Pengusaha jalan tol sekaligus Pembina Yayasan Daya Besar Krematorium Cilincing, Jakarta Utara, Jusuf Hamka membeberkan praktik kartel krematorium jenazah korban COVID-19 yang mematok biaya mencapai Rp 80 juta.
Dia geram atas adanya oknum penyedia layanan kremasi yang memanfaatkan bencana pandemi virus Corona demi meraup untung tak masuk akal.
"Saya banyak mendapatkan keluhan dari saudara-saudara kita umat Buddha, umat Kristen, umat Hindu bahwa sekarang ini mahal sekali, paling murah kalau ada Rp 20 juta-25 juta, itu pun harus cepat, kalau nggak diambil orang slot-nya. Terus kemudian bisa naik Rp 30-40-50 sampai Rp 80 juta," kata Jusuf Hamka kepada Tim Blak-blakan detik.com, Kamis (22/7/2021).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak cuma itu, dia juga mengungkapkan pengalaman buruk yang dialaminya dari bank syariah. Perkara membayar utang, Jusuf Hamka malah dikerjai oleh pihak bank. Dia juga mengalami upaya pemerasan Rp 20 miliar.
"Benar-benar sindikat, berusaha memeras dengan Rp 20 miliar, Rp 20,4 miliar apa Rp 20,6 miliar ganti rugi. Saya nggak rela saya bilang. Its not the matter of money tapi the matter of ethic," jelas Jusuf Hamka.
Bagaimana cerita selengkapnya? Baca hasil wawancara detikcom dengan Jusuf Hamka di halaman selanjutnya.
Terkait heboh dalam 2-3 hari terakhir ini ketika banyak kaum muslim kesusahan juga untuk memakamkan kerabatnya, ternyata saudara-saudara kita yang non muslim juga yang terkena COVID mengalami kesulitan untuk melaksanakan krematorium dan di tengah kesulitan itu ada yang mencoba mengambil untung dengan mematok tarif sampai puluhan juta. Kalau laporan yang masuk ke Pak Jusuf seperti apa kondisi di lapangan sebetulnya? Kita tuh punya berapa sih di Jakarta krematorium itu?
Kalau yang izinnya permanen cuma satu, yaitu krematorium Dr Aggi Tjetje Sarjana Hukum yang di Cilincing. Itu cuma satu yang permanen, yang lain itu adalah izin sementara karena kita punya izin tahun 75 zamannya Pak Ali Sadikin, itu kakak saya punya. Jadi kakak saya meninggal terus saya diangkat sebagai dewan pembina yayasan karena itu yayasan keluarga gitu. Jadi makanya saya waktu hari Jumat dan Sabtu Minggu lalu kemarin saya membaca tulisan dari beberapa orang kepada saya bahwa ada kartel.
Terus saya banyak mendapatkan keluhan dari saudara-saudara kita umat Buddha, umat Kristen, umat Hindu bahwa sekarang ini mahal sekali, paling murah kalau ada Rp 20 juta-25 juta, itu pun harus cepat, kalau nggak diambil orang slot-nya, terus kemudian bisa naik Rp 30-40-50 sampai Rp 80. Ini di luar nalar saya. Saya bilang kenapa jadi mahal begitu, dan saya sedih dan saya marah tapi saya ya nggak mungkin kita marah terus suruh mereka turunin harga, mungkin mereka menganggap ini adalah bagian bisnis tetapi kita lupa negara kita ini kan sedang berduka. Semua ini kita sedang susah, jangan lah mengail di air keruh, mengambil kesempatan dalam kesempitan, toleransi lah sedikit. Coba lah saya bilang berpikir kalau punya uang terus yang lain pada mati, uang ini bisa dipakai buat apa ya kan? kita berpikir sejenak seperti itu lah.
Nah, akhirnya saya ingat oh iya saya punya keluarga, yayasan ada krematorium, saya telpon pengurusnya. Waktu itu hari Sabtu atau Minggu malam saya telpon. Saya bilang 'kamu melakukan pemerasan atau apa?' 'oh nggak pak' katanya 'kita nggak terima pasien COVID sampai saat ini' 'lho kenapa nggak terima?' kita nggak berani pak 'kenapa nggak berani?' 'ya soalnya ini protokolnya mesti pakai APD atau apa' 'Oke' saya bilang 'segera beli APD, segera bicara dengan Dinas Pemakaman' saya bilang 'dan terima pasien COVID malam ini juga dan jangan sampai memeras' saya bilang. 'Berapa harga?' 'Pak boleh nggak saya hitungin 15 menit' katanya, 'oke hitung'. Dia bilang 'pak yang bisa jenazah yang tidak COVID kita antara Rp 4 juta yang pakai kayu pembakaran, kalau yang pakai gas Rp 5 juta'. 'Terus ini yang untuk COVID bagaimana?' 'pak kalau untuk COVID kita harus pakai desinfektan, terus kita harus pakai APD, kemudian juga yang kerja itu harus malam, malam itu gajinya rata-rata double, lembur' katanya. 'Oke, lu kasih tahu saya berapa kira-kira?' pak kalau Rp 10 juta bagaimana?' 'kemahalan, saya nggak mau. Akhirnya dia bilang 'Rp 8 juta pak?' 'Nggak mau, nggak wajar' saya bilang, terus Rp 7 juta, saya tanya 'kalau Rp 7 juta masih ada margin profit nggak?' 'ada sedikit pak buat operasional, buat dana cadangan atau apa'. 'Oke make it Rp 7 juta'. 'Orang lain Rp 80 juta kamu Rp 7 juta dan tidak boleh lebih dari itu'. Nah dia bilang 'tapi soal pembelian guci atau membuang abunya ke laut itu di luar tanggung jawab kita' oke nggak apa-apa, yang penting kamu nggak usah cawe-cawe yang lain, kamu cukup di biaya krematorium'
Nah akhirnya saya bilang mulai malam itu juga terima jenazah COVID dan saya umumkan. Saya sebenarnya sudah capek hal itu, saya sedih, saya dengar itu sampai saya 'apa yang saya harus buat'. Waktu itu Senin malam saya ingat, besoknya Idul Kurban. Saya bilang saya besok rencana mau keliling ke teman-teman, saya mau lihat di mana ada pemotongan sapi yang penting saya cuma mau lihat saja, saya nggak mau turun dari mobil. Tetapi ternyata jam 8 malam itu mendadak entah gerak Allah itu, saya terpanggil 'udah dah buat video apa yang saya omongin tadi sore' saya bilang sama staf saya, saya bilang saya umumkan deh supaya orang juga nggak bisa pelantar-pelintir calo semua nggak bisa main-main, akhirnya saya bikin video, itu saya sudah ngantuk-ngantuk dan saya udah marah, sedih semua berkecamuk jadi satu, akhirnya nyonya saya, saya bilang 'tolong kamu bikin video saya singkat'. Bikin video makanya itu saya udah pakai baju tidur, saya lapis lagi pakai baju merah supaya agak sopan gitu. Akhirnya saya keluarkan statement saya begitu. Saya langsung bagikan ke 4-5 orang tokoh-tokoh Buddhis, tokoh-tokoh Hindu, sama tokoh-tokoh Kristen supaya mereka aware bahwa mereka tidak sendiri. Saya bersama teman-teman umat Nasrani, umat Buddha dan umat Hindu saya bilang dan langsung saya buat saya nggak ngerti tahu-tahu banyak telepon ini, jadi viral saya bilang 'lah ini kan nggak, maksudnya kan cuma memberitahu lu kalau kesusahan lu datang ke gua aja, gua beresin di sini. Kalau lu nggak mampu gua juga kasih gratis bawa surat keterangan lurah bahwa kamu nggak mampu'.
