Catatan Buat Pemerintah yang Mau Bangun Lumbung Pangan di Kalteng

Catatan Buat Pemerintah yang Mau Bangun Lumbung Pangan di Kalteng

Vadhia Lidyana - detikFinance
Sabtu, 04 Jul 2020 14:50 WIB
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mendapat tugas dari Presiden Joko Widodo untuk melaksanakan program pengembangan food estate sebagai daerah yang diharapkan menjadi lumbung pangan baru di luar Pulau Jawa. Lokasi lumbung pangan baru ini direncanakan berada di Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah yang juga akan menjadi salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020 - 2024.
Foto: Istimewa/Kementerian PUPR
Jakarta -

Wacana pembangunan lumbung pangan nasional (food estate) di Kalimantan Tengah (Kalteng) menuai kritik. Ternyata, proyek lumbung pangan itu sudah berulang kali dicetuskan mulai dari era pemerintahan Presiden ke-2 RI Soeharto, juga pemerintahan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan juga di periode pertama pemerintahan Jokowi sendiri.

Pengamat pertanian sekaligus Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas mengatakan, proyek lumbung pangan selalu berujung pada kegagalan.

"Itu yang gambut 1 juta Ha yang dibangun Pak Harto tahun 1996-1997 . Lalu Ketapang 100 ribu Ha di masa SBY, 300 ribu Ha di Bulungan masa SBY juga, nggak ada ceritanya. Hanya tersisa beberapa belas Ha saja. Lalu di awal pemerintahan Pak Jokowi rencana pengembangan Merauke 1,2 juta Ha. Nggak ada ceritanya sampai sekarang. Semua gagal. Dalam arti semua proyek food estate sampai detik ini gagal total," kata Dwi kepada detikcom, Sabtu (4/7/2020).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, membangun lumbung pangan di lahan jenis rawa di Kalteng tidaklah mudah apalagi dengan ketersediaan sumber daya manusia (SDM) di Indonesia. Oleh sebab itu, ia menyarankan agar pemerintah lebih mendorong program peningkatan kesejahteraan petani, dibandingkan mengeluarkan anggaran yang besar untuk membangun lumbung pangan.

"Berikan harga yang layak untuk petani. Harga pembelian pemerintah (untuk gabah) saja yang sering kami kritik, hanya naik dari Rp 3.700/kg ke Rp 4.200/kg. Padahal biaya produksi di usaha tani untuk 1 kg gabah kering panen itu sudah Rp 4.523/kg, ini hasil kajian AB2TI di bulan April lalu. Pemerintah menaikkan HPP hanya di Rp 4.200/kg, itu mana bisa. Dan itu seringkali harga Rp 4.200/kg digunakan sebagai patokan para tengkulak, pengepul untuk menekan harga di usaha tani, apalagi saat panen raya. Jadi di pembangunan pertanian kuncinya hanya satu, kesejahteraan petani," papar Dwi.

ADVERTISEMENT

Ia mengatakan, jika pemerintah mendapatkan harga yang layak untuk hasil panennya, maka secara otomatis produktivitasnya akan meningkat.

"Kalau petani ini mendapatkan harga yang layak dengan hasil taninya, maka peningkatan produksi sudah otomatis. Karena petani jadi bergairah untuk bertanam, bergairah untuk meningkatkan produksi. Jadi pengambilan kebijakannnya salah," imbuh Dwi.

Berlanjut ke halaman berikutnya.

Dihubungi terpisah, Guru Besar Ilmu Ekonomi Insititut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto Siregar mengkritik rencana pemerintah menugaskan BUMN (PT Rajawali Nusantara Indonesia/RNI) untuk turut menggarap lumbung pangan, sehingga basisnya menjadi korporasi.

"Coba dicek lah ke Vietnam, ke Malaysia, ada korporasi atau BUMN yang menanam pangan atau padi? Nggak ada. Pertanian itu kan bahasa Inggrisnya agriculture. Jadi culture menanam padi itu, even di barat menanam gandum itu petani perorangan. Bukan korporasi. Jadi korporasi itu bermain di sistem logistiknya," ungkap Hermanto kepada detikcom.

Ia menyarankan agar pemerintah mengutamakan optimalisasi lahan persawahan yang sudah ada milik petani, dibandingkan membangun lumbung pangan nasional yang anggarannya cukup besar.

"Masyarakat sendiri banyak yang punya lahan tapi nggak bisa dia tanam karena nggak ada uangnya. Nah itu dioptimalkan saja yang belum ditanami. Itu lebih bermanfaat daripada mengucurkan miliaran bahkan triliunan tapi hasilnya nggak jadi. Kan sayang anggarannya sudah dikeluarkan tapi nggak berhasil," terang Hermanto.

Sementara itu, peran BUMN bisa sebagai pihak yang mengolah hasil panen petani.

"Kalau mau BUMN buatlah yang melakukan processing. Jadi dia menyerap ke petani, lalu nanti diproses. Jadi lebih kepada penambahan nilai. Jangan di sektor budidaya. Budidaya kasihlah ke rakyat, ke petani," tutur Hermanto.

Pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdullah menilai langkah tepat untuk memperbaiki persoalan pertanian di Indonesia ialah melakukan diversifikasi pangan, ketimbang membangun lumbung pangan yang juga nantinya ditanami padi.

"Food estate itu bagus. Tapi jangan sampai ini gagal seperti di Merauke. Nah itu kan tidak terdengar lagi. Ini kalau di Kalimantan bagus dalam artian untuk menambah pasokan pangan. Tapi perlu dipertimbangkan apa yang mau ditanam? Beras lagi?" urainya ketika dihubungi detikcom secara terpisah.

Rusli menegaskan, kunci menyelesaikan persoalan pangan adalah diversifikasi, sehingga masyarakat mengurangi ketergantungan terhadap beras sebagai sumber karbohidrat, dan beralih mengonsumsi jagung, ubi, singkong, sagu, dan sebagainya.

"Kalau produksi di Kalimantan hanya beras menurut saya hanya sia-sia, karena proses diversifikasi pangan nggak akan jalan," tutup Rusli.



Simak Video "Video Food Estate Bakal Dilanjutkan, Mentan: Untuk Masa Depan Negara"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads