Terkait buruh yang dirumahkan kan Kementerian Ketenagakerjaan beberapa kali menegaskan mereka yang dirumahkan harus tetap digaji. Tapi ada keluhan nggak teman-teman dirumahkan tapi nggak digaji?
Ya kalau Kementerian Ketenagakerjaan dalam hal ini Menaker atau Dirjen di Kementerian Ketenagakerjaan wajar mengeluarkan surat edaran. Cuma sayangnya waktu itu saya mengusulkan bukan surat edaran. Surat edaran itu nggak mengikat. Pengusaha sederhana kalau dia bisa bayar dia bayar, kalau dia nggak ada uang ya dia nggak bayar karena di edaran kan nggak ada sanksi. Nah karena dia nggak ada sanksi kan kita nggak tahu mana perusahaan yang mampu membayar? mana perusahaan yang tidak mampu membayar? seharusnya hukumnya itu harus hukum positif, misalnya Peraturan Menteri ketenagakerjaan terkait dengan ter-PHK-nya karyawan di tengah pandemi COVID, kan ini sementara sifatnya, nanti kalau sudah nggak pandemi COVID Peraturan Menteri itu dicabut lagi. Kalau dia Peraturan Menteri mengikat.
Dengan demikian pengusaha akan taat walaupun tetap ada yang melanggar tapi ketaatannya akan meningkat, dia akan membayar aturan pesangon sesuai dengan aturan PKB yang ada di perusahaan atau setidak-tidaknya yang ada di Undang-undang Cipta Kerja walaupun itu merugikan buruh. Sayangnya edaran itu tidak ditaati oleh mayoritas perusahaan yang telah mem-PHK buruhnya di tengah pandemi COVID.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait kegiatan usaha di pabrik atau perusahaan ada laporan bahwa ada yang tidak taat protokol kesehatan?
KSPI telah melakukan semacam survei sederhana, 1.000 perusahaan kami melakukan survei tapi anggota KSPI ya, tapi setidak-tidaknya ini bisa mencerminkan secara umum industri manufaktur karena anggota KSPI kan beragam yang tadi saya bilang. Jadi lengkaplah sektor industri di KSPI. Dari 1000 pabrik/perusahaan vyang kami survei yang kembali sekitar 500-an atau 600 perusahaan, dari situ tercatat bahwa hanya 20% perusahaan yang menjalankan prokes.
Pengertian menjalankan prokes tentu yang sesuai anjuran yang dibuat oleh pemerintah ya, dimulai misal secara berkala melakukan tes antigen, dibiayai oleh perusahaan. Kemudian memakai masker, menjaga jarak, mengatur WFH 50%, 50% kerja 50% tidak atau sehari libur sehari kerja, mencuci tangan, menyediakan hand sanitizer, dan hal-hal lain yang diatur. Nah itu hanya 20% dari total jumlah perusahaan yang ada dari kuesioner. Itu kan bisa mencerminkan secara nasional.
Lalu 80% tidak taat prokes. Paling mereka hanya menggunakan masker itupun yang bayar si buruh beli sendiri, bawa sendiri maskernya. Nah maskernya sudah kucel-kucel begitu pasti, sudah nggak layak lah, tidak standar. Kenapa mereka tidak bisa mematuhi prokes secara sempurna? yang pertama masalah biaya. Antigen itu kan bayar, waktu itu kan masih agak mahal antigen, hampir Rp 200.000-an per orang. Misal satu perusahaan jumlah karyawannya kan 60.000 orang, 60.000 dikali Rp 200.000 bisa berapa dia harus keluar uang. Perusahaan-perusahaan tekstil, garmen, sepatu rata-rata kan puluhan ribu begitupula perusahaan otomotif ribuan, terutama yang di padat karya ya katakan perusahaan makanan minuman rata-rata akan mengeluarkan biaya yang sangat besar kalau melakukan tes antigen berkala. Kan kita harus tahu ini anak sehat apa nggak, kan ada yang tidak bergejala/OTG. Nah itu lah faktor yang menjelaskan mengapa 80% perusahaan tidak menjalankan prokes secara sempurna.
