Setiap 21 April 2022, masyarakat Indonesia memperingