Cerita Sukses Pengusaha Papua Berbisnis Batik Unik

Cerita Sukses Pengusaha Papua Berbisnis Batik Unik

- detikFinance
Rabu, 04 Mar 2015 06:51 WIB
Jakarta - Batik telah menjadi kekayaan budaya nasional Indonesia dan dunia. Bukan hanya di bagian barat seperti di Pulau Jawa saja, ternyata wilayah timur Indonesia seperti Papua pun, memiliki batik khas sendiri. Selain dikembangkan sebagai kekayaan budaya, batik cukup menjanjikan untuk dikembangkan secara bisnis.

Adalah Jimmy Affar, warga asli Papua yang berhasil mengembangkan bisnis berbasis budaya yang tergolong baru dan inovatif, yakni 'Batik Papua'. Bermula dari kecintaan lokal atas kearifan lokal berupa motif-motif khas suku pedalaman Papua yang banyak digoreskan di atas batu, kayu, dan kulit.

Ia pun memutar otak, agar motif-motif tersebut bisa memberikan nilai ekonomis bagi masyarakat Papua. Lalu lahirlah ide, menuangkan kearifan lokal itu ke dalam selembar kain. Pada 2007, pria berperawakan hitam tinggi dan gagah ini memulai mempelajari seni membatik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya belajar ke Pekalongan waktu itu. Belajar 4 bulan sampai saya bisa menggunakan canting (alat tulis khusus membatik), dan mengolah warna," ujarnya kepada detikFinance, di tengah acaraโ€Ž Citi Micro-Entrepreneurship Awards (CMA) yang digelar Citi Peka bekerjasama dengan UKM Center FEUI di Graha CIMB Niaga pekan lalu.

Hasil belajar membatiknya itu lantas ditularkan kepada para 'Mama', sebutan untuk ibu rumah tangga di Papua. Kegiatan membatik diperkenalkan sebagai kesibukan, dan sumber mata pencaharian baru.

Bermodalkan Rp 6 juta dari hasil bekerjanya dengan seorang desainer kondang almarhum Ramli, Jimmy memberanikan diri memulai usahanya, dibantu para 'Mama' tersebut.โ€Ž

Ia menceritakan pengalaman menariknya, tentang para 'Mama' yang begitu antusias menyambut kegiatan baru ini. "Lucu ya, membatik itu sampai mereka sakit pinggang. Tapi diberi makan, disuruh istirahat mereka tidak mau. Mereka inginnya menyelesaikan membatiknya dulu baru mereka mau beristirahat," kenang Jimmy sembari tertawa girang menceritakan kisah menarik tersebut.

Dari kegiatan tersebut, para 'Mama' ini mendapat penghasilan Rp 100.000 untuk setiap potong kain yang mereka gambar, dengan ukuran sekitar 2 meter persegi.

Sementara, untuk sepotong kain tersebut, Jimmy mengaku bisa menjualnya dengan harga Rp 450.000 per potong kain. Harga tersebut setelah mempertimbangkan biaya produksi lain seperti membeli pewarna, kain, dan lainnya.

Saat ini, Jimmy dibantu 15 tenaga kerja aktif dan 40 orang masyarakat binaan dari pelatihan membatik. Untuk urusan motif, Jimmy punya cara unik memperoleh motif yang benar-benar menggambarkan kehidupan sosial masyarakat Papua, yang menjadikan batik produksinya sebagai batik khas Papua.

"Saya kumpulkan dari keret-keret (keluarga). Masing-masing keret itu kan punya motif mereka masing-masing yang menjadi motif keluarga. Jadi nanti mereka (anggota keret) berembuk boleh tidak motifnya dipakai. Kalau boleh baru kita masukkan menjadi motif batik," tutur dia.

Ia mengaku, kala memulai usahanya, ia hanya memiliki 16 motif, namun sekarang sudah berkembang menjadi sangat banyak dan begitu khas dan identik dengan kehidupan sosial masyarakat Papua seperti motif burung cendrawasih, alat musik tifa, buah pala, dan seterusnya.

"Tapi saya pilih yang lebih humanis. Saya tidak mau yang mengandung unsur kekerasan seperti senjata, panah, tombak, dan sebagainya," tegasnya.

Hasil dari kerja kerasnya itu, ia berhasil menarik minat pembeli dari berbagai negara di dunia yang memesannya secara online. Batik kreasi Jimmy ini dijual dengan merek dagang Port Numbay.

"Yang beli nggak hanya warga Indonesia, tapi juga luar negeri. Ke Australia, Florida, Amerika Texas," tutur dia.

Dalam satu bulan, ia mengaku bisa menjual 20-30 potong kain batik. Dengan harga jual Rp 450.00 per potong, bisa diasumsikan dari bisnisnya ini ia bisa meraup omzet sekitar Rp 13,5 juta per bulan.

Skalanya masih kecil karena keterbatasan sumberdaya. Untuk bahan baku saja sebagian besar masih impor dari Pulau Jawa. Seperti obat pewarna, kain, hingga peralatan seperti tungku lilin dan canting. Selain itu ada juga kendala tenaga kerja.

"Tantangannya tenaga kerja dan sumber daya manusia. Masih memilih jadi PNS, batik tidak memiliki gengsi dan penghasilannya tidak sesuai, yang sudah menikah dilarang suami, itu buat batik Papua terancam punah," keluhnya.

Ia berharap, pemerintah bisa menyediakan industri-industri yang berkaitan dengan kegiatan membatik ini seperti produsen kain dan bahan pewarna di Papua. Bila industri penunjang telah tersedia, industri ini pun akan lebih menggeliat, sehingga bisa menarik lebih banyak tenaga kerja dan membuat industri batik Papua berkembang pesat.

(hen/dnl)

Hide Ads