Ternyata Masyaallah saya rupanya besoknya Lebaran Haji saya kasih sapi tahu-tahu orang-orang nelpon saya dapat 6 mesin kremasi gratis orang sumbangan. Itu hikmahnya. Jadi 4 yang di dalam buat di ruangan, yang 2 adalah yang di dalam kontainer. Jadi saya bilang, Ya Allah Ya Robbi, kita berbuat baik begini aja tahu-tahu kita nggak minta sama orang-orang, ada yang ngasih, ada yang nyumbang, ada yang memberikan.
Sumbangan dari luar apa dari teman-teman di dalam negeri?
Dari luar, yang empat orang ngasih uangnya 3 miliar 88 juta, mungkin seorang ibu ya, itu seorang ibu, itu dia bawa uangnya dia bilang 'tolong beliin mesin kremasi untuk ditaruh di Cilincing'. Waktu itu dia sumbang ke Klenteng. Terus yang 2 lagi tengah malam saya diuber, saya dicari orang sampai adik saya. Adik saya dia lagi di Amerika telepon 'lu dicariin lu sama yang punya, itu Pak Umar' katanya. 'Mau ngapain?' 'Itu dia mau nyumbang mesin'. Oh ya, saya coba telpon 'kenapa Pak Umar?' 'Saya mau nyumbang 1'. Terus nggak lama di belakangnya rupanya backsound-nya ada anaknya, 'saya juga 1 papah' katanya. Jadi 2, nah saya bilang rejeki anak sholeh. Kagak minta kita, kita nggak minta bantuan.
Setelah semua sekarang masalah kremasi saya beresin, saya menyiapkan lahan saya di Rorotan ada 10 hektare. Kalau nanti memang diperlukan teman-teman Muslim kita juga kesulitan untuk pemakaman jenazah COVID, saya akan wakafkan itu tanah untuk diberi kepada saudara-saudara kita yang ini. Tetapi waktu saya bilang wakafkan, tim saya bilang 'pak jangan wakafkan. terima aja dengan harga yang wajar, biaya operasional. kalau bapak wakafkan siapa yang galinya atau apanya, nggak terkoordinir. misalnya bapak jual 1 kuburan Rp 5 juta atau Rp 7 juta udah sangat membantu' katanya. 'Oke' saya bilang tetapi dengan izin Gubernur, Dinas Pemakaman, saya pasti akan ngomong tapi kalau sampai sekarang ini pemakaman ini sulit untuk saudara-saudara kita yang Muslim.
Yang soal kremasi sudah beres, sudah berjalan dan semua harga sudah turun, kartel-kartel juga tidak berani lagi. Bahkan saya tadi pagi saya datang ke krematorium Cilincing jam 6, saya lihat di sana. Lalu ada beberapa stasiun TV datang ke sana. Saya sampaikan pesan saya 'kalau tidak mereka taubat kartel-kartel memeras saudara-saudara kita yang non Muslim ini, saya akan kasih krematorium ini gratis total karena saya sudah dapat komitmen dari Citra Marga dia akan membayar semua, siapa yang meninggal dibayarin. Terus dari Klenteng Petak Sembilan. Terus dari Artha Graha Peduli, terus dari kelompok Salim. Saya dapat komitmen. Tapi Insyaallah cukup dari Klenteng Petak Sembilan dan CMNP cukup kita kasih gratis semua dan kita banting semua orang gratis.
Nah, makanya saya bilang krematorium krematorium yang ada di ibukota ataupun di pinggiran kota kalian berhak hidup, kalian berhak cari makan di situ. Tapi tolong yang manusiawi.
Ada berapa sih yang disebut kartel itu yang bapak tahu? mungkin nama nggak usah tetapi jumlahnya berapa?
Kurang lebih ada sepuluhan kali.
Itu di wilayah Jakarta Utara, Jakarta Barat?
