Setiba di Tanah Air, pria kelahiran 10 November 1974 ini diberi tugas menyelamatkan perusahaan Grup Bakrie yang terancam karam. "Saya selalu ditugasi menangani perusahaan susah," kata Anindya kepada Harian Detik akhir pekan lalu. Anindya sekarang menduduki tiga jabatan penting, yaitu Presiden Diretur (CEO) PT Bakrie Telecom Tbk, Presiden Diretur (CEO) PT Visi Media Asia (Viva), dan Presiden Komisaris PT Cakrawala Andalas Televisi (ANTV).
Berikut ini petikan wawancara bersama Anindya Bakrie:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengusaha itu kan orang yang suka usaha. Bukan cita-cita, melainkan passion. Passion dalam melakukan sesuatu. Karena itu, pengusaha kecil atau besar ciri-cirinya mirip: suka berusaha. Kalau gagal, ya usaha lagi, coba lagi. Itulah esensinya. Passion datang dari lingkungan, lama-lama kita terpanggil dan menggelutinya.
Anda hanya mengurusi Bakrie Telecom dan Viva?
Ceritanya menarik. Ada orang bilang, kalau tidak mau kena ombak, jangan jadi layar, harus hadapi. Kedua, semua orang, kalau sudah enak, ya gampang, tapi kalau sudah jatuh, bisa naik bisa tidak. Saya lahir di bisnis pada 1997. Sebelumnya, saya pernah bekerja di Salomon Brothers, Wall Street, lalu ditelepon Bapak bahwa 'kapal' lagi berat, diminta bantu di sini. Namanya anak umur 21, lagi bangga-bangganya bisa bekerja di tempat lain, bisa dapat uang sendiri, hidup sendiri. Itu kebanggaan yang enggak bisa dibayar dengan uang. Tapi bangga juga karena masuk grup bukan minta, tapi ditawari. Saya selalu ditugasi menangani perusahaan susah. Alasannya, kalau sudah sulit, enggak mungkin lebih sulit. Hikmahnya, saya terlatih menghadapi tantangan.
Seberapa besar pengaruh nama besar Ahmad Bakrie?
Mesti orang yang nilai ya karena ini kan kita juga sudah generasi ketiga. Sudah ada legacy plus dan minusnya. Kalau dilihat, satu hal konstan di grup kami adalah perubahan. Bisnis generasi pertama bergerak di trading komoditas, generasi kedua ekspansi besar, seperti pipa, properti, batubara. Lalu generasi ketiga berfokus pada bisnis yang sudah ada tapi belum diseriusi dan mulai tumbuh, misalnya telekomunikasi dan media. Intinya mengembangkan yang sudah ada.
Peralihan generasi pertama ke generasi kedua sempat menggaet Tanri Abeng, peralihan generasi kedua ke ketiga bagaimana?
Sama. Di generasi sekarang, generasi kedua masih komandan. Dari 11 perusahaan publik, yang direksinya anggota keluarga cuma dua. Direktur utamanya juga cuma satu, BTEL saja. Yang lain tidak ada. Komisaris mirip-mirip, paling cuma dua juga. Rada beda pemikiran dan struktur, benar-benar menyiapkan untuk masa depan profesionalisme globalisasi. Ini juga hasil dari berbagai macam percobaan dan cobaan.
Berita tentang Bakrie banyak di-blow-up media akhir-akhir ini, komentar Anda?
Paling tidak beritanya laku. Ya, begitulah, laku dijual beritanya. Kayak orang bilang bad news or good news just news, benar atau tidak hanya yang tahu saja mana yang benar. Yang pasti, dari waktu ke waktu, sering ya (blow-up). Kalau dipikir, bisnis yang berjalan selama ini tidak sedikit, jaringan yang terbentuk juga lama, mau tidak mau harus berubah dan berinovasi.
Kinerja Bakrie Telecom (BTEL) sejauh ini bagaimana?
Salah satu imbas ada di grup itu, jangankan yang benar, yang tidak benar saja beritanya aneh. Kalau BTEL, kami pemain nomor empat. Bukan top 3, tapi salah satu yang terbaik. Bahkan di Jakarta dan Banten kami punya 35 persen pangsa pasar. Perusahaan baik-baik saja, tapi industrinya sedang menghadapi tantangan di mana sebelumnya fokus pada suara dan pesan pendek, sekarang pada data. Jadi harus menyesuaikan. Yang namanya penyesuaian pasti banyak news.
Seperti berita bulan Agustus (soal isu gagal bayar), kami sudah keluarin non-HMETD baik-baik dengan susah payah, sudah refinancing utang, yang di-refinance juga berterima kasih, tapi itu tidak ada komentarnya. Yang diberitakan kesannya malah kami gagal bayar. Ujungnya, kami berfokus pada sisi fundamental saja. Yang penting kami tahu, perusahaan berhasil melakukan rights issue, berhasil refinancing, akhirnya jadi naik peringkat. Tapi yang diramaikan malah yang lain. Padahal, kalau kami lihat sebagai nomor empat, BTEL punya EBITDA positif bisa Rp 1,1 triliun tahun ini, masih range.
Punya rencana melakukan aksi korporasi dalam waktu dekat?
Kami bereskan dulu yang ada. Awal tahun kami kan baru beli 35 persen Sampoerna Telecom. Kami lagi mengintegrasi keduanya biar bagus. Sambil juga melakukan pembayaran utang supaya semakin ringan. Kenapa kami dulu berutang? Ya, biar bisa berekspansi. Sekarang sudah menghasilkan, ya kami bayarkan. Fokus kami pada data, sebelumnya suara, sekarang data.
Dulu penetrasi suara waktu kami masuk cuma 25 persen, sekarang sudah 100 persen, bahkan lebih. Tapi data sekitar segitu, sekitar 20 persen. Mirip pada 2004 sewaktu kami masuk caranya juga sama. Istilahnya, visi kami satu, yakni jual barang murah tapi tidak murahan karena ujungnya orang Indonesia ingin yang faster, better, cheaper. Sekarang, daripada beli ponsel baru tapi tidak bisa BBM, mending beli BlackBerry bekas. Jadi kami berfokus pada segmen yang seperti itu karena kami menghargai uang. Kami berfokus dengan cara itu di data. Kalau dulu Esia jangan lihat pulsa, tapi talk time. Mulai sini banyak yang ikut. Ini zamannya after Esia before Esia.
Apakah ada perubahan strategi Esia menghadapi persaingan yang ketat?
Esia tetap fokus. Fokusnya ke Esia Max D, fokus value for money, murah tapi tidak murahan. Melihat penetrasi sudah banyak, ya terus kami perkuat. Tapi yang digenjot banyak Aha atau Esia Max D, karena dengan konektivitas internet ini menarik. Ini bisa makin naik tanpa melakukan apa-apa karena penetrasi internet atau telepon tidak ada cerita turun, pasti naik. Kalau naik, pertanyaan mendasar adalah bagaimana caranya bisa terkoneksi. Rata-rata orang telepon per hari kira-kira 8 menit, tapi, kalau main internet, bisa lebih dari 8 menit.
(erd/dnl)