Karir Tanri Abeng menjadi menteri BUMN dimulai 16 Maret 1998 hingga 21 Mei 1998 pada Kabinet Pembangunan VII. Kemudian melanjutkan tugasnya sebagai pejabat negara di kementerian yang waktu itu masih bernama Kementerian Negara Pendayagunaan Badan Usaha Milik Negara pada 23 Mei 1998-26 Oktober 1999.
Setelah Tanri, beberapa nama pengantinya sebagai menteri BUMN adalah Laksamana Sukardi, Soegiharto, Sofyan Djalil, Mustafa Abubakar, hingga Dahlan Iskan.
Berikut wawancara Tanri Abeng dengan detikFinance, Rabu (10/9/2014) saat ditemui di Jakarta. Kali ini ia bercerita soal kelahiran Bank Mandiri, yang kini sebagai bank dengan aset terbesar di Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tugas kedua adalah empat bank BUMN. Waktu di-merger itu semua sudah bangkrut sebenarnya karena NPL (kredit bermasalah) sudah di atas 60%. Kemudian kita merger menjadi Bank Mandiri. Jadi cerita ini memang belum pernah diceritakan sebenarnya.
Saya butuh Robby Djohan (eks Dirut Garuda) untuk memimpin merger Bank Mandiri. Ceritanya begini, kan ada empat Bank. Pak Harto mengatakan, "Apa tidak sebaiknya, dari empat ini kita pertahankan satu. Yang tiga nanti bergabung".
Enaknya saya waktu itu, tidak pernah Asal Bapak Senang. Kalau dulu kan kebanyakan kalau Pak Harto bilang A, orang harus bilang iya Pak. Kalau saya tidak begitu. Saya selalu berikan Pak Harto alternatif.
Saya bilang, "Pak, kalau ada satu dipertahankan, yang tiga itu bagaimana perasaannya. Kedua, ini kita mau melakukan reformasi total. Ya jadi jangan ada yang dipertahankan, nanti kulturnya masih kultur yang itu-itu juga".
Akhirnya diputuskan bentuk saja bank baru. "Kalau begitu kita namakan Bank Catur" langsung Pak Harto bilang begitu.
Jadi Pak Harto kasih nama Bank Catur. Sehabis itu ada orang dari Taspen saya tunjuk untuk pimpin. Tapi dia orangnya jujur banget, namanya Pak Mul. Dia datang ke saya, dia bilang, "Pak Menteri, saya tidak sanggup".
Itu sebabnya saya cari-cari lagi, dapatnya Robby Djohan. Memang kan dia latar belakangnya bankir. Tapi dia bilang dia masih betah di Garuda. Akhirnya saya bujuk beliau, "Sudah lah, nanti saya tunjuk kamu jadi Komisaris Utama Garuda".
Jadilah dia sebagai Komut Garuda. Lalu saya tunjuk Abdul Ghani menjadi Dirut Garuda yang baru. Ghani itu saya punya sahabat di sekretaris kementerian. Saya korbankan untuk selamatkan Garuda. Emirsyah Satar tetap menjadi Direktur Keuangan.
Jadi memang Emirsyah itu adalah anchor (jangkar) Garuda. Dia alami Garuda zamannya Robby, zamannya Ghani. Bahkan kita sudah berpikir kalau setelah Ghani, maka selanjutnya adalah Emirsyah Satar jadi Dirut. Tapi kan Menteri BUMN waktu itu Pak Laksamana Sukardi putuskan lain. Waktu dia putuskan lain, dia angkat Pak Indra yang masuk penjara karena kasus Munir itu, Robby langsung mengundurkan diri. Dia merasa tidak tepat Indra ditunjuk sebagai Dirut Garuda. Benar, selama tiga tahun di bawah Indra itu Garuda Rugi.
Nah setelah Rugi, pemerintah sadar lagi. Kalau begini harus cari lagi ini Pak Robby. Robby pun ngomong lagi, "Oke Emirsyah, kau balik lagi". Kembali lah Emirsyah tahun 2005.
Lau saya pindah Robby ke Mandiri, kita pontang-panting lagi di situ. IMF menuntut ini harus segera, kita dikasih 24 bulan untuk melakukan merger bank ini. Robby datang kepada saya. "Saya nggak mau tunggu 24 bulan. Saya kerjakan 8 bulan".
Saya tanya, apa bisa? Dia jawab bisa, dan benar dia kerjakan 8 bulan sudah merger.
Makanya sebelum saya turun bulan September, bulan Agustus sudah saya teken surat merger Bank Mandiri. Kan saya kuasa RUPS. Jadi bisa dikatakan yang mendirikan Mandiri itu saya. Tidak ada yang berani teken waktu itu, Menteri Keuangan saja tidak berani. Jadi lah Bank Mandiri seperti sekarang.
Itu lah cerita awal dengan Pak Harto waktu dia lengser. Saya hanya 66 hari bersama Pak Harto. Waktu dia lengser, semua keputusan perihal kementerian dari mulai personelnya sampai strukturnya, semua selesai.
(hen/hds)