Jakarta Utara dan Jakarta Barat. Dan yang saya sesalkan mereka lupa, mereka izin sementara lho dikasih sama pemerintah daerah, mbok manusiawi lah, dikasih izin sementara. Nanti kalau nggak dikasih izinnya bagaimana lagi kan. Coba bantu negeri yang sedang berduka, bantu pemerintah daerah yang sedang susah, jangan seperti economic animal, ajimumpung, mbok toleransi, cari makan juga jangan dari tempat orang yang berduka, dari orang yang meninggal, ntar karma lho.
Kasusnya akan sampai ke ranah hukum nggak itu?
Alhamdulillah bang Hotman Paris ternyata meminta Kapolri untuk bawa ke ranah hukum dan saya dengar si penulis yang kemarin korban keluarganya kena yaitu saudara Martin semalam sudah didatangi kepolisian untuk diperiksa di BAP di rumahnya sebagai saksi dia menulis. Itu kan mula-mula Martin menulis karena keluarganya diperas dan kemudian Martin telpon saya terus semua telpon saya, akhirnya saya terpanggil karena saya berasa di luar nalar saya gitu, kok ada orang yang tega-teganya.
Nah sekarang mereka berasumsi bahwa rumah dukanya yang mahal atau apa. Tadi pagi saya juga bilang sama krematorium Cilincing 'bagaimana caranya murah menyiasati?' 'nggak usah ke rumah duka'. Oke, buat saudara-saudara yang jenazahnya COVID keluarganya kalian nggak perlu ke rumah duka tapi saya kasih bukan rumah duka, rumah transit yaitu di krematorium Cilincing ada rumah abunya, tempat transit kalian 1-2 jam kemudian bakar gitu. Jadi nggak usah pakai rumah duka, nggak usah buang-buang duit lagi rumah duka. Rumah duka nyewa satu hari bisa Rp 5-6 juta, buat apa itu ya kan. Cuma mau nggak? sebab kan ada adat istiadat dari mereka nunggu keluarganya datang atau apa gitu. Cuma kalau saya bilang ya sudah meninggal ya kita kasih tempat transit selanjutnya dikremasi selesai gitu ya kan.
Di Cilincing kapasitasnya berapa sih?
Saat ini tungkunya baru ada sekitar 10 tungku pembakaran yang pakai kayu, yang pakai mesin cuma satu. Alhamdulillah saya dapat 6 mesin ini, ini satu mesin Rp 750 juta. nggak minta lho, saya nggak minta sumbangan ke mana-mana, ada orang yang kucuk-kucuk datang. Bahkan saya kemarin dapat 4 ribu APD. Saya bilang buat apa APD, oh iya saya bilang udah buat orang-orang yang pekerja-pekerja melayani jenazah COVID. Terus tadi juga ada satu warga datang ke rumah saya, warga di Menteng kirim satu amplop bahwa dia mau donasi. Saya juga belum hubungi. Cuma buat saya, ini bentuk donasi, sedekah dari keluarga kakak saya dan keluarga Babah Alun gitu kan. Kita aja belum selesai nih sedekahnya ini. Tapi kalau ada orang mau ikutan ya udah kita tampungin ini semua. Makanya saya juga ingin dibantu dituliskan di sana bahwa kami tidak pernah buka rekening untuk sumbangan, tidak pernah bikin proposal dan tidak pernah minta bantuan untuk pembangunan, untuk apa semua di krematorium Cilincing itu tidak ada, bukan kami sombong tapi kami tidak membenarkan orang menggunakan nama kami untuk mencari-cari sumbangan. Kalau ada yang mau nyumbang langsung datang kemari, tidak ada proposal, tidak ada nomor rekening. Sumbanglah kami apa saja, mau beras boleh, mau nyumbang APD kita kasih ke Cilincing, udah. Kalau mau kasih duit ya udah kita beliin barangnya. Tapi kita nggak mengharapkan apa-apa. Ini supaya ditekankan itu aja.
Kemarin kan masyarakat kita kesulitan oksigen. Pak Jusuf sendiri sempat ikut terlibat nggak untuk membantu masyarakat yang kesulitan oksigen?
