Buka-bukaan Soal Pembubaran Petral

Wawancara Khusus Dirut Pertamina

Buka-bukaan Soal Pembubaran Petral

Muhammad Idris - detikFinance
Selasa, 02 Agu 2016 08:32 WIB
Foto: Rachman Haryanto
Jakarta - Selama puluhan tahun, proses pengadaan impor minyak di Indonesia dilakukan lewat Pertamina Energy Trading Ltd (Petral), anak usaha Pertamina yang berdomisili di Singapura. Pembelian lewat Petral ini disebut-sebut sebagai ladang subur bagi 'mafia migas'.

Kondisi ini membuat harga minyak atau BBM yang dibeli Pertamina menjadi lebih mahal, ketimbang membelinya langsung pada National Oil Company (NOC) sebagai produsen, lantaran pengadaan Petral selama ini dilakukan melalui trader.

Dengan dukungan pemerintah, Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto, langsung bergerak cepat dengan membubarkan Petral dan anak usahanya, Pertamina Energy Service Pte Ltd (PES). Bekas Dirut PT Semen Indonesia ini menyebut, banyak ketidakberesan dalam proses pengadaan minyak di dalam Petral, dan selama puluhan tahun pula Petral hampir tak pernah tersentuh.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pembubaran Petral secara institusi belum selesai, ini disebabkan karena perusahaan tersebut masih memiliki piutang yang belum dibayarkan. Berikut petikan wawancara khusus detikFinance dengan Dwi di ruang rapat kantor pusat Pertamina, Gambir, Jakarta Pusat, pekan lalu.

Soal pembubaran Petral, yang Anda kebut di awal saat memimpin Pertamina. Bisa diceritakan awal mula rencana pembubaran?
Awalnya berangkat dari saya baca di media, tempat saya belajar di awal, karena memang saya bukan orang minyak. Saya juga banyak belajar dari pensiunan yang datang memberikan informasi, dari karyawan. Yang saya baca di media adalah Pertamina tidak efisien. Ketika bicara efisiensi, maka kami langsung pergi ke proses pembelian.

Kalau kita membeli rantainya semakin panjang, tidak langsung kepada sumbernya, maka itu pasti menjadi tak efisien. Ketika saya pelajari begitu besar nilai impor Pertamina, kemudian saya masuk pada bagaimana cara impornya. Ketika kemudian kami bicara impor ternyata lewat Petral. Lah, kenapa harus lewat perusahaan tertentu. Kalau mau efisien, ini harus dipotong.

Tetapi awalnya, dipotong praktik pembeliannya, tetapi Petral masih tetap ada untuk trading dan sebagainya. Tetapi dua bulan, saya mulai di Februari. Di Februari saya sudah ketemu perusahaan eksportir ke Indonesia, perusahaan besar dari luar negeri.

Saya bilang, sekarang pembeliannya kami ubah, kami langsung. Dua bulan saya tunggu tidak menindaklanjuti apa yang saya sampaikan. Saya perhatikan kenapa orang tak bereaksi dengan statement kita mengubah proses pembelian ini. Ternyata, di luar negeri orang tidak percaya Petral bisa dibubarkan.

Setelah kami konsultasi ke presiden, dan presiden sangat mendorong bersihkan saja, dan dengan Menteri BUMN juga kami diskusikan juga, akhirnya kami putuskan dibubarkan. Dari situ diikuti audit investigasi, dan kemudian diketahui adanya potensi-potensi permainan di sana. Itu satu sisi berkaitan dengan pembubaran petral.



Progres pembubaran sekarang seperti apa?
Proses pembubaran Petral masih berlangsung yang di mana proses operasinya, bisnisnya sudah dibekukan, sudah nggak ada lagi. Tetapi belum dibubarkan karena Petral punya piutang, ada orang yang utang sama dia. Kalau kami bubarkan, orang yang punya utang lepas. Jadi ini (Petral) hanya menjadi badan bagaimana menagih piutang-piutangnya tadi. Itu proses dan kondisi Petral sekarang.

Piutang Petral berapa yang tersisa saat ini?
Saya nggak hafal angkanya, dan ini sangat perlu verifikasi karena ada kita menangkap indikasi piutang. Tetapi tidak ada ikatan hitam di atas putih. Kita berusaha untuk menagihnya, kami berusaha semaksimal mungkin untuk menagih. Kalau misalnya kita sebut angka yang masuk dalam neraca pembukuan itu kecil. Tetapi, bekerja sama dengan auditor, kami melihat ada potens-potensi lain yang harus kami tagih, itu yang kami telusuri.

Apakah memang orang-orang di Petral itu di luar Pertamina, sampai tidak bisa dikontrol Pertamina sebagai induk?
Memang di masa yang lalu dia sangat otonom. Apalagi berkantornya di luar negeri. Jadi jauh dari jangkauan pengamatan dan sangat otonom. Kita juga baru tahu, gajinya sendiri sangat besar, mungkin karena living cost di sana sangat besar. Tapi saya pikir sudah keterlaluan besarnya. Ketika kami ganti manajemen baru, manajemennya usul gaji dipotong 50% karena kebesaran.

Bagaimana dampak dari penghentian operasi dan bisnis Petral terhadap efisiensi keuangan Pertamina?
Tahun yang lalu dengan pembubaran Petral, kita dapat efisiensi itu sebesar US$ 208 juta (sekitar Rp 2,7 triliun). Tahun ini, sampai dengan Juni 2016, kami dapat lagi US$ 91 juta (Rp 1,1 triliun). Kalau ini diambil setahun, secara kasar saja, US$ 180 juta (Rp 2,34 triliun).

Kalau ditambahkan tahun yang lalu, bisa hampir US$ 390 juta effort (usaha) kami dalam 2 tahun (sekitar Rp 5 triliun), dampak dari proses pembubaran Petral. (hns/wdl)

Hide Ads