Menteri Perencanaan dan Pembangunan (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, menyimpan kagum terhadap kota tersebut. Ia bercerita, saat perjalanan ke Palangka Raya, ada sesuatu yang berbeda dibandingkan ibu kota provinsi lain.
Memang tidak ada ungkapan dari Bambang yang memastikan daerah itu menjadi ibu kota. Sebab kajian komperhensif masih tengah dilakukan. Meskipun kriteria ibu kota ada pada daerah Palangka Raya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kepada detikFinance, Bambang menceritakan pandangannya tentang Palangka Raya. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana pandangan anda tentang Palangka Raya?
Menarik ketika saya ke Palangkaraya kemarin itu ternyata kalau melihat desain Palangka Raya hari ini, kita akan melihat ini beda dengan ibu kota provinsi yang lain. Kayaknya dulu, ketika Palangka Raya didesain, itu sepertinya didesain as if akan menjadi ibu kota. Seakan-akan akan menjadi ibu kota.
Coba deh, bandingin Palangkaraya dengan Pontianak atau sama Banjarmasin atau sekaligus lihat Palembang. Beda sekali. Di situ kelihatan ya desain pertama memang itu kota baru yang dibuat dari nol. Tapi ya desainnya itu seolah akan menjadi kota yang besar, tidak sebesar seperti yang sekarang.
Lebih kepada sense, urban planning-nya kok beda nih sama kota lain yang pernah saya kunjungi.
Berapa anggaran yang dibutuhkan untuk pemindahan ibu kota berapa?
Ini intinya kita tidak ingin memberatkan APBN, jadi sebisa mungkin ada kerja sama pemerintah dan swasta. Makanya tadi yang perlu pemerintah harus menguasai tanah. Supaya pemerintah sumber pemasukan untuk membiayai pembangunan kantor dan perumahan. Plus bisnis pendukung akan diserahkan ke swasta. Pokoknya jangan sampai ini menjadi proyek besar yang benar-benar memakan duit.
Bagaimana dengan pemindahan ibu kota pada negara lain?
Kalau zaman dulu yang pindah ke Brazilia, mungkin full pakai anggaran sendiri. Tapi kan sekarang sudah berubah, partisipasi private sector itu sangat mungkin. Sekarang kita lihat saja banyak kan kota mandiri muncul tanpa ada unsur pemerintah. Ya paling sedikit, kan cuma jalan akses masuk, sisanya kan swasta sendiri.
Lihat BSD (Bumi Serpong Damai), Cikarang misalkan. Kalau swasta dalam skala itu bisa, masa sih kita nggak bisa. Memang pendekatannya harus goverment administration dan properti. Jadi properti harus menjadi salah satu bagian penting dalam pembangunan ibu kota baru.
![]() |
Apa nanti ketika ibu kota pindah, swasta enggak ikut pindah mengikuti pemerintah?
Makanya saya ambil contoh Washington, swasta tetap di New York. Di Washington mungkin ada representatif dari pemerintah. Silakan saja, tapi saya yakin orang pebisnis itu kan bukan sama government, kecuali dia memang kontraktor yang hidupnya bergantung sama proyek pemerintah, silakan saja pindah ke situ. Tapi untuk bisnis biasa, konglomerat, grup perusahaan ya mendingan di Jakarta, pasarnya di situ.
Dan kita juga harus bayangkan juga perizinan ke depan itu bukan lewat formulir, diketik, begitu kan, semua sudah online. Jadi mau izin diurus di ibu kota baru dia bisnis di Jakarta enggak masalah.
Butuh berapa lama untuk pemindahan ibu kota?
Pasti lama, karena harus memindahkan ibu kota, tapi kan bisa bertahap. Karena gedung kantor kan cukup banyak, belum perumahan pendukungnya. Jadi dia harus hidup sebagai kota kecil dulu, barulah kemudian masuk yang lain-lain, termasuk perwakilan negara sahabat. Ya kalau pengalaman negara lain sih bisa 5-10 tahun, artinya benar-benar lengkap.
Tapi penentuan ibu kota itu bisa secepat mungkin. Jadi begitu ada keputusan , ya ada beberapa tahun untuk penyiapan infrastruktur dasar, air, listrik, jalan dan harus disiapkan dulu.
Ada pesan khusus yang disampaikan Presiden Jokowi?
Pak Presiden bilang ke saya, jadi ini bagaimana caranya kalau ada kesepakatan untuk memindahkan ibu kota, maka pemerintahan selanjutnya diteruskan Jadi Presiden juga concern masalah keberlanjutannya. Ini juga pada semua program. Enggak bisa negara ini diurus per lima tahun.
Kan gawat kita sepakat mindahin pusat pemerintahan ke luar Jawa terus Presiden berikutnya kita tetap di Jakarta. Kan ya enggak bagus sinyalnya. Kan enggak mungkin proyek besar selesai dalam lima tahun.
Gampangnya, kenapa masalah kemacetan Jakarta nggak selesai-selesai. Karena enggak ada yang mau bereskan masalah transportasi umum dalam jangka panjang. Semua jangka pendek. Busway bikin, yang penting ada. Padahal yang paling mendasar, harusnya MRT kan dari dulu. Cuma setiap gubernur akan berpikir, kalau saya bangun MRT, groundbreaking pas saya, katakan lah saya 10 tahun, belum tentu selesai dalam 10 tahun.
Ini yang membuat akhirnya penyelesaian jangka panjang enggak ada, adanya yang jangka pendek, parsial. Bikin busway dari satu jalur jadi berapa jalur. Terus bikin LRT, orang enggak berpikir lho bikin LRT belum tentu selesai dalam lima tahun.
![]() |
Bila nanti ada ibu kota baru, bagaimana nasib Jakarta ke depannya?
Jakarta tetap menjadi kota bisnis. Karena memang dasarnya ketika Jakarta dijadikan ibu kota sebagai kota bisnis. Jadi Belanda membagun Batavia sebagai pelabuhan. Kota Tua itu kan cikal bakalnya pelabuhan sebenarnya. Nah itu menjadi kota bisnis berkembang sampai ke Istana. Itu kan ibu kota Indonesia sebelum merdeka ya Jakarta. Jadi sebenarnya ibu kota yang ditentukan oleh kita pastinya tapi kan warisan kolonial, kita tinggal meneruskan.
Bahkan Belanda sekali pun sudah berpikir memindahkan ibu kota ke Bandung, cuma keburu Jepang masuk waktu itu. Kemudian Bung Karno sempat berpikir Palangka Raya. Cuma karena politik segala macam kan menghabiskan energi. Jonggol enggak jadi karena Pak Harto-nya selesai. (mkj/dnl)