Saya cuma membantu teman minta oksigen untuk yang tabung 6 kilo atau apa saya kenalkan, kadangkala minta sama teman-teman 'eh ada nggak?' bantu-bantu akhirnya teman saya yang dapat juga dapat yang 1 kilo-2 kilo, ada juga yang buat saya sedih dia meninggal. Aduh saya kadangkala kasihan juga ya. Jadi makanya kita lupa bahwa bikin pabrik oksigen sendiri. Kita cuma bikin tempat krematorium. Mudah-mudahan nanti. Oksigen saya pikir pabriknya udah ada dari Allah Subhanahu wa ta'ala setiap hari kita hirup. Tapi kita nggak pernah bersyukur. Begitu tahu-tahu dikasih oksigennya kurang, 1 tangki aja kita bersyukurnya setengah mati. Selama ini terbuka begini kita lupa bersyukur. Makanya 'Syukuri lah nikmat-Ku maka niscaya engkau akan Ku tambah. Tapi bila kau kufur dan lupa ingatlah adzab-Ku teramat pedih' kalau nggak salah hadist-nya gitu kan.
Pak Jusuf kalau malam-malam saya dengar kabar suka keluyuran, ikut-ikut razia sama walikota, khususnya selama PPKM Darurat ini katanya kan ya, pedagang kaki lima gitu kan. Apa yang dilakukan sebetulnya?
Jadi gini, saya juga sedih dan marah waktu itu. Minggu lalu ya, dua minggu lalu kalau nggak salah bahwa teman-teman Satpol PP waktu menggerebek di Gowa itu dia katanya ada wanita yang dipukul sedang hamil. Itu sama saya sedih, saya baru panggil terus saya kan kenal teman-teman Satpol PP di DKI, Saya telepon komandannya 'bos anak buah jangan sampai begitu bos, caranya lebih manusiawi'. 'Gimana caranya?' saya bilang 'udah ntar malem ntar lihat aja Bagaimana caranya'. Saya telepon Walikota Jakarta pusat 'pak wali, PPKM kemana?' 'Nggak nih, monitor'. 'Pak yuk kita jalan' 'jalan kemana?' 'ke kampung di Jakarta Pusat yang paling termarjinalkan' 'wah Johar Baru' katanya. 'Yuk jadi' saya bilang.
Kita nggak tahu, kita nggak buat proposal, nggak buat apa pokoknya 'mau ngapain pak Jusuf?'. Saya ceritain sama Pak Walikota 'pak kita harus ketatkan PPKM ini. Tapi kita nggak boleh merugikan orang'. 'Caranya bagaimana?' 'Udah pak, PPKM jam 8 mereka suruh tutup supaya nggak ada keramaian. Tetapi kalau dagangan mereka nggak habis mereka pasti nggak mau disuruh pulang. Jadi dagangannya kami borong'. 'Lho pemerintah daerah nggak ada duit' katanya. 'Oh bukan pemerintah daerah, pak ini duit pribadi keluarga Babah Alun' saya bilang begitu. 'Oh benar? terus bapak mau makan makanannya?' 'oh bukan, saya nggak kepengin makan'. 'Bapak mau sedekahin?' 'bukan juga pak, kalau sedekahin buat fakir miskin dan kaum dhuafa, itu oke kalau ada kelebihan, yang pertama adalah warga yang kena isoman'. Itu kan susah keluarganya bukan orang kaya semua yang kena penyakit COVID. 'Oh ya, terus caranya bagaimana?' 'Satpol PP harus ikut saya pak supaya bagaimana dia melihat tindakan yang manusiawi, yang win-win solution'. 'Oh ya' katanya. Saya kasih contoh. Kita juga nggak tahu caranya tapi kita sedang mencari bentuk.
