Dengan modal awal hanya Rp 32.500, usaha kerajinan jilbab yang ditekuni selama 22 tahun itu kini beromzet Rp 45 juta per bulan. Bahkan mendekati lebaran tahun ini, omzetnya menjadi berlipat ganda mencapai Rp 150 juta karena meningkatnya pesanan.
Bagi Samsul, bulan Ramadan, lebaran, pergantian tahun ajaran baru, serta musim haji menjadi momen yang penuh berkah. Pesanan jilbabnya naik berlipat ganda pada momen-momen tersebut. Seperti saat menjelang lebaran tahun ini yang bersamaan dengan pergantian tahun ajaran baru. Suami Nur Yatimah (51) ini mengaku kuwalahan melayani pesanan jilbab yang terus mengalir.
Samsul mengatakan, meningkatnya pesanan itu terjadi sejak sebulan yang lalu. Dibantu 12 karyawannya, bapak 3 anak ini setiap hari harus menyelesaikan 10 kodi atau 200 jilbab berbagai model.
Meningkatnya pesanan itu tentunya juga membuat omzet usahanya terus bertambah. Apabila sebelumnya omzet usaha Samsul Rp 1,5 juta per hari, maka kini omzet penjualan jilbabnya mencapai Rp 5 juta per hari. Keuntungan bersih yang dia raup mencapai Rp 15 juta per bulan.
“Pemesannya pedagang jilbab di pasar-pasar tradisional, ada yang dari Mojokerto sendiri, Jombang, sampai Kediri. Sejak sebulan yang lalu mereka sudah pada pesan untuk stok Ramadan dan lebaran. Kalau terlambat order mereka takut sulit dapat barang ketika mendekati lebaran,” kata Samsul kepada detikFinance, Senin (29/6/2015).
Menekuni usaha kerajinan jilbab, menurut Samsul bukan tanpa hambatan. Dia harus rajin mengikuti perkembangan model yang diminati masyarakat. Setidaknya ada 4 model jilbab produk industri rumahan Samsul yang paling diminati pembeli saat ini. Antara lain model Nazwa, jilbab ala penyanyi Fatin Shidqia, model segi empat, dan model Hana.
Tak ada yang istimewa pada jilbab produk buatan Samsul jika dibandingkan dengan jilbab pabrikan. Hanya saja, harga jualnya yang mampu bersaing membuat pedagang jilbab eceran banyak yang membeli.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Memang harganya sama jika dibandingkan dengan beli grosir di Surabaya. Namun, pedagang lebih memilih belanja di tempat saya karena tidak terpotong biaya transport dan waktu,” sebutnya.
Pemesan jilbab yang diberi label An Nuur ini juga datang dari sejumlah sekolah Islam di Mojokerto dan Jombang. Menjelang pergantian tahun ajaran baru, Samsul mengaku telah menerima pesanan sebanyak 3.000 jilbab yang harus dia penuhi dalam waktu sebulan. Omzet pesanan jilbab sekolah ini saja mencapai Rp 30 juta.
“Keuntungan bersih saya rata-rata 10% dari nilai omset penjualan, jadi sudah dipotong bahan, tenaga kerja, dan transportasi,” ungkapnya.
Manisnya hasil yang kini dia rasakan bukan tanpa perjuangan. Bersama istrinya, Samsul merintis usaha kerajinan jilbab ini sejak tahun 1993 silam.
Dengan modal Rp 32.500 untuk membeli kain dan seperangkat mesin jahit, kala itu pasangan ini membuat kerpus atau penutup rambut wanita. Kegigihan merekalah yang membuat omset penjualan yang dulunya puluhan ribu, dalam waktu 22 tahun menjadi puluhan bahkan ratusan juta per bulan.
“Paling berat menghadapi pesaing dari Tasikmalaya dan Rembang dalam hal pemasaran. Mereka berani pasang harga lebih murah,” katanya.
(hen/hen)