Sukses di Bisnis Jasa Penyewaan Truk

Sukses di Bisnis Jasa Penyewaan Truk

- detikFinance
Selasa, 28 Okt 2014 07:14 WIB
Jakarta - Life begins at forty. Itulah judul buku Walter B. Pitkin yang kemudian jadi istilah yang sangat populer di seantero dunia. Ada yang setuju dengan istilah tersebut, tapi ada juga yang kontra.

Namun, bagi Bakti Lesmana, istilah tersebut mutlak benar. Lelaki ramah ini mencapai titik balik hidupnya pada usia 40, dan itu tidak didapat dengan cara mudah.

Saat usianya mencapai 40 tahun, Bakti memutuskan untuk mengakhiri status karyawan yang tersemat pada dirinya. Dia memutuskan untuk menjadi pengusaha empat tahun lalu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Saya saat itu berpikir, kalau tidak sekarang terus kapan lagi. Semakin tua tenaga saya semakin lemah. Saya memutuskan memulai usaha saat usia 40 pada 2010,” kenang Bakti.

Belum lagi memulai usaha Bakti sudah menemui kendala pertama, yaitu keluarga. Istrinya tidak setuju ketika dia mengutarakan niatnya untuk mengundurkan diri dari perusahaannya dan ingin memulai usaha sendiri.

Waktu itu dirinya bekerja di perusahaan jasa trucking di Jakarta dengan gaji cukup baik untuk menghidupi keluarganya. Gajinya sekitar tujuh kali upah minimal regional Jakarta waktu itu.

Besaran gaji yang cukup untuk hidup bersama keluarganya membuat istrinya tak mau mengambil risiko jika mendirikan usaha sendiri. Tapi Bakti tak patah arang, usaha jasa trucking yang ingin dia dirikan sudah dia hafal di kepalanya. Maklum, dia sudah bekerja di perusahaan jasa penyewaan truk selama 13 tahun.

Untuk meyakinkan istrinya, akhirnya dia mengatakan bahwa sebagian besar uang yang didapat baik uang tabungan, uang jasa dari perusahaan, dan uang jaminan ketenagakerjaan akan diberikan kepada istrinya agar mereka tetap bisa survive seandainya bisnis yang dirintis nanti gagal. Setelah negosiasi selama enam bulan, akhirnya istrinya menyetujui rencana Bakti.

Dia pun kemudian mengajak dua teman di kantor lamanya untuk menanamkan modal usaha. Masing-masing pihak menyetor modal awal usaha sebesar Rp 25 juta. Modal tersebut mereka gunakan untuk menyewa kantor dan mengangsur sebuah truk.

Mereka memulai usaha ini dengan optimis, karena ketiganya memiliki pengalaman panjang di bisnis jasa penyewaan truk di Jakarta. Mereka menamai perusahaannya United Tranpsort Partner (UTP).

Tak meleset apa yang mereka perkirakan. Tak menunggu lama, akhirnya mereka mendapatkan klien sebuah perusaahaan operator seluler untuk mengirimkan barang dari Jakarta ke Bekasi. Senyum pun terkembang di bibir mereka. Tapi sayang, senyum tersebut hanya bertahan dalam waktu beberapa jam setelah pengiriman barang.

Pengiriman peralatan BTS ini ternyata berujung tekor. Sewa truk seharga Rp 900 ribu tak cukup untuk memenuhi biaya tak terduga yang ada di lapangan. Preman dan warga setempat meminta ongkos penurunan barang sebesar Rp 2 juta. Bahkan supir truk mereka sempat dikepung oleh preman yang meminta ongkos penurunan barang.

Bakti menyadari bahwa ada kesalahan yang tidak diantisipasi yaitu biaya tak terduga seperti itu. Selama bekerja di perusahaan tempatnya bekerja dulu tak ada istilah uang preman, karena barang yang dikirim adalah barang consumer goods.

Kesialan pertama belum rampung, datang kesialan kedua yaitu truk miliknya terguling di jalan tol. Ia pun harus mengevakuasi truk tersebut dengan biaya yang tidak sedikit. Bayangan untung yang berlipat ternyata hanya bertahan beberapa saat.

Setelah dihitung, selama tiga bulan pertama mereka hanya mendapat untung Rp 900 ribu. Berarti masing-masing orang hanya mendapatkan uang Rp 300 per tiga bulan alias Rp 100 ribu per bulan. Angka yang merosot tajam dibanding ketika Bakti masih berstatus sebagai karyawan. Mendapati hasil usaha yang suram seperti itu, Bakti sempat berpikir untuk menyudahi usahanya.

Beruntung Bakti memiliki partner yang menguatkan tekadnya untuk melanjutkan bisnis tersebut. Di sisi lain, Bakti menganggap sudah terlanjut tercebur. Daripada tenggelam, lebih baik nekat untuk terus berenang. Akhirnya dia memutuskun untuk melanjutkan usaha ini dengan serius. Dia pun kemudian menyebarkan proposal kerjasama ke perusahaan sebanyak mungkin.

Perlahan tapi pasti kliennya bertambah. Bahkan ada beberapa orang yang mau berpatner dengan menyediakan armada truk sekaligus supirnya. Bakti hanya menyediakan sistem dan mencari klien baru. Kepercayaan patner baru ini menumbuhkan semangatnya dengan cepat. Bertambahnya armada membuat usahanya berputar semakin laju.

Hal tersebut terlihat dari pertambahan omzet setiap tahun. “Tahun pertama omzet saya Rp 500 juta. Tahun kedua meningkat menjadi Rp 2 miliar dan naik lagi tahun ketiga menjadi Rp 3,5 miliar. Nah, pada tahun keempat terdapat lonjakan yang signifikan, yaitu menjadi Rp 7 miliar omzetnya,” kata Bakti.

Menurut Bakti, kunci sukses dalam menjalankan usaha ini adalah berbuat baik. Pertama, manajemen UTP harus berbuat baik dan fair kepada para patner usaha mereka.

Kedua, mereka tentu harus berbuat baik kepada pelanggan yang menjadikan tulang punggung pendapatan. Ketiga, mereka juga harus memperhatikan supir dengan baik yang menjadi aset penting perusahaan.

Dari sisi konsumen, pelanggan mereka terbilang perusahaan atau lembaga kelas kakap seperti APL Logistivs, Santa Fe Relokasi, Heinz ABC, Thai Airways, The Asia Foundation, Roberto Desain dan masih banyak lagi. Uniknya, sekitar 70% klien UTP adalah perusahaan multinasional dan 30% sisanya adalah perusahaan lokal.

Meski pencapaian UTP terus memperlihatkan grafik mananjak, tapi Bakti tak berpuas hati. Dia menargetkan memiliki armada sendiri sebanyak 100 truk. Saat ini UTP memiliki 17 armada truk sendiri dan 47 adalah armada milik patner.

Bakti menargetkan pencapaian 100 armada tersebut dalam waktu 6-7 tahun ke depan. “Memang bukan target yang mudah, tapi kami yakin bisa mewujudkannya dengan kerja keras dan kesungguhan,” tutupnya.

(ang/ang)

Hide Ads