Mengintip Pabrik Rokok Rumahan Sami Jaya

Mengintip Pabrik Rokok Rumahan Sami Jaya

- detikFinance
Senin, 14 Jul 2008 08:02 WIB
Cirebon - Di tengah dominasi pasar atas rokok-rokok bermerek dari pabrik rokok besar, ternyata produk rokok rumahan masih bisa bertahan. Lihat saja rokok merek Sami Jaya dan Panamas, produksi asli rokok Cirebon yang tidak kehilangan penggemar yang membuat pabriknya terus mengebul.

Pabrik Rokok (PR) Subur, merupakan satu dari sekian banyak produsen rokok pabrikan rumah tangga yang ada di Cirebon, Jawa Barat.

Dalam acara peninjauan yang diadakan bersama Departemen Keuangan, detikFinance mendapat kesempatan mengintip secara langsung aktivitas produksi rokok kretek asli Cirebon ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Saya memulai usaha ini sejak tahun 1971," ujar pemilik PR Subur, Hussen Nawi di pabriknya, Cirebon, Jawa Barat, Sabtu (12/7/2008).

Lokasi pabrik terletak di Desa Astanalanggar, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Sekilas, lokasi pabrik tidak seperti layaknya pabrik-pabrik rokok yang menggunakan teknologi mesin-mesin canggih.

Mesin yang dimiliki sederhana karena jenis produksi PR Subur ini termasuk dalam kategori Sigaret Kretek Tangan (SKT). Jadi seluruhnya diproduksi dengan tangan, mulai dari pelintingan hingga pengepakan.

Luas pabriknya pun masing-masing tidak lebih dari 60 meter persegi. PR Subur memiliki dua ruangan produksi, satu untuk memproduksi merek Sami Jaya, satu lagi untuk merek Panamas.

"Merek rokok kami ada dua, Sami Jaya dan Panamas," ujar Hussen.

Hussen mengatakan, dua merek tersebut diproduksi sebanyak 75 bal per bulan. Satu bal kira-kira berisi 200 bungkus rokok. Jadi total produksi PR Subur sekitar 15 ribu bungkus per bulannya.

"Jumlah pegawai pabrik ada 100 orang. Mereka kerja secara bergantian," ujar Hussen.

Jadwal produksi pelintingan hingga pengepakan hanya dilakukan selama 10 hari dalam 1 bulan. Sisanya untuk pra produksi dan proses distribusi.

"Setiap 10 bungkus kami dapat Rp 500. Rata-rata satu hari kami dapat Rp 10 ribu," ujar salah seorang pegawai pabrik.

Harga jual dua merek tersebut sebesar Rp 1.750 per bungkus, sudah termasuk cukai rokok. Menurut Hussen, harga jual di tingkat distributor atau di pasar sekitar Rp 2 ribuan per bungkusnya. Jadi omzet sebulannya kira-kira Rp 26,25 juta.

"Keuntungan (laba) tidak begitu besar ya. Kira-kira Rp 100 ribu per hari. Paling tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari," ujar Hussen.

Meski untung tidak seberapa, rupanya industri rumah tangga ini masih bisa bertahan ditengah kondisi ekonomi seperti sekarang ini.

"Alhamdulillah, sejauh ini kami masih bisa produksi," ujar Hussen.

Dengan volume produksi yang tidak begitu besar, namun dua merek ala Hussen Nawi ini bisa diekspor ke kota lain.

"Distribusi merek kami terutama di Cirebon dan Tegal," ujar Hussen.

Di sisi lain, keberadaan PR Subur juga memberikan pemberdayaan ekonomi pada masyarakat sekitarnya. Sebab selain memiliki pabrik, Hussen juga memiliki lahan perkebunan tembakaunya sendiri.

"Total luas lahan perkebunan tembakau untuk produksi kami sekitar 30 hektar. Dari jumlah tersebut, hanya 3 hektar yang milik saya sendiri, sisanya disewa," papar Hussen.

Masyarakat sekitar pun menilai keberadaan PR Subur adalah suatu bentuk mutualisme ekonomi, terutama dalam memberi mata pencaharian alternatif.

Mayoritas mata pencaharian penduduk sekitar pabrik adalah di sektor pertanian dan perkebunan. Nah, hampir semua pekerja proses pelintingan hingga pengepakan di pabrik pak Nawi adalah ibu-ibu rumah tangga.

"Dengan adanya pabrik ini, waktu luang kami bisa dimanfaatkan untuk mendapat pemasukan tambahan," ujar salah seorang pegawai pabrik.

Secara pribadi, Hussen adalah seorang pengusaha yang patut dicontoh. Ia sama sekali tidak tergoda menggunakan pita cukai palsu.

"Wah, sama sekali nggak kepikiran. Wong untung nggak seberapa, kalau ketahuan bisa-bisa rusak semua usaha kami selama ini," pungkas Hussen. (dro/ir)

Hide Ads