Masa kecil seorang Djohari Zein bisa dibilang jauh dari kata indah. Waktu kecil, ia kerap ditindas atau di-bully. Tak hanya itu, keberadaannya juga ditolak sana-sini.
Namun, kondisi itu justru menjadi pelecut bagi Djohari untuk sukses seperti sekarang. Kondisi serba tak enak itu membuat Djohari sering bersyukur dan tidak sombong.Di perusahaan, ia tak memposisikan diri sebagai pemilik. Ia memposisikan diri sebagai seseorang yang membantu.
Djohari merupakan salah satu orang di balik PT Tiki Jalur Nugraha Ekakurir atau JNE. Ia merupakan salah satu pendiri perusahaan ekspedisi yang terkenal di Tanah Air saat ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam wawancara khusus detikcom Agustus 2022 silam, pria kelahiran Medan 16 April 1954 ini bercerita, ibunya merupakan guru Bahasa Inggris. Sebagai seorang guru, orang tuanya sangat fokus pada pendidikan. Hal itu membuat dirinya menjadi murid yang paling kecil di sekolah.
"Jadi saya TK aja sudah sekolah, itu di gereja sekolahnya. Akibatnya waktu SD ya saya paling kecil di kelas. Itu saya satu kemungkinan yang menurut saya karena saya terlalu kecil di kelas," katanya.
"Kadang-kadang ada nakal berisik, yang kena hukuman kita aja berdua, karena kita paling kecil, ada di satu kelas dua orang paling kecil," sambungnya.
Hal lain yang membuatnya kerap di-bully adalah kondisi lingkungan saat itu. Meski Djohari keturunan Tionghoa, tapi ayahnya bekerja di bank yang dianggap 'Kebelanda-belandaan'. Alhasil, ia sulit diterima di komunitas Tionghoa maupun di kalangan masyarakat pribumi kala itu.
"Jadi saya termasuk keluarga di lingkungan saya di Medan itu adalah keturunan yang nggak bisa diterima orang Chinese, nggak bisa diterima orang pribumi juga. Jadi makanya saya nggak punya teman, di lingkungan teman-teman sekolah saya, karena banyak orang Chinese-nya. Di lingkungan rumah tangga saya kebanyakan orang pribumi," paparnya.
"Saya di lingkungan yang dianggap jenis yang tidak bisa diterima sini, nggak terima situ," imbuhnya.
Namun demikian, hal itu justru membuatnya bersyukur. Sebab, hal itu tidak membuatnya merasa 'tinggi'.
Hal itu pun juga ia terapkan di tempat kerja. Di tempat kerja, ia tak memposisikan sebagai pemilik atau owner, melainkan sebagai orang yang membantu. Sikapnya itu membuat Djohari sukses seperti sekarang.
"Walaupun kemudian bisa buka bisnis, punya perusahaan, punya saham, tapi selalu lebih melihat diri saya itu one of the manager, sehingga saya bekerja itu tidak merasa saya yang punya, saya ini harus kerja keras, nah itulah culture-nya, minority itu seperti itu," jelasnya.
Pada kesempatan itu, Djohari juga bercerita awal mula membangun JNE. Bisnis logistiknya ini bisa dibilang cukup jauh dengan pendidikan yang ia tempuh.
Djohari menjelaskan, sebagai orang Tionghoa, keluarganya menaruh perhatian besar pada pendidikan. Selain itu, orang tuanya berkeinginan paling tidak ada anak di dalam keluarga yang menjadi sukses. Maka, orang tuanya berkeinginan menjadikan kakak Djohari sebagai dokter.
"Jadi orang tua waktu itu tentu melihatnya salah satu minimal anak saya bisa jadi orang. Yang dibebankan adalah kakak saya, karena dia sekolahnya paling pintar, paling bagus, mungkin saya tipenya yang otak kiri, sukanya seni, membuat karangan, kakak saya itu hafalan kimia," jelasnya.
Namun, untuk menjadi dokter bukan perkara mudah. Sebab, sekolah dokter membutuhkan waktu yang lama. Ditambah, pendidikan dokter membutuhkan biaya yang besar.
Berbeda dengan Djohari. Ia mengaku lebih suka bidang ekonomi. Jika sesuai keinginannya, seharusnya ia masuk ke pendidikan ekonomi. Namun hal itu tidak ia lakukan karena berkaca pada sang kakak di mana harus menempuh pendidikan yang lama dan lama juga untuk mendapat pemasukan.
Akhirnya, ia menempuh pendidikan pariwisata di Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti.
"Saya memang tipe anak nakalnya, waktu itu sukanya ekonomi, pembukuan, seni rupa saya lulus tapi saya kemudian mau masuk sekolah kalau pilihan sesuai dengan pendidikan yang mungkin ekonomi, tapi saya nggak masuk situ karena kakak saya harus jadi dokter, dia nggak ada income. Kalau saya masuk di situ, kan saya kuliah juga. Jadi akhirnya saya masuk hotel," terangnya.
"Jadi masuk hotel itu targetnya supaya saya bisa keluar dalam waktu 1-2 tahun nanti ya saya bisa bekerja sambil membantu orang tua waktu itu. Akhirnya saya masuklah di hotel," sambungnya.
Benar saja, Djohari akhirnya lulus dengan waktu yang relatif singkat. Ia kemudian meniti karir di antaranya bekerja di Hotel Hilton.
"Dalam perjalanan hotel, saya kerja pertama di Hotel Hilton itu punya orang barat. Jadi saya melihat juga kayaknya kalau di Hilton yang jadi GM bule-bule semua di zaman itu. Nah saya mau jadi GM itu kapan?" ujarnya.
Usai di Hotel Hilton, ia berpindah ke perusahaan lain yang dianggap menghargai kemampuan Bahasa Inggris. Ia pun kemudian bekerja di TNT yang bergerak di bidang logistik. Di TNT, ia pun kembali berpikir karena ia kembali bekerja di bawah orang asing.
"Kita harusnya bisa membuat perusahaan yang bisa menjadi tuan rumah di negeri Indonesia. Jadi tuan rumah di negeri sendiri itu membuat saya ingin membuat perusahaan logistik yang bisa jualan di Indonesia untuk orang Indonesia," jelasnya.
Djohari pun berpikir membuat perusahaan logistik sendiri. Ia pun berinisiatif membuat perusahaan pengiriman ke luar negeri.
"Belajar dari situ terpikir untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri maka saya berpikir untuk membangun model servis seperti perusahaan asing itu tapi untuk Indonesia," ujarnya.
Hal itu pun menjadi cikal bakal lahirnya JNE. JNE sendiri lahir pada tahun 1990.
"Kebetulan otonomi daerah berkembang, ekonomi daerah juga bertambah, kebutuhan untuk quality meningkat, maka saya bisa jualan dah di situ. Di tahun 1990 lah kira-kira," jelasnya.
(acd/kil)