Pak Faisal juga mengkritik sejumlah proyek infrastruktur yang dibangun Pak Jokowi, dianggap sia-sia, kelewat mahal dan tidak punya efek langsung. Tapi ada yang membela bahwa pembangunan ini mirip dengan pembangunan era Bung Karno, pada saat awal dikritik tapi bertahun-tahun kemudian dipuji. Bagaimana menurut Pak Faisal?
Bung Karno memiliki visi yang panjang, Bung Karno punya ilmu yang memadai. Misalnya prinsip Bung Karno itu tanah subur tidak boleh dijadikan lahan industri, tidak boleh dijadikan ibu kota. Zaman Bung Karno telah dipancangkan Palangkaraya sebagai ibu kota, tiang pancangnya masih ada. Karena Palangkaraya gersang, gambut, tidak bisa ditanami, jadi yang tidak bisa dikomersialisasikan itulah jadi ibu kota, itulah jadi jalan dan macam-macam. Soalnya tidak boleh diganggu gugat lahan yang subur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian Bung Karno memandang Indonesia harus kuat dan rakyatnya tidak mengandalkan luar negeri untuk urusan perut. Maka dibangunlah bendungan Jatiluhur. Tidak ada yang menolak, Juanda yang mewujudkannya lewat perencanaan yang canggih dan ada 2 negara yang membantu. Itu pinjaman, sangat lunak dan itu kunci menggerakan sektor pertanian. Kemudian dia kembangkan ITB untuk menopangnya dari segi pendidikan, kemudian dia lengkapi dengan sekolah menengah pertanian. Jadi visinya luar biasa.
Kemudian kita dapat uang rampasan perang dari Jepang, bagaimana kalau ada tamu negara dulu nginapnya di Istana, di Wisma Negara di komplek Istana. Repot menyiapkan macam-macam, akhirnya kita harus punya hotel yang representatif. Maka uang rampasan perang itu dimintakan untuk membangun Hotel Indonesia. Perkantoran juga tidak ada, akhirnya dibangun Wisma Nusantara. Lalu ada mistik-mistiknya Pelabuhan Ratu, Nyai Roro Kidul, dibangun hotel juga di sana. Kemudian Sanur di Bali. Itu rampasan perang semua, jadi bukan utang.
Terlepas dari pro dan kontra, Bung Karno kan ingin menjadi pemimpin negara non blok, dia mengedepankan poros ketiga, jangan timur dan barat saja. Dia bikin Ganefo, dia terima sebagai tuan rumah Asian games, dia ingin menjadi pemimpin negara-negara yang berjuang menghadapi kekuatan-kekuatan besar di dunia ini. Maka dimintalah bantuan dari Rusia untuk bangun Stadion Utama Senayan itu yang sampai sekarang masih dimanfaatkan.
Jadi visinya panjang memang, kemudian tentu saja ada simbol-simbol, dibangun patung-patung di lapangan banteng, patung pembebasan Irian, mengedepankan tokoh petani ada Tugu Tani. Simbol-simbol itukan diperlukan juga.
Lalu bedanya dengan Pak Jokowi?
Kalau Pak Jokowi perencanaannya kurang baik dan asal tiru. Jadi misalnya di era Pak SBY kan ada jembatan Selat Sunda. Nah itu untuk memfasilitasi keinginan Tomy Winata, satu paket dengan jalan tol Sumatera. Nah jembatannya dibatalkan, tol Sumateranya jalan terus. Padahal di sepanjang Sumatera itu sudah ada yang namanya Trans Sumatera Highway, dan terbukti sekarang Pak Jokowi sadar itu tidak realistis maka dipotong separuhnya. Tidak lagi 2 ribuan km tapi cuma seribuan km. Pak Jokowi juga menerima kritik kalau kritiknya berdasar, argumennya kuat, terima kok.
Kemudian tiba-tiba dibangun Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumut, kan itu dekat Belawan, mau apa gitu. Kan kita harus membangun tuh fokus, kita perkuat sehingga fokusnya mengintegrasikan Indonesia yang terdiri dari 17 ribu pulau supaya ongkos logistiknya turun. Jadi kita benahi ini domestic sea transportation itu, maka keluar dulu tol laut, kita sudah seneng, tapi setelah itu tidak pernah lagi dibicarakan tol laut. Sehingga ongkos sekarang ini, ongkos 1 kontainer dari Jakarta ke Belawan itu jauh lebih mahal dari Guangzhou ke Belawan. Oleh karena itulah dari pada orang Medan beli barang dari Jawa, lebih baik beli barang dari China, karena ongkos angkutnya jauh lebih murah. Ini kita nggak pernah denger lagi, kita ingatkan.
Ada yang buat video saya, judulnya apa kabar tol laut Pak Jokowi, itu akhirnya di-follow up dalam satu sidang kabinet terbatas. Paginya saya ditelepon sama kawan saya di Istana, 'mas Faisal tolong dong dioret-oret catatan mas Faisal untuk sidang kabinet'. Tapi saya melihat Jokowi masih mau dengar. Mungkin sekelilingnya lebih sering ketemu Pak Jokowi punya agenda sendiri-sendiri.
