp 3.700/kg ke Rp 4.200/kg. Padahal biaya produksi di usaha tani untuk 1 kg gabah kering panen itu sudah Rp 4.523/kg, ini hasil kajian AB2TI di bulan April lalu. Pemerintah menaikkan HPP hanya di Rp 4.200/kg, itu mana bisa. Dan itu seringkali harga Rp 4.200/kg digunakan sebagai patokan para tengkulak, pengepul untuk menekan harga di usaha tani, apalagi saat panen raya. Jadi di pembangunan pertanian kuncinya hanya satu, kesejahteraan petani," papar Dwi.
Ia mengatakan, jika pemerintah mendapatkan harga yang layak untuk hasil panennya, maka secara otomatis produktivitasnya akan meningkat.
"Kalau petani ini mendapatkan harga yang layak dengan hasil taninya, maka peningkatan produksi sudah otomatis. Karena petani jadi bergairah untuk bertanam, bergairah untuk meningkatkan produksi. Jadi pengambilan kebijakannnya salah," imbuh Dwi.
Berlanjut ke halaman berikutnya.
Simak Video "Video Food Estate Bakal Dilanjutkan, Mentan: Untuk Masa Depan Negara"
[Gambas:Video 20detik]