Saya bawa Pak Wali ke Johar Baru, ada Bu Camat, ada Pak Satpol PP, udah ikut. Saya bilang saya beli, Pak Wali instruksikan, borong, tutup, terus makanannya kalian ambil dimasakin semua kalian bawa ke warga isoman. Satpol PP yang bawa. Jadi kita kerja sama, Satpol PP, Walikota, pengusaha. Akhirnya kita semua kita beliin, terus ada komidi putar kita lihat waduh anak-anak kita pada main senang banget bersuka-cita, cuma ini bahaya anak-anak kita menjadi klaster baru dekat sekali. Saya bilang 'pak boleh izin pak ini ditutup tapi jangan dirugikan'. Akhirnya kita tanya 'kamu berapa buka?' 'wah kita biasa sampai jam 12 malam dapat Rp 400 ribu'. 'Sekarang sudah dapat berapa?' 'Rp 150'. 'Oke saya kasih Rp 250 ribu lagi jadi Rp 400, kamu tutup sekarang ya'. 'Benar nih?' 'benar'. Akhirnya mereka mau tutup. Jadi everybody happy. Pedagang UMKM happy, yang warga isoman happy, warga kaum dhuafa dan fakir miskin di daerah setempat happy, Satpol PP nya juga happy karena nggak perlu benturan fisik. Dan ternyata is small money, jadi uang kecil tapi meaningful, orang berasa di wongke, memang kadangkala ada kayak pedagang jagung biasa saya tahu di tempat jagungnya cuma ada 50. Saya bilang 'berapa nih?' 'wah saya masih punya lagi di bawah'. Di bawah ternyata cuma 2-3 biji. 'Saya bawa 80', oke, saya nggak mau ribut ya kan.
Saya kan ngertinya Pak Jusuf bisnisnya hanya di bidang tol gitu meskipun mungkin pasti ada puluhan jenis usaha lain yang di handle sama Pak Jusuf. Nah ini pandemi 1,5 tahun hampir, bagaimana, tertanggung nggak? seberapa besar gangguannya?
Pasti terganggu terutama putra saya yang di Gili dia punya hotel. Hotelnya boleh bilang semi tutup lah karena nggak ada tamu. Terus tapi Alhamdulillah putri saya yang punya hotel di Jakarta okupansinya masih 80%. Saya tanya kenapa bisa 80%? 'nggak tahu pak rejeki anak sholehah' katanya 'ya udah itu rezeki kamu sendiri' karena kamu ada tempat makannya juga. Terus bahkan saya bilang sama anak-anak saya coba deh inovasi cari buat menampung teman-teman kita mungkin yang mau isoman atau apa di hotel di Gili, liburan, tapi bilang ga bisa, ya sudah akhirnya kalau bisnis-bisnis pasti semua terdampak terutama jalan tol, jalan tol berdampak. Tetapi tidak sebesar perhotelan maupun restoran ya karena jalan tol itu orang yang isoman pun kepengin keliling jalan-jalan ya kan. Orang yang nggak bisa nongkrong di restoran juga pengen muter-muter, jalan-jalan di atas tol. Akhirnya turun kurang lebih 50% sih kalau jalan tol. Tapi dalam menghadapi situasi ini kebenaran Citra Marga Group holding ini kita kebenaran ada likuiditas, ada Rp 6 triliun waktu itu. Lalu saya bilang gini 'anak-anak perusahaan masih banyak utang di bank'. Saya bilang 'holding mendingan ambil over utangnya karena kalau bank-bank sekarang itu kejam'. Kalau lagi panas kita dikasih payung istilahnya. Begitu hujan payungnya diambil, kagak boleh dipakai sama dia dan saya sudah pernah ngalamin berkali-kali, jangan sampai nanti kita kena kolektibilitas. Masalah kolektibilitas ini menyangkut nama baik ya. Saya sudah bikin merajut nama ini selama 64 tahun, jangan sampai gara-gara mandek kita susah. Sebab bank-bank ini ya maaf-maaf saja, bank ini seperti kata Ustaz Yusuf Mansur, jangankan bank konvensional, bank syariah lebih kejam, lebih kejam itu benar saya nyatakan itu bank syariah lebih kejam.
Kejamnya bagaimana?
