Sebagai informasi, era disruption tersebut adalah era yang mengharuskan setiap perusahaan melakukan hal yang lebih dari sustaining innovation atau inovasi yang dapat menciptakan pasar baru.
"Kita terancam sama disruption. Tapi enggak ada yang sadar sama sekali kalau teknologi bisa merubah banyak hal," kata Rhenald di Periplus Pondok Indah Mall 1, Jakarta, Rabu (8/11/2017).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Central Park tetap ramai. Mengapa? Karena di atas orang tinggal di apartemen, ada rukan dan mereka makan sana di sebelahnya juga ada kampus. Malnya masih baru. Tapi ada mal yang sudah kuno nggak diperbaharui, naiknya desak-desakan, pakai tangga, parkir susah. Ke glodok, misalnya. Wajar nggak sekarang orang jadi berkurang?," ucap Rhenald.
Ia menjelaskan, agar dapat menghadapi era disruption tersebut perusahaan harus terbuka terhadap perubahan. Tidak hanya menyangkut perubahan bentuk, ukuran atau desain tapi juga mengubah seliruh metode, cara kerja dan bahkan produk yang tidak lagi relavan.
"Kesalahaan Anda tapi Anda salahkan daya beli. Kesalahan kamu tidak mengubah perusahaan. Nggak ubah Sumber Daya Manusia (SDM), nggak ubah kecepatan dan desain dan lokasi tokonya," kata Rhenald.
Dalam buku Rhenald, upaya mengikuti perkembangan teknologi itu mengambil contoh pengalaman PT PP (Persero) Tbk. BUMN konstruksi ini mengikuti perkembangan teknologi yang melahirkan inovasi terbaru 3D printing dalam bidang konstruksi.
"Hanya dengan satu alat kita bisa bangun rumah hingga gedung. Alat tersebut sudah memiliki semua data dan bisa membangun sendiri," kata Kepala Research dan Teknologi PT PP, Hajar Seti Adji.
"Begitulah karakteristik dari era disruption. Ancaman datang dari lawan-lawan tak kelihatan yang semula tidak pernah kita anggap sebagai saingan," tutup Rhenald. (hns/hns)