Kritik itu sekadar dibahas atau ada tindak lanjutnya?
Jonan pernah kena semprot Pak Jokowi waktu jadi Menteri ESDM, itu karena ada memo kami, bukan saya saja, bahwa pemerintah harus betul-betul waspada kemungkinan krisis energi. Tapi responsnya tidak seperti yang kita harapkan. Jadi waktu itu impor BBM kan tinggi sekali, lantas swasta tidak boleh impor BBM, jadi Shell diperbolehkan jualan BBM di Indonesia tapi BBM-nya harus beli dari Pertamina, itukan nggak bener. Responsnya yang kacau. Tapi Pak Jokowi kan tidak ngurusin sampai sedetil itu. Harusnya menterinya paham apa yang harus dilakukan untuk menindaklanjuti hasil Sidang Kabinet Terbatas itu.
Program Food Estate juga banyak yang mempertanyakan, terkait pangan tapi yang mengurusi Menteri Pertahanan. Bagaimana tanggapannya?
Lebih parah lagi menghasilkan singkong. Om saya di Jambi sudah hampir 80 tahun usianya itu mengkonversi sebagian lahan sawitnya untuk menanam singkong sebesar-besar paha. Rakyat sudah paham menanam singkong. Prinsip proyek itu adalah ongkosnya harus lebih murah dari pada hasilnya. Nah ini lahan gambut yang dua pemerintahan gagal mengembangkannya diulang, ongkosnya mahal, berbagai kementerian keroyokan membangun infrastrukturnya hasilnya singkong. Jadi singkongnya mahal sekali, 1 kg bisa Rp 50 ribu, padahal di pasaran singkong 1 kg paling tidak sampai Rp 10 ribu. Jadi mau diapakan singkongnya? maka dibikinlah oleh kelompok Pak Prabowo itu mie instan dari singkong, harganya 1 bungkus Rp 9 ribu, Indomie hanya Rp 2.500. Jadi bukan hanya bisa, harus pakai otak, olah otak bukan olah tenaga. Karena sudah dicoba tanam beras juga gagal.
Alasan nasionalisme dan adanya ancaman krisis pangan berarti juga nggak masuk akal?
Itu mengada-ada, kalau betul ada ancaman pangan, ayo didesain, serahkan kepada Bappenas, diuji secara akademis, baru jalan. Ini sekarang semua lepas tanggung jawab.
Tugas Menteri Keuangan itukan rem, yang pegang uang biasanya kan mengerem. Itu waktu proyek Kereta Cepat Bu Sri Mulyani minta diyakinkan berkali-kali, baru keluar keppres kemarin pakai APBN itu, walaupun saya tetap tidak setuju. Tapi ya itu tugas menteri keuangan mengerem, menguji apa benar nih proyeknya, apa feasible, kalau feasible berapa lama, apa uangnya sebesar itu, apa risiko-risikonya. Ini proyek Kereta Cepat proyek transportasi atau proyek properti, tengok di Tegal Luar ada siapa, kenapa lewat Walini, kemudian belakangan ini Walini dilewati. Mampir di Padalarang, dari Padalarang Anda naik kereta lagi, ya mana mau orang naik kereta cepat kalau ganti kereta segala. Kan pakai akal sehat.
Ada ajaran di dalam Islam berdoa kepada Tuhan itu 'Ya Allah masukkanlah aku dengan cara yang benar dan keluarkan pula aku dengan cara yang benar.'. Kalau masuknya nggak bener, keluarnya susah, nah ini sekarang karena masuknya nggak bener, keluarnya susah. Misalnya kalau kereta cepat ini katakanlah tidak feasible, lantas dibatalkan ongkosnya mahal, pemerintah malu, jadi susah keluar nih sekarang, jadi dipaksalah diteruskan.
Kalau berkaca dari kasus proyek Kereta Cepat, lalu bagaimana dengan proyek mercusuar berikutnya, pemindahan ibu kota negara?
Pemindahan ibu kota juga dari informasi yang saya dapat dari orang dalam, itu tidak akan dikebut selesai di era Pak Jokowi. Jadi paling di era Pak Jokowi pemancangannya lah. Selesainya tidak dipaksakan lagi, kalau Kepala Bappenas Pak Suharso menginginkan ibu kota selesai sehingga upacara 17 Agustus 2024 masih dipimpin Pak Jokowi di sana, nah itu juga ngawur. Ya begitulah kualitasnya.
Kalau dengan Ibu Sri Mulyani masih intens berkomunikasi langsung?
Tidak pernah, dengan Pak Jokowi juga tidak pernah.
Tapi kritik soal Tol Laut didengar?
Ya mungkin Pak Jokowi juga tahu saya tidak punya agenda dan saya memilih 2 kali Pak Jokowi. Dan saya tidak menyesal sebagai bentuk pertanggung jawaban saya sebagai pemilih, maka saya harus berusaha agar yang saya pilih itu berada di jalan yang benar.