Lima Tahun Kerja di Korea, Adi Latif Mashudi Kini Jadi Juragan Melon di Blora

Lima Tahun Kerja di Korea, Adi Latif Mashudi Kini Jadi Juragan Melon di Blora

Sudrajat - detikFinance
Selasa, 23 Apr 2024 09:33 WIB
Petani milenilai Adi Latif Mashudi bersama Bupati Blora H. Arief Rohman dan istri
Devi Agustina, Adi Latif Mashudi, Bupati Blora H. Arief Rohman dan istri. (Foto: Tangkapan layar IG Arief Rohman)
Jakarta -

Adi Latif Mashudi kini menyandang julukan baru, Petani Milenial. Gelar itu disematkan Bupati Blora H Arief Rohman saat mantan Pekerja Migran Indonesia di Korea Selatan itu menyambangi pendopo untuk berhalal bihalal beberapa hari lalu. Adi bersama istrinya, Devi Agustina membawa oleh-oleh tiga jenis melon dari kebun hidroponik yang dikelolanya.

"Hemmm rasanya manis dan crunchy, krispi ya," komentar Arief saat mencicipi potongan melon jenis New Kinanti dalam unggahan di Instagramnya dilihat detikfinance, Senin (22/4/2024).

Selain New Kinanti yang bentuknya bulat, kulit mulus keemasan, daging orange, Adi Latif Mashudi juga membawa dua jenis melon lainnya. Yakni Sweet Lavender dan Rangipo-RZ. Lavender bentuknya lonjong, kulit berjaring, warna kulit kuning, daging orange. Rangipo berbentuk bulat, kulit warna hijau dan berjaring, daging warna orange, dan bijinya lebih sedikit.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya menjualnya langsung di kebun sebagai bagian dari agro wisata. Harganya rata-rata Rp 30 ribu per kilogram," kata lelaki kelahiran Blora, 25 April 1997 itu saat berbincang dengan detikfinance, Selasa (23/4/2024).

Adi Latif Mashudi saat menerima beasiswa dari BNI di Korea Selatan pada 2019Adi Latif Mashudi saat menerima beasiswa dari BNI di Korea Selatan pada 2019 Foto: Dok. Pribadi

Di lahan seluas 2000 meter persegi, sebagian ia gunakan untuk menanam lebih dari seribu pohon melon secara hidroponik. Buah ini dipilih karena perawatannya tidak terlalu rumit dan masa panen relatif cepat. "Setiap dua bulan sudah bisa dipanen," kata Adi.

ADVERTISEMENT

Ia mulai menjadi petani melon tak lama setelah kembali sebagai pekerja migran di Korea Selatan pada pertengahan Juli 2023. Di sana dia bekerja selama lima tahun, 23 Desember 2017 - Juli 2023 di salah satu raksasa elektronik, LG. Selepas dari LG sebetulnya dia sudah mendapat kontrak dari perusahaan lain dengan tawaran gaji dan fasilitas lebih baik. Namun setelah berdoa selama menunaikan ibadah haji pada 2023, Adi mengaku hatinya justru malah dimantapkan untuk kembali ke Blora.

"Saya sebetulnya saat anak-anak bercita-cita menjadi polisi, tapi kondisi orang tua yang cuma buruh tani rasanya tak mungkin membiayai. Apalagi setelah dewasa melihat kondisi geografis kampung halaman yang tertinggal, rasanya kok lebih baik saya membangun desa saja," tutur Adi.

Setelah enam bulan bekerja di LG, dia mengisi hari-hari libur akhir pekannya dengan kuliah jurusan Manajemen Bisnis di Universitas Terbuka yang bekerja sama dengan salah satu universitas di sana. Berkat prestasinya, dia bersama empat rekan lainnya meraih beasiswa dari BNI. "Besarnya 500 ribu Won atau sekitar Rp 6 juta. Saya dapat pada 2019 dan 2021," kata Adi yang kemudian diwisuda pada 2022 dengan IPK 3,65.

Petani melon Adi Latif MashudiAdi Latif Mashudi di area green house, kebun melon Foto: Dok. Pribadi

Selain melon, di lahan yang dinamai Agro Wisata Girli Farm di Desa Sumberejo, Adi Latif Mashudi juga tengah mencoba menanam alpukat, durian, strawberi, dan lainnya. Di lahan lainnya dia tengah menggarap kolam untuk ikal Lele dan Nila. Semua dia pelajari secara otodidak dengan sesekali berkonsultasi kepada dua seniornya sesama mantan PMI Korea yang telah lebih dulu menjadi petani.

Sejauh ini belum ada bimbingan maupun bantuan apapun dari Dinas Pertanian setempat. "Semoga ke depan ada, tapi yang paling utama sih perbaikan jalan agar wisatawan mudah mengakses lokasi kebun saya," ujarnya.

Untuk membangun Girli Farm, Adi mengaku merogoh modal sekitar Rp 700 juta. "Semua dari tabungan pribadi selama kerja di Korea, tanpa pinjaman bank," tegasnya.
Selain membangun ekosistem pertanian untuk meningkatkan perekonomian desa, Adi juga tengah berancang-ancang dengan beberapa teman sesama mantan PMI Korea untuk membuka lembaga pendidikan Bahasa Korea. Dari pengalamannya lima tahun bekerja di sana, dia menilai gaji dan fasilitas di sana tergolong sangat baik. "Saya mendapat lebih dari Rp 20 juta per bulan. Intinya kita itu gaji dan fasilitas tak dibedakan dengan warga Korea," ujarnya.

Sedikit kilas balik, saat masih belajar Teknik Otomotif di sebuah SMK di Blora, ada lembaga yang memberikan kursus Bahasa Korea selama tiga pekan secara gratis. Setamat SMK pada 2015, dia melanjutkan kursus di sebuah lembaga di Pati. Karena dinilai berprestasi, saat ada program pengiriman tenaga kerja ke Korea dia termasuk yang disertakan secara gratis.

"Selama belajar itu saya juga dipercaya untuk mengurus asrama dan koperasi lembaga tersebut. Eh, pas ada program ke Korea saya disertakan, gratis. Padahal biasanya biaya untuk ke Korea bisa lebih dari Rp 30 juta," tutur Adi.

Lihat juga Video 'Petani di Lebak Raup Cuan dari Budi Daya Melon Inthanon':

[Gambas:Video 20detik]



(jat/rrd)

Hide Ads