Kisah Pengusaha Sarung Tangan Kulit Bertahan di Tengah Pandemi

Kisah Pengusaha Sarung Tangan Kulit Bertahan di Tengah Pandemi

Pradito Rida Pertana - detikFinance
Senin, 28 Sep 2020 22:30 WIB
Proses pembuatan sarung tangan Northy
Foto: Dok. Northy: Proses pembuatan sarung tangan Northy
Yogyakarta -

Pandemi COVID-19 mengganggu perputaran roda bisnis. Alhasil, para pelaku UMKM pun harus putar otak mengatasi persoalan tersebut.

Salah satunya produsen sarung tangan kulit asal Yogyakarta, Northy, yang meningkatkan pemasaran produknya secara online setelah tutupnya toko yang disuplai imbas Corona

Salah satu pemilik Northy, Ilham Setia Pradana menjelaskan mengaku jika awal-awal pandemi sempat mengalami penurunan omzet dari ratusan juta menjadi puluhan juta. Namun, hal itu sedikit demi sedikit dapat teratasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saat pandemi ini memang jelas turun (penjualan), sempat awal-awal pandemi itu sebulan cuma puluhan juta. Tapi kita coba jualan online di bermacam-macam market place," ujar Ilham kepada wartawan di Yogyakarta, Senin (28/9/2020).

"Karena banyak toko di Jakarta yang tutup, jadi mau tidak mau harus kenceng (jualan) di online. Ya sempat naik turun juga tapi saat ini untuk omzet mendingan dibanding awal pandemi," imbuh Ilham.

ADVERTISEMENT

Ilham juga bercerita tentang usaha berbasis kulit sudah dekat dengannya karena orangtua menggeluti usaha serupa. Beranjak dewasa, Ilham mulai tertarik untuk menggeluti lebih dalam.

Hal itu berlanjut hingga mampu menyuplai kulit untuk sebuah pabrik sarung tangan di Jawa Tengah. Sempat mengenyam kesuksesan di sana selama beberapa bulan, pabrik yang disuplai bahan baku olehnya tersebut dinyatakan bangkrut, sementara produk-produknya pun gagal ekspor.

"Aku nggak dibayar, ada rugi sekitar Rp 300 juta. Akhirnya aku ambil mesin-mesinnya, mesin potong lah, mesin jahit untuk produksi itu," ucapnya

Beruntung, saat itu Iksal Nuari Adha datang dan memberi masukan untuk kembali memproduksi sarung tangan. Tidak butuh waktu lama, Ilham pun berhasil menggandeng sejumlah vendor besar untuk membuat produk di pabriknya.

Proses pembuatan sarung tangan NorthyProses pembuatan sarung tangan Northy Foto: Dok. Northy: Proses pembuatan sarung tangan Northy

Tetapi, lantaran harus memproduksi puluhan ribu sarung tangan setiap bulannya, dengan sistem manajemen tingkat pemula, Ilham dan kolega akhirnya merasa kewalahan. Terlebih dia merasa keuntungan yang diperoleh dari skema kerjasama tersebut belum cukup sebanding.

"Dari tahun 2017 itu kita jadi manufaktur, tapi bertahan sekitar satu tahun saja. Kita kewalahan ya, karena harus mempekerjakan sekitar 60 karyawan, sementara manajemen belum bagus. Jadi ya setiap bulan kita sering tombok untuk menggaji karyawan," ucapnya.

Dari situ, Ilham mengaku mendapat pelajaran berharga, sekaligus memberanikan diri untuk menciptakan brand sendiri bernama Northy. Menyoal asal nama Northy, Iksal pun mengisahkan bahwa ada harapan dan makna besar yang terkandung di dalamnya.

Langsung klik halaman selanjutnya

Menurutnya, Northy berpatokan pada arah mata angin North yang di dalam bahasa Indonesia berarti utara, dimana dia selalu tampak dalam koordinat paling atas di peta.

"Arah utara itu yang selalu dilihat orang-orang. Di Yogya saja, patokannya juga utara. Kalau kelihatan Gunung Merapi, ya itu berarti utara. Kita ingin orang-orang itu melihat ke arah kita, ke arah Northy ya," ucap alumni Fakultas Hukum UII Yogyakarta tersebut.

Keberanian yang berhasil membuahkan hasil. Bagaimana tidak, dalam kurun waktu sekitar tiga tahun, Northy saat ini berhasil menjamah berbagai daerah di penjuru tanah air. Ya, selain di Yogyakarta, offline store Northy juga bisa dijumpai di Solo, Bandung, Jakarta, Bali, hingga Lampung.

"Alhamdulillah, omzetnya bisa sekitar Rp 150 juta per bulan, karena kita juga rutin mengikuti pameran, atau event di luar kota juga," ujarnya

Sementara itu, owner Norhty lainnya yakni Iksal Nuari Adha menambahkan, produknya bisa mendapat banyak minat di pasaran karena memikiki banyak keunggulan. Pasalnya produk sarung tangan tersebut menggunakan kulit domba yang proses produksinya dilakukan secara manual.

Karena itu, dia mematok harga jual sarung tangan kulit Rp 250 ribu hingga Rp 300 ribu. Mengingat kualitas material sarung tangan produksinya sangat terjamin.

"Sejak masih bulu domba itu dalam kondisi mentah sampai jadi sarung tangan ini, semua kita olah sendiri. Jadi kita bisa memastikan kualitas materialnya," katanya.

Dia menjelaskan, untuk produksi sarung tangan sendiri tidak di Yogyakarta, melainkan di Klaten Jawa Tengah. Bukan tanpa alasan, hal itu karena peralatan produksi berada di Klaten dan jika berpindah ke Yogyakarta akan memakan biaya lagi.

"Warna sarung tangan kami juga tidak luntur, dan itu kami jamin. Jadi sangat cocok untuk penghobi sepeda motor," lanjut Iksal.



Simak Video "Video: APINDO Sebut UMKM RI Masih Keterbatasan Akses Modal"
[Gambas:Video 20detik]

Hide Ads