Jakarta -
Produk buatan lokal tak kalah bagusnya dengan barang dari luar negeri. Contohnya saja, tas kerajinan tangan milik Suwardi asal Ngawi, Jawa Tengah. Usahanya itu telah dibangun sejak 1996.
Suwardi bercerita produknya terbang ke seluruh Indonesia. Bahkan sempat mengirimkan anyaman ke Selandia Baru, Prancis, hingga Hawaii. Omzet tertinggi yang pernah didapat Suwardi Rp 250 juta, bahkan pernah Rp 35 juta per hari.
Namun, kesuksesannya kini dilalui tidak mudah. Suwardi bercerita dia sempat menjadi buruh pabrik, kemudian harus keluar dan sempat menjadi pemulung di Solo, Jawa Tengah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suwardi mengatakan pada tahun 1996, saat memulung dia menemukan sebuah seikat tali plastik atau tali packing. Nah di sinilah dia menemukan ide untuk menyulap tali itu jadi sebuah tas.
"Saya bawa pulang (tali) saya otak-atik satu minggu menjadi satu tas," katanya, saat berbincang dengan detikcom seperti ditulis Kamis (17/2/2022).
Suwardi pun berniat untuk mengembangkan ide tersebut. Dari Ngawi tempat tinggalnya, dia kembali ke Solo untuk membeli sekarung tali packing itu. Saat itu Suwardi mengaku hanya bermodal Rp 50.000, untuk membeli sekarung tali dan ongkos naik bus.
"Terus saya bawa pulang, saya buat tas sekitar 7 sampai 8 tas. Walaupun waktu itu masih bentuk keranjang saja. Belum saya jual waktu itu, cuma saya bagaimana respons orang-orang," tuturnya.
Saat itu, Suwardi berkeliling ke pasar-pasar untuk memperkenalkan tas anyamannya itu. Meski tidak dijual, tetapi jika ada yang mau beli tetap diterima "Saat itu harganya hanya Rp 2.000-2.500," ujarnya.
Masih di tahun 1996, selain di pasar Suwardi juga memamerkan tasnya di sebuah pemeran kala itu. Suwardi mengatakan ketika dipamerkan lima contoh tas buatannya, banyak orang yang tanya dan ingin membeli.
 Foto: Dok. Pribadi |
Untuk memenuhi pesanan, akhirnya Suwardi menjual motor bebeknya yang laku Rp 250.000. Modal itu untuk membeli bahan di Solo dan mendapatkan lima karung tali packing. Saat itu tasnya anyamannya selalu laku terjual.
"Dianyam sekarang besoknya laku, beli lagi tali Rp 500.000, buat lagi Rp 1 juta. Setiap hari naik dua kali lipat (omzetnya). Itu sendiri selama satu bulan," terangnya.
Sempat kantongi omzet tertinggi. Berlanjut ke halaman berikutnya.
Simak juga Video: Digitalisasi Perbankan Mendorong Kemudahan Ekspor UMKM
[Gambas:Video 20detik]
Seiring berjalannya waktu, akhirnya Suwardi bisa menemukan pabrik yang mau menyuplai tali packing untuk tasnya. Tiga sampai empat bulan, keadaan Suwardi dan keluarganya membaik.
Saat tahun 1997, omzet tertinggi kala itu bisa mencapai Rp 35 juta per harinya. Di mana dalam satu hari bisa menghasilkan tas sebanyak 5.000 tas. Memulai bisnisnya sendirian, pada tahun 2000, Suwardi mengaku sudah membentuk 31 kelompok yang menganyam tas berisi 100-200 orang.
"Pasar sangat bagus saat itu bisa keuntungan bisa 100% saat itu," ucapnya.
Berdayakan Ibu Rumah Tangga
Suwardi bercerita, dengan usahanya ini dia ingin memberdayakan ibu-ibu rumah tangga di sekitar lingkungannya agar dapat menghasilkan uang dan memiliki kegiatan yang bermanfaat. Apalagi saat dia pertama kali membangun bisnisnya banyak pengangguran di sekitar rumahnya.
"Mereka (ibu-ibu) nggak hanya menganyam saja, mereka tetap ke sawah, yang antar anaknya sekolah ya antar, kemudian ketika waktu mereka senggang baru mereka menganyam," ungkapnya.
 Foto: Dok. Pribadi |
Saat ini, Suwardi dan karyawannya tidak lagi menganyam sebuah keranjang biasa. Kini bentuk tasnya sudah beraneka ragam dan bermotif. Bentuk dan desainnya bermacam-macam, tentu dengan kualitas tali yang sudah lebih bagus, tetapi harganya masih sangat murah.
"Untuk harga paling murah dengan bahan tipis Rp 8.000. Kalau bahan bagus dengan desain dan dikreasikan Rp 50.000, Rp 80.000, sampai Rp 90.000. Paling mahal itu berdasarkan motifnya paling Rp 100.000 sampai Rp 150.000, itu harga di kami. Kalau di kampung Rp 500.000 ya nggak laku," jelasnya.
"Sekarang alhamdulillah buat makan sudah cukup pada 2013 sudah berangkat haji, sudah punya rumah, toko, showroom. Pusatnya di Ngawi," tambahnya.
Suwardi mengatakan dampak pandemi COVID-19 sangat terasa pada bisnisnya. Padahal sebelum pandemi omzetnya bisa Rp 200-250 juta. Suwardi juga mengungkap produknya sudah terbang keliling Indonesia, bahkan ke mancanegara.
"Paling banyak itu Mataram, Bali, Jakarta, alhamdulillah sudah ke seluruh Indonesia. Pada tahun 2000 pernah kirim ke New Zealand, tetapi sekarang sudah putus hubungan. Lalu ke Prancis sampai 15 tahun. Lalu pernah kirim ke Hawaii. Sekarang kirim ke luar negeri zonk selama pandemi," tuturnya.
Kini Suwardi hanya menjual produknya secara online melalui Instagram resmi @galeri_anyaman. Pesanan bisa dilakukan di nomor telepon yang tertera pada bio Instagram tersebut. Tidak hanya tas, Suwardi juga memproduksi box, keranjang, hingga suvenir lainnya.