Tak tanggung-tanggung, Kalla Group tengah menggarap 4 lokasi proyek PLTA yang kapasitasnya direncanakan sampai 1.535 Mega Watt (MW). Tiga proyek PLTA berada di Pulau Sulawesi yakni Poso sebesar 655 MW, Toraja 180 MW, dan Mamuju 450 MW. Sisanya ada di Kerinci Provinsi Jambi dengan kapasitas 250 MW.
Alasan pemilihan pada PLTA, lantaran pembangkit hidro dianggap lebih memiliki konten lokal terbesar ketika pembangunannya ketimbang pembangkit favorit kebanyakan investor, yakni Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berbahan bakar batu bara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Alasan Kalla Group lebih memilih membangun PLTA?
10 tahun lalu, kami masuk ke sini (PLTA). Pemikiran sederhana, banyak betul listrik Indonesia 75.000 MW potensi listrik tenaga air yang sudah jadi listrik hanya sekitar 3.000 MW. Coba berapa persen, mulai lah saat itu kami cari. Kami cari di kampung sendiri, lihat peta saja, saya sebelumnya belum pernah ke sini (Poso). Belum pernah.
Baru lihat peta dan datang ke bupati dan dikasih izin, hanya singkat sekali. Seminggu dua minggu selesai, yah kerjakan ini langsung. Nah kami nggak ada desain, kami langsung buat dulu jalan dulu dan lain-lain. Itu kan butuh waktu, sambil belajar, buat proyek seperti ini infrastruktur lama, buka jalannya, buka gunungnya, belah bukit, mesin paling terakhir, beda dengan PLTU.
Pertama PLTU padat dengan mesin, 80% biayanya buat mesin, atau pabrik. PLTA itu kebalikan 80% di sipil, gali tanah, cor, bangunan air, justru mesinnya atau mekanikal elektriknya itu hanya 20% saja. Mesin yang begitu canggih misalnya di PLTA Poso II, itu hanya biayanya 20% saja, sisanya yang besar pekerjaan sipil.
Makanya kalau China investornya suka bangun PLTU, karena mereka tinggal impor mesinnya, kemudian dipasang di sini selesai, jual barangnya, dan barangnya dari mereka. Kalau PLTA local content tinggi sekali. Belum lagi kalau buat sendiri.
Tak keberatan investasi mahal di PLTA?
Investasi mahal, yah otomatis tapi kan jangka panjang. Dan itu renewable energy tanpa bahan bakar.
Di mana saja rencana membangun PLTA?
Bukan lagi rencana, sedang buat malah. Di Toraja, Sulawesi Selatan. Satu lagi di Kerinci Jambi paling besar 350 MW sedang berlangsung, baru tahap awal, baru persiapan, itu didanai BNI dan konsorsium bank swasta lainnya.
Selain PLTA, Kalla Group tak mengincar bisnis smelter?
Kalau di sini smelter yang terbanyak di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, di situ letak tambangnya. Sekarang ada smelter mereka itu buat pembangkit sendiri, sedangkan paling cocok PLTA, karena batu bara listriknya nggak bisa naik turun, kayak mobil kan di gas-gas. PLTU jalannya lama setelah dihidupkan, kalau PLTA beda, bisa muter dengan cepat, smelter butuh seperti itu.
Siap investasi berapa di PLTA?
Investasi total semua besar sekali. Tapi kira-kira yang ini 1 PLTA saja Rp 4 triliun (PLTA Poso II), yang sedang dibangun (PLTA Poso I) Rp 2,5 triliun.
Investasi di pembangunan smelter berapa?
Bukan punya kami, kalau punya kami sedang dibangun di Palopo sedang dibangun, yang lain bukan punya kami. Bangun smelter paling tepat harus ada listriknya dulu, itu sekarang lagi mintakan izin bangun transmisinya.
Katanya susah nego harga dengan PLN?
Susahnya luar biasa, minimum setahun.
Apa alasan yang buat susah negosiasi harga dengan PLN?
Begini, PLN itu semuanya dipersoalkan, teknis dipersoalkan, barang bagaimana, harga bagaimana, jadi persoalan panjang lebar, jadi semua dinegosiasikan. Jadi bikin lama, tapi ujung-ujungnya harganya sama juga. Itu persoalan.
Kaya lagi mikrohidro itu sudah tidak ada negosiasi harga lagi harusnya, karena sudah ada harga ditetapkan aturan pemerintahnya, tapi yang masalah PLN tidak mau ikuti Peraturan Menteri, itu mikrohidro loh yah. PLN maunya lebih rendah, makanya ribut lah itu asosiasi mikrohidro dengan PLN sampai hari ini.
Karena asosiasi maunya sesuai dengan Peraturan Menteri, PLN nggak mau. Penyebabnya karena harga batu bara dan minyak pada turun, jadi otomatis harga pembangkitan lebih rendah menurut versi PLN. PLTA berbeda lagi.
Menurut Bapak, meski menguntungkan kenapa pembangunan PLTA lama?
Kalau PLN yang bangun listrik, tenaga air rata-rata sejak ide sampai keluar listrik paling cepat 10 tahun. Karena begitu ada ide dengan listrik langsung lakukan FS (feasibility study) setahun, desain setahun, kan baru ketemu biayanya berapa investasinya, cari uangnya setahun lagi, standarnya begitu.
Kemudian ditenderkan setahun lagi tuh. Nah baru tahun kelima bangun, pembangunan 5 tahun rata-rata PLTA kalau tidak ada hambatan, total hampir 10 tahun. Kalau ini barang (PLTA Poso II) kalau swasta kan nggak pakai FS lama, langsung bangun saja, persoalan bangun pakai duit sendiri dulu.
Kenapa Bukaka harus bangun transmisi sendiri di proyek PLTA Poso II?
Karena zaman itu PLN nggak mau bangun. PLN saat itu bilang, kamu bangun PLTA saya beli listriknya, tapi kamu bangun sendiri transmisinya. Mau jual ke mana kalau nggak ada transmisinya. Sudah kami akhirnya bangun, setelah kami bangun memang ada komponen transimisi semacam sewa kayak jalan tol. PLN bayar ke kami.
Tanggapan Bapak soal penyebab rendahnya realisasi proyek 35.000 MW?
Macam-macam, kan sudah dibagi. Contoh salah satu ada syarat PLN kalau Anda mau ikut tender harus siapkan uang anda 10%. Taruh di account, karena yang lalu-lalu banyak yang abal-abal, menang tender sebagai IPP (independent power producers), sebagai pembangkit swasta, tapi nggak bangun-bangun karena dia cari duit dulu ke mana-mana, karena orangnya abal-abal. Setor duit di awal biar nggak disebut abal-abal.
Kalau proyek yang di Jawa kan gede-gede sampai 1.000 MW, itu kan artinya US$ 1 miliar lebih, kira-kira satu pembangkit US$ 1,2 miliar, artinya harus taruh taruh duit minimum US$ 120 juta dolar, atau artinya anda harus taruh duit Rp 1,5 triliun dulu. Siapa yang kuat duit segitu, perusahaan raksasa pun mabok itu, nah padalah belum tentu memang tender tapi sudah harus taruh duit, akibatnya nggak ada yang ikut tender.
Contoh, di Kalimantan lalu ada 4 lokasi pembangkit totalnya 180 MW. Tidak ada satu pun yang ikut tender, saking berat syaratnya. Contoh kedua karena penentuan harganya (harga beli listrik oleh PLN), itu PLTA Poso I saja belum ada harganya, negonya sudah setahun (belum selesai). (dnl/ang)