Revolusi Kartini Masa Kini, Perjuangkan Kesetaraan di Dunia Kerja

Wawancara Khusus Direktur CCEP Lucia Karina

Revolusi Kartini Masa Kini, Perjuangkan Kesetaraan di Dunia Kerja

Aldiansyah Nurrahman - detikFinance
Sabtu, 23 Apr 2022 07:30 WIB
Direktur Public Affairs, Communications & Sustainability Coca-Cola Europacific Partners Indonesia (CCEP Indonesia) Lucia Karina
Foto: Dok. CCEP Indonesia
Jakarta -

Setiap 21 April 2022, masyarakat Indonesia memperingati Hari Kartini. Setiap tahunnya hari tersebut diperingati sebagai bentuk penghargaan atas jasa dan perjuangan Raden Ajeng (R.A) Kartini untuk memajukan perempuan Indonesia.

Kartini menjadi simbol bagaimana perempuan tidak dipandang sebelah mata. Bahwa perempuan bisa melakukan apa yang dilakukan oleh laki-laki.

Meski sudah wafat sejak 17 September 1904, perjuangan sosok pahlawan nasional itu masih terdengar hingga kini. Kartini menjadi pelecut para perempuan Indonesia agar terus berjuang mencapai posisi tertinggi, pelecut agar perempuan tak pantang menyerah, dan pelecut perempuan untuk membuktikan bahwa apa yang dilakukan laki-laki juga bisa dilakukan perempuan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seperti apa yang dilakukan Direktur Public Affairs, Communications & Sustainability Coca-Cola Europacific Partners Indonesia (CCEP Indonesia) Lucia Karina. Perjuangannya hingga bisa menjadi direktur di perusahaan multinasional tidaklah mudah. Ia pernah ada di situasi yang rumit. Karina pernah berada di situasi lingkungan kerja di mana ia "dikepung " oleh laki-laki. Hanya ia seorang perempuan yang bekerja di perusahaan itu.

Tapi dengan tekad bulat, berani terhadap tantangan, serta tahu bahwa perempuan tidak kalah dari laki-laki Karina mampu melewatinya. Selain soal perjuangan dirinya sendiri, Karina kerap memotivasi perempuan untuk mampu bersuara. Ia peduli terhadap nasib perempuan di Indonesia.

ADVERTISEMENT

Berikut wawancara lengkap dengan Karina, terkait bagaimana perjuangannya menjadi seorang Kartini di era modern.

Bisa diceritakan perjalanan Ibu Karina hingga sekarang? Mulai dari sekolah di mana, hingga bisa join di Coca Cola?

Perjalanan karir saya itu memang cukup panjang dan saya belum cukup lama di CCEP Indonesia. Saya mulai perjalanan karir saya itu dari bidang konstruksi, karena memang saya seorang insinyur teknik sipil. Dan pada saat saya bekerja di dunia konstruksi otomatis mungkin karena di proyek, ya, saat itu dari sekian ribu karyawan, itu mungkin hanya bisa dihitung dengan jari mungkin waktu itu hanya 3-4 perempuan yang ada di proyek tersebut. Itu sekitar tahun 1992-1996.

Saya lebih banyak di proyek. Karena saya berprinsip bahwa untuk berkarir, kita perempuan tidak mendapat pengecualian, tidak mendapat perlakuan yang berbeda atau mungkin diberikan semacam kemudahan untuk menduduki bidang tertentu, itu tidak.

Kalau saya dari awal prinsipnya mau itu laki-laki atau itu perempuan yang harus kita tunjukkan adalah kinerja kita dan integritas kita kepada perusahaan dan hasil kualitas pekerjaan kita.

Perjalanan ini akhirnya membawa saya juga menduduki beberapa posisi di manajer level pada usia yang relatif muda saat itu. Sementara yang lain di usia saya itu mereka masih menduduki posisi misalkan engineer level, saya sudah masuk di level manajerial.

Dan ini juga memicu saya untuk selalu, saat itu ,ya, menyampaikan kepada rekan-rekan yang kita tuntut sebetulnya bukan emansipasi, tapi yang kita tuntut adalah persamaan perlakuan dengan cara kita menunjukkan kinerja dan integritas pekerjaan dari kualitas pekerjaan kita ini kepada perusahaan.

Kemudian saya dari konstruksi diminta untuk bekerja di perusahaan bahan bangunan kimia. Dan itu saya masuk di sana dan kemudian saya mencoba juga di mining company, saya juga mencoba di perusahaan baja saya cukup lama.