Ya saya justru mengalami satu hal, kita utang kita minta turun bunga nggak dikasih, kita mau lunasin juga nggak dikasih, aneh, lucu tapi nyata. Jadi akhirnya bank konvensional saya ceritakan itu ada kasus bulan Maret itu bank syariah yang saya nggak usah sebutkan namanya, tahun ini dan urusannya sekarang saya polisikan dia ya karena uang yang saya masukkan Rp 800 miliar untuk bayar utang uangnya nggak diterima. Tapi begitu ini saya nggak boleh ngelunasin terus tiap bulan bunga saya diambil dari sana. Sangat tidak fair saya buat laporan polisi dan ini proses berlanjut. Uangnya akhirnya saya bilang 'kalau begitu pulangin dong uang saya kan ada bunganya, ada argonya' dia pulangin ternyata Rp 800 miliar dia nggak pulangin semua, dia pulangin Rp 690 miliar, Rp 110 miliar dia tahan buat pembayaran bunga atau apa lah. Saya bilang kan saya mau lunasin. Nah ini bank syariah yang menurut saya zalim, kejam dan kemaruk. Jadi orang bilang ini lintah darat gitu.
Itu oknum saja mungkin?
No, no, ini sindikasi bank syariah kurang lebih ada 10 sindikasi dan ini luar biasa. Jadi saya nggak bisa sebutkan dulu.
Ini kasus yang kayaknya baru terungkap, cuma Pak Jusuf yang berani ungkap?
Sekelas saya saja dikerjain, bagaimana saudara-saudara kita yang di bawah ini dan saya akan buktikan bahwa ini zalim dan saya tadinya mau diperas Rp 20 miliar katanya harus bayar denda ganti rugi atau apa. Saya bilang nalarnya di mana? lagi susah orang-orang dagangan sepi, ada nasabah mau bayar utang, lunas, semua sekarang pada macet di restrukturisasi. Kita mau bayar lunas tapi dikerjain. Tapi biarlah urusan polisi berjalan dan saya pikir saya nggak akan mundur setapak pun juga.
Pak Jusuf kan bukan cuma seorang pengusaha, staf khusus Menko gitu. Nggak percaya juga menghadapi sindikasi semacam itu mafia itu?
Wah itu mafia Pak, itu bukan sindikasi, tapi sindikasi sindikat benar-benar sindikat, berusaha memeras dengan Rp 20 miliar, Rp 20,4 miliar apa Rp 20,6 miliar ganti rugi. Saya nggak rela saya bilang. Its not the matter of money tapi the matter of ethic. Kalau orang sekelas saya saja dikerjain bagaimana saudara-saudara kita yang percaya kepada satu bank syariah. Ini kan luar biasa. Jadi kasus bergulir secara hukum, biarkan saja kita lihat.
Dilaporkan ke Polda atau Kabareskrim?
Mau tahu saja. Ntar meledak lagi kasusnya.
Sebetulnya saya tanya ke bisnis ini pengin kepastian di perusahaan-perusahaan Pak Jusuf terjadi pemutusan hubungan kerja nggak?
Kita Alhamdulillah waktu tahun kemarin kita bukan pemutusan hubungan kerja. Jadi semua serba kebenaran, saya dulu semua karyawan saya di-cover asuransi Jiwasraya, semacam uang iurannya lah, dana pensiun. Jadi saya tawarkan waktu itu bulan 4 bulan 5 pas pandemi pertama 'kalian mau pensiun dini nggak semuanya?' mereka ngambil semua. Ada yang bawa pulang Rp 600 juta, Rp 1 miliar, Rp 2 miliar. Terus kita seleksi alam semuanya, mereka jadi PHK sendiri. Kemudian kita makin ramping. Jadi kurang lebih 30% mereka yang mendapat pensiun dini, jadi pedagang, buka katering atau apa. Untung mereka ambil pensiun dini, kalau nggak sekarang direstrukturisasi kagak bisa ngambil duitnya dana pensiunnya di Jiwasraya. Makanya rejeki anak sholeh lagi. Akhirnya kita ramping.