Alasan selain biaya adalah mereka dikejar kejar target produksi. Akibat dikejar-kejar target produksi, dengan jumlah karyawan yang banyak mereka nggak bisa melakukan sehari libur sehari masuk atau jam kerja bergilir. Bagaimana mungkin jumlah orang satu pabrik 60.000 buruh secara bergilir? tetap kalaupun bergilir 30.000, 30.000 nggak mungkin jaga jarak. Faktor-faktor itulah yang menjelaskan selama pandemi COVID-19 1,5 tahun ini, terutama di padat karya dan UMKM tidak menerapkan protokol kesehatan yang menurut survei KSPI secara sederhana 80% dari total perusahaan yang ada di Indonesia.
Solusinya apa terkait prokes?
Pertama tentu harus diberikan masker gratis. Jangan jadi beban perusahaan. Memang perusahaan yang mampu dia akan melakukan prokes, memberikan masker gratis sebagai penambah. Tapi perusahaan-perusahaan kecil kan tidak bisa maka seharusnya pemerintah menyediakan masker gratis kepada perusahaan-perusahaan di padat karya, UMKM. Kedua dilakukan tes antigen massal gratis di perusahaan-perusahaan. Memang biasanya Satgas COVID melakukan sampling, tapi sampling hanya perusahaan tertentu. Boleh sampling tapi perusahaannya merata sehingga mudah di tracing siapa yang sudah mulai terkena COVID-19. Ketiga program vaksin. Salah satu cara untuk menurunkan COVID kan herd immunity dalam satu komunitas 50% sudah ter paksin maka terjadi herd immunity. Nah di pabrik atau di perusahaan atau di kantor dia kan satu komunitas maka harusnya dia herd immunity. Nah vaksinnya harus vaksin gratis.
Nah mungkin vaksin gotong royong yang ditawarkan oleh APINDO dikomersialisasi. Oleh karena itu kami mengharapkan vaksin gotong royong itu dihapus saja tapi dijadikan vaksin tidak berbayar dengan biaya pemerintah untuk kerja di herd immunity. Kalau herd immunity sudah terjadi, kerja pun bisa 100% operasional kan berarti investasi makin meningkat, produktivitas meningkat, pertumbuhan ekonomi meningkat, otomatis akan ada lagi pemasukan anggaran.
Akses vaksin gratis ada kendala di buruh?
Ya karena kan kita tahu terbatas, kan bukan hanya buruh republik ini, masyarakat banyak, tentu vaksin kan juga tidak bisa langsung diproduksi sekaligus, karena kan pabrik pabrik vaksin kan juga ada kapasitas produksi yang terbatas, kita bisa pahami itu.
Kendala-kendala itu bisa dipahami karena keterbatasan jumlah produksi tetapi harus disiasati dengan manajemen distribusi, di samping tadi vitamin dan obat obat COVID harus diberikan secara gratis kepada buruh yang isoman melalui BPJS Kesehatan. Itu juga salah satu upaya.
Vaksin gotong royong dalam praktiknya ada nggak perusahaan yang memungut biaya kepada karyawannya untuk melaksanakan program vaksin gotong royong atau ada hak-hak yang dikurangi?
Saya tidak tahu ya karena vaksin gotong royong ini kan domainnya manajemen. Teman-teman serikat buruh belum ada laporan. Sepanjang yang saya tahu sampai saat ini belum ada yang dipungut biaya oleh perusahaan terhadap vaksin gotong royong karena vaksin gotong royong itu dibayar oleh perusahaan. Cuma masalahnya dari total jumlah perusahaan di seluruh Indonesia hanya 5% perusahaan yang sudah menjalankan vaksin gotong royong. Dengan kata lain ada 95% dari total jumlah perusahaan di Indonesia tidak mampu menjalankan vaksin gotong royong. Ya buruh ketika perusahaan tidak mampu bayar vaksin gotong royong atau belum dapat vaksin gratis, dia pulang ke rumah kan menjadi anggota masyarakat, dia dapat kan vaksin di masyarakat itu, tapi program vaksin di masyarakat jarang sekali pada hari libur. Kalau hari kerja kan buruh kerja tidak bisa ikut dia.
Lanjut ke halaman berikutnya