Bagi kebanyakan petani, daun nanas hanyalah sisa panen yang tidak bernilai dan sering berakhir di tempat pembakaran. Namun bagi Alan Sahroni, tumpukan daun nanas justru menjadi peluang bisnis yang mengangkat ekonomi petani sekaligus menciptakan produk bernilai tinggi.
Lewat bisnisnya di Alfiber, Alan berhasil memproduksi serat daun nanas dan mengekspornya ke Singapura, Malaysia, Jerman hingga Jepang. Serat daun nanas dapat digunakan untuk berbagai bahan baku seperti tekstil, fesyen, maupun kerajinan.
Perjalanan Alan dimulai pada 2013 saat ia mengikuti lomba business plan nasional sebagai syarat mengambil ijazahnya karena mengikuti program beasiswa dari Kementerian Perindustrian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketika itu, ia menempuh pendidikan di STT Tekstil Bandung dan mulai melihat potensi Subang sebagai daerah penghasil nanas, bukan pada buahnya yang sudah umum diolah, tetapi pada serat yang tersembunyi di daunnya. Alan menyadari bahwa daun nanas memiliki serat kuat yang bisa diolah menjadi bahan baku kain, kerajinan, hingga produk fashion.
Ia berhasil memenangkan lomba tersebut hingga difasilitasi untuk membuat mesin pengolah daun nanas menjadi serat. Karena belum ada mesin sejenis di pasaran, Alan merancang dan membuat mesin dekortikator.
Produksi komersial mulai berjalan pada 2013, namun Alan harus menghadapi tantangan besar karena serat daun nanas masih belum dikenal pasar. Alan membangun pemasaran dari nol melalui blog gratis dan perlahan mulai mendapat perhatian dari akademisi, mahasiswa, hingga media nasional.
"Waktu itu dengan dosen bikinlah mesin dekortikator ini yang sekarang dijadikan untuk pengolahan daun nanas menjadi serat, jadi mesin realisasinya 2013. Saya produksi kurang lebih setahun, karena mungkin serat daun nanas ini produk baru dan belum banyak yang mengetahui untuk apa, kendalanya waktu itu adalah pemasarannya," ujar Alan saat berbincang dengan detikcom, ditulis Selasa (18/11/2025).
Selain menawarkan serat nanas siap olah, Alfiber juga menjual paket lengkap produksi yang terdiri dari mesin dekortikator dan alat tenun bukan mesin. Pemesanan pun datang dari berbagai daerah, mulai dari pelaku industri kecil hingga universitas yang membutuhkan mesin mini untuk laboratorium.
Alan bercerita, pada 2021 Alfiber berhasil mengekspor serat daun nanas ke Singapura meski berada di tengah situasi pandemi COVID-19. Alan berhasil mengekspor hingga total 1,2 ton serat daun nanas ke Negeri Singa itu.
"Waktu itu kan COVID ya, jadi misalkan ada berapa serat nanasnya? Misalkan ada 300 (kg) ya udah kirim. Ada berapa, ada 100, ya udah kirim. Kadang pas pengiriman itu minta ditahan dulu lagi karantina. Cuman nilainya itu yang terjual itu 1,2 ton itu harga per kilonya Rp 187 ribu," sebut Alan.
Limbah Nanas Diolah Jadi Sumber Cuan hingga Tembus Ekspor Foto: Dok. Alfiber |
Ekspor juga dilakukan ke negara-negara lain meskipun jumlahnya lebih kecil. Keseluruhan produksi Alfiber dilakukan di tiga Desa, yakni Cikadu, Cimenteng, dan Cirangkong Subang, Jawa Barat. Dalam masa ekspor, Alfiber bisa mengolah minimal 750 kilogram daun nanas per hari, sementara produksi normalnya sekitar 300 kilogram per hari.
Meskipun bahan bakunya melimpah, tingkat rendemen serat yang hanya 2% membuat produk Alfiber bernilai premium. Dari 100 kilogram daun hanya dihasilkan dua hingga dua setengah kilogram serat kering.
Serat itu kemudian dipintal manual, ditenun, dan dikombinasikan dengan katun atau sutra untuk menjadi kain. Selain serat, Alan menyebut Alfiber memproduksi kerajinan tangan serta menyediakan pasokan serat untuk perusahaan Jepang yang rutin membeli bahan untuk pembuatan topi.
Penjualan di marketplace seperti Shopee dan Tokopedia turut menjadi sumber pendapatan tambahan. Alfiber mempekerjakan empat orang di tempat produksi, penyisir lima orang, dan dua orang untuk pemasaran yang merupakan warga lokal Subang.
Limbah Nanas Diolah Jadi Sumber Cuan hingga Tembus Ekspor Foto: Dok. Alfiber |
Modal Rp 30 Juta
Alan bercerita, usaha ini dimulai dengan modal sekitar Rp 30 juta untuk mesin, peralatan, dan bangunan sederhana. Dan kini, penjualan serat di marketplace bisa mencapai dua puluh hingga tiga puluh kilogram per bulan atau sekitar Rp 10-15 juta, belum termasuk pemasukan dari penjualan mesin.
"Kalau di serat aja Rp 10-15 juta, kalau mesin tergantung banyak pesanan sih kalo omzetnya," tuturnya.
Saat ditanya alasan memilih limbah daun nanas, Alan mengaku ingin menghadirkan usaha yang punya dampak sosial. Ia melihat petani kerap kesulitan menjual buah saat harga jatuh, sementara daunnya dibuang atau dibakar sehingga menimbulkan polusi.
Melalui Alfiber, petani kini bisa menjual daun nanas dan mendapat tambahan pendapatan, sementara anak muda dan ibu-ibu desa memperoleh pekerjaan baru melalui kegiatan pemintalan dan penyisiran serat.
Alan percaya bahwa tidak ada sesuatu yang benar-benar menjadi limbah. Menurutnya, semua hanya soal bagaimana melihat potensi dan memberikan nilai tambah. Ia ingin Alfiber menjadi bukti bahwa bahan sederhana seperti daun nanas bisa menghasilkan manfaat ekonomi, sosial, dan lingkungan.
"Pertama karena melihat cukup prihatin di sini dengan kondisi petani yang kadang harga jual nanas itu kan fluktuatif dengan adanya kegiatan kita, kita memberikan income tambahan juga buat para petani nanas. Jadi selain jual buahnya dia bisa jual daunnya juga," imbuhnya.
Alan mendorong siapa pun yang ingin memulai usaha serupa untuk mengenali potensi lokal, melakukan riset menyeluruh, menetapkan tujuan yang jelas, dan berani mengeksekusi.
Lihat juga Video '87 Kontainer CPO Ilegal Terbongkar, Nilai Transaksi Capai Rp 2,8 T':













