Saat itu di sana juga saya juga banyak belajar dan pada saat itu saya dipercaya untuk menjadi salah satu tim manajemen dan kebetulan saya paling muda dan satu-satunya perempuan.

Nah, ini akhirnya mendorong saya supaya lebih banyak lagi karyawan-karyawan perempuan yang bekerja di sana dan menduduki posisi manajer level. Di tempat saya saat itu ada yang disebut namanya Karin Akademi karena di situ saya betul-betul mendidik orang-orang tersebut untuk masuk ke jenjang berikutnya ataupun kalau dia mendapat pekerjaan di perusahaan yang lain, buat saya tidak boleh dalam satu posisi yang sama, dia harus naik.

Jadi yang dikejar bukan hanya uang atau gaji. Tapi betul-betul yang dikejar adalah penambahan tanggung jawab, sehingga dia bisa berkembang jauh lebih bagus lagi.

Kemudian akhirnya saya dipercaya untuk memegang satu divisi baru di Coca Cola. Dulu namanya Coca-Cola Amatil, sekarang namanya CCEP Indonesia.

Dalam perkembangannya kemudian karena ada beberapa kali pergantian juga di sini dan saya akhirnya diminta juga untuk merangkap sementara dan untuk ketiga kali sebagai Direktur People & Culture CCEP Indonesia.

Perempuan sering diasosiasikan sebagai orang dapur, bagaimana menurut Ibu dengan pandangan itu?

Kadang kala saya berpikir bahwa para pria ini kadang-kadang mereka takut tersaingi sehingga mereka menciptakan suatu anggapan perempuan cukup di dapur padahal itu tidak tepat. Dan menjadi pilihan juga sebetulnya bagi perempuan apakah mereka mau bekerja sebagai ibu rumah tangga atau mereka mau bekerja karir atau mereka mau menyeimbangkan antara pekerjaan sebagai ibu dan istri, dan sebagai perempuan karir itu kembali pada pilihan.

Tapi kalau dengan stigma perempuan itu cukup di dapur ini saya protes keras. Kenapa? kita lihat apalagi dalam era sekarang namanya pendidikan itu tidak cukup hanya dari sekolah. Seorang perempuan kalau pun dia memutuskan menjadi sepenuhnya sebagai ibu rumah tangga dia harus mempunyai pendidikan, karena itu berfungsi untuk mendidik anaknya dan juga menjadi penyeimbang suaminya berdiskusi.

Kalau misalkan dia tidak bisa menyeimbangi suaminya untuk berdiskusi dan suaminya memilih untuk berdiskusi kepada orang lain atau dengan perempuan lain, namanya itu kan sudah musibah yang tidak diharapkan. Dan terjadilah yang namanya. Mohon maaf saya agak sedikit tegas, perselingkuhan akibat sang istri tidak bisa mengimbangi sang suami. Kan begitu kadang-kadang kan.

Nah itu karena itu, sebagai istri pun dia harus update terhadap informasi yang ada terhadap teknologi yang ada. Sehingga anaknya pun merasa enak ke ibunya untuk bertanya. Apalagi kalau yang sudah namanya sekolah di rumah keluhannya banyak.

'Saya nggak tahu cara mengajarkan ini, cuma tahu bumbu dapur'. Nah, ini yang harus kita coba ubah stigmanya. Ubah bahwa perempuan itu juga bisa, perempuan itu merupakan partner di dalam rumah tangga.

Kebetulan saya banyak juga melakukan volunteering, ya, untuk membuka wawasan teman-teman perempuan terhadap hal ini. Saya bilang sama mereka bahwa sekarang ini kita tidak cukup hanya menjadi ibu rumah tangga. Tuntunan jaman itu begitu banyak tuntutan perekonomian, baik itu yang ada di dalam lingkungan rumah tangga kita sendiri untuk sektor makanan pokok, sekolah, dan sebagainya.

Nggak cukup itu hanya dari income sang suami. Namun kalau memutuskan untuk tidak bekerja di perusahaan, ada alternatif lain, iaitu, membuka bisnis melalui banyak hal, salah satunya adalah jalur UMKM.

Sehingga perekonomiannya dari keluarga tersebut paling tidak bisa dibantu oleh sang istri. Jadi itu yang mungkin harus kita mulai arahkan ke sana dan saya pikir dengan beberapa program yang sudah mulai dicanangkan oleh pemerintah untuk membantu dan mendorong UMKM itu kuat. Paling tidak itu membantu, kalau bukan belum dari sudut atau segi perekonomian secara nasional paling tidak itu secara regional rumah tangganya sendiri sudah terbantu.