Total pegawai berapa?
1.200 tadinya. Jadi kurang lebih 800-an lah sekarang. Lebih ramping, lebih efisien dan juga karena sistem kita dulu 3 shift untuk di penjaga tol, waktu masih pakai cash. Sekarang kan cashless, kita minta 2 long shift. Mereka bilang 'argumentasinya apa?' lu pekerja toko di Ramayana masuk jam 8 pulang jam 8, 12 jam. Lu pake berdiri lagi jaga situ. Kalau di sini jadi petugas di dalam tol lu di gerbang duduk aja diem, mencetin golongan, pakai AC, pakai radio, ada TV. Jadi akhirnya mereka 12 jam kerja di sana dan kita kasih lemburnya lumpsum, bulanan kita tambahin lemburnya.
Pak Jusuf katanya pernah bercita-cita bangun 1.000 masjid. Tapi di luar cita-cita bangun masjid ini belakangan saya dapat info Pak Jusuf juga pengin punya ternak domba ini. Ini bagaimana dari jalan tol lari-larinya kok ke ternak domba, latar belakangnya bagaimana?
Gini sebenarnya domba itu nggak kepikir mau ternak domba. Kemarin ini ada saudara kita, saya dikirimin sama tetangga saudara kita di Jawa Barat di Cimahi kalau nggak salah bahwa dia istrinya hamil terus rumahnya itu kasihan, benar-benar dari seng-seng bekas, tripleks-tripleks bekas, terus nggak ada kerjaan di tanah orang. Nah singkat cerita laporan itu saya follow up, saya minta tim saya berangkat ke sana karena kantor perwakilan Bandung, saya bilang tolong dicek kebenarannya. Eh ternyata benar dan hidupnya kasihan sekali, istrinya kena penyakit gondokan lehernya. Terus suaminya kerjaan cuma nyari belut buat hidup. Itu pun kasihan sekali. Terus saya bilang saya panggil anak-anak saya, coba kalian lihat, saya bilang 'saya nangis lihatnya' kenapa? coba kita masih bisa hidup layak, mereka apa? kalau ini badai keangkat semua atapnya. Mereka nggak punya tempat tinggal lagi yang layak. Terus saya singkat cerita kirim tim ke sana, tanyakan mereka boleh nggak saya bedah rumahnya, mereka bilang nggak boleh, tanah orang nanti orangnya dipikir permanen orangnya marah.
Oke, terus saya tanya keperluannya apa? itu orang keluarganya miskin nggak mau yang aneh-aneh, 'kasih kami domba saja sepasang biar kami bisa ternak, ternaknya nanti beranak-pinak, toh makannya rumput' katanya. Jadi saya langsung terenyuh, Alhamdulillah orang miskin tapi jiwanya nggak miskin. Dia tahu apa aja yang manfaat. Kalau orang kita ditawarin gitu mau apa? mau jam tangan, mau emas, gelang, pasti begitu kan. Ini luar biasa domba. Akhirnya saya berpikir ternyata rakyat kecil itu permintaannya nggak aneh-aneh kok. Saudara-saudara kita yang di bawah itu realistis kok, yang penting bisa nyambung hidup. Dia cuma butuh domba.
Ya udah lah saya kan banyak tanah kosong yang tadinya di Krukut situ, tadinya saya mau bikin perkampungan Babah Alun yang buat manasik haji, itu kan. Saya beli dari Megapolitan kurang lebih 20 hektare. Saya pikir coba deh ternak domba aja di situ. Nanti kalau orang perlu kasihin domba gitu aja kan, lebih bermanfaat gitu. Dia ternak kita kasih dua, kalau besok beranak atau apa nanti kita kasih sapi kalau perlu. Saya sih berpikirnya simple aja. Itu lah kenapa yang 1.000 domba itu, ya kita melihat dari saudari kita yang di Cimahi.
(das/das)