Diskriminasi terhadap perempuan di dunia kerja muncul dalam ragam bentuk. Ada soal struktural yang kentara macam ketimpangan gaji dan jabatan strategis. Bagaimana pendapat Ibu soal itu?

Saya pernah punya pengalaman di salah satu perusahaan, untungnya hanya sebentar dan itu memang ada perbedaan antara gaji perempuan, kemudian jenjang karir juga dilihat kalau perempuan cuma cukup sampai di sini dengan saat itu namanya tahun 90-an sih pikirnya mereka bahwa perempuan itu tidak akan bisa berpikir secara strategis.

Jadi perempuan itu hanya bisa sesuatu yang pekerjaannya administratif yang ini membuat membuat saat itu kecewa, saya bilang sebetulnya nggak seperti itu dan saya akhirnya memutuskan untuk hanya sebentar di perusahaan tersebut dan keluar.

Sebagai seorang perempuan/Ibu, apa suka dukanya menjadi wanita karir di salah satu perusahaan multinasional?

Nah terkait multinasional, salah satu keuntungan perempuan bekerja di multinasional khususnya multinasional yang sudah memegang prinsip human right dan juga women empowerment hal ini tuh nggak ada (diskriminasi structural).

Tapi yang ada sekarang yang saya juga dengar dari rekan-rekan karena banyak yang curhat. Itu banyak di nasional company. Di perusahaan nasional yang masih menganggap untuk menduduki perusahaan di level manajerial itu nggak bisa perempuan karena perempuan itu selalu berpikirnya hanya intuisi saja, tidak berpikir strategis, berpikirnya hari ini bukan berpikir masa depan. Padahal itu tidak benar.

Alhamdulillah saya bisa mengatakan untuk CCEP Indonesia tidak melakukan pembedaan terhadap perempuan atau laki-laki, baik dari benefit maupun posisi.

Apapun juga kalau dari kami melihatnya mau laki-laki, mau perempuan yang membedakan hanyalah kinerja dari orang tersebut, hanyalah integritas dari orang tersebut,

Kami sekarang sudah menerapkan struktur gaji berbasis kinerja. Ini juga kita komit, tidak ada perbedaan sama sekali berdasarkan kinerja.

Seberapa penting sih peran perempuan bagi Coca Cola untuk menjalankan perusahaan? Dan apa goals Ibu Karina?

Saya sih tidak mau muluk-muluk. Yang pertama saya mau lakukan adalah bagaimana kita bisa mendorong masyarakat untuk mengubah stigma atau dogma bahwa perempuan itu cukup di dapur. Justru yang harus kita ubah adalah perempuan ini merupakan partner untuk kita bekerja sama membantu keberlanjutan rumah tangga, perekonomian rumah tangga dan juga perekonomian nasional.

Yang kedua, kita mendorong bahwa perempuan ini punya peranan paling besar dalam pendidikan anak-anak oleh karena ini perempuan itu harus didorong untuk bisa setara at least pendidikannya.

Saya punya pengalaman tahun lalu pada saat mau memberikan pemaparan di salah satu perguruan tinggi negeri, kemudian ada pertanyaan dan mahasiswi tersebut dia menjawab bahwa saya diminta untuk menjadi ibu rumah tangga

Saya bilang tidak apa-apa kalau itu memang pilihan, tapi harus disadari pilihan tersebut ada konsekuensinya. Nah ini yang harus kita mulai suarakan, dia curhat sebetulnya tidak mau menjadi ibu rumah tangga. Namun karena dorongan orang tuanya, perempuan itu menjadi berdosa kalau bekerja. Ini kan nggak benar.

Kemudian yang kedua adalah kita juga harus mencoba mendorong perempuan ini berani bersuara. Biasanya kan kalau sudah mendapatkan semacam kekerasan atau pelecehan dia tidak berani bersuara hanya disimpan sendiri karena ketakutan, kalau bersuara maka tuduhan itu akan masuk kepadanya sendiri. Ini yang harus juga kita coba hentikan.

Dan yang ketiga bagaimana kita mendudukkan status perempuan sebagai tulang punggung perekonomian Indonesia. Ini juga penting dan kalau saya lihat kan program UMKM hanya pelatihan dan sebagainya, tapi kita mulai harus bisa melakukan business matching.

Untuk CCEP Indonesia seberapa penting peran perempuan dalam bisnis?

Saya pikir itu sangat penting. Karena biasanya perempuan itu juga lebih sensitif dan dia juga bisa melihat dari sudut yang berbeda. Ini masalah biologis juga sebetulnya, bagaimana pun ada perbedaan.

Kalau laki-laki sesuatu yang berbau kefeminiman itu mungkin tidak dilihat atau sesuatu yang sensitif atau yang memakai hati itu tidak dilihat oleh yang laki-laki. Tapi yang perempuan akan melihat hal tersebut. Dia akan menggunakan nalarnya untuk menggunakan intuisinya untuk melakukan itu.

Sehingga yang namanya strategi itu bisa match ibaratnya orang bilangnya yin dan yang-nya bergabung atau planet Venus dan Marsnya itu bergabung. Jadi nggak bisa pria saja atau perempuan saja, tapi perempuan dan pria bersanding memimpin perusahaan.

Ini pentingnya di CCEP punya leaders-leader perempuan yang melihat perempuan yang melihat dari sudut itu, kemudian juga leader dari pria. Ini pasti akan saling mendukung satu sama lain.

Tips bagaimana meyakinkan keluarga dan pasangan, bahwa perempuan tetap bisa berkarir?

Bagaimana caranya meyakinkan pada pasangan kita bahwa kita bisa juga mengurusi rumah nih gitu kan ibaratnya? Tapi juga bekerja di dalam satu perusahaan atau mungkin melakukan upaya.

Ini kembali kepada komitmen sebetulnya, komitmen sejak awal waktu menikah dan komitmen untuk menjadikan pernikahan itu bukan hanya hubungan, bos dan anak buah, tetapi hubungan partners dan memang sih agak sulit kalau misalkan dari awal komitmen itu tidak dibentuk. Itu yang pertama.

Kemudian yang kedua, kalau misalkan antara suami dan istri itu tidak bisa berjalan sehingga mohon maaf ya, biasanya kan kalau khususnya di masyarakat marjinal suami itu menjadi pimpinan, pucuk pimpinan. Sementara yang istri apa kata suami A itu menjadi A, B menjadi B, C menjadi C, sehingga perempuan itu tidak punya kesempatan untuk berdiskusi. Jadi kita perlu public education yang masal terhadap ini supaya bisa berubah. Ini yang marjinal.

Terkait rekan-rekan yang middle up komitmen sih yang penting, dan satu komitmen. Kemudian yang kedua adalah bagaimana kita bisa mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitar. Bisa kita dapatkan dukungan itu dari misalkan orang tua, kemudian dari mertua, kemudian dari saudara kandung dan ipar.

Saya kenapa sebutkan ipar, ipar ini juga punya peran penting karena dia akan menjadi mediator kita pada saat harus berbicara kepada sang suami atau mertua dia akan berbicara kepada sang suami, tapi yang penting kalau kita sudah komit bahwa kita mau menjalankan hidup sebagai suami istri punya anak dan kita mau pegang juga sebagai perempuan karir, kita jangan lupa tanggung jawab. Kita itu harus berjalan beriringan. Dan apakah itu mudah? Sebetulnya itu mudah kalau komitmen kita betul-betul kita pegang.

Terkait Ibu cerita kalau perempuan harus bersuara, gimana cara meyakinkan kalau karyawan itu suaranya didengar? Supaya tidak takut bagaimana?

Pertama kali yang saya lakukan adalah saya turun langsung ke lapangan menyampaikan ini. Buat saya yang paling penting adalah mereka mendengarkan langsung dari saya bahwa saya komit, apapun yang mereka keluhkan itu mereka bisa langsung ke saya. Dan saya memberikan nomor kontak saya kepada mereka, HP saya itu kepada mereka.

Saya siap untuk mereka kontak 24 jam dan ini kejadian akhirnya membuat mereka itu nggak segan-segan untuk bercerita ini, dan sebagainya.

Bahkan khusus untuk CCEP Indonesia punya WA grup isinya karyawan. Makanya ini sering kadang-kadang HP saya sudah eror tuh. pusing juga yang mana lagi ini. Tapi karena itu bentuk komitmen itu terpaksa saya lakukan.

Kemudian apa pernah memimpin para pria atau orang yang usianya di bawah Ibu Karina?

Itu pernah waktu saya dulu zaman masih di konstruksi saya sendirian perempuan di grup tersebut. Saya harus bekerja dengan 1.000 laki laki yang bukan notabene ada yang seumuran. Ada yg jauh lebih tua dari saya, tapi kembali lagi pendekatan yang saya lakukan adalah berbasis kinerja itu yang nomor satu. Kedua saya masuk ke merak sebagai keluarga bukan sebagai bos.

Buat saya leaders itu sebetulnya, leaders is not a boss. Leaders itu justru pembantu yang harus mendengarkan harus membantu harus memberikan solusi.


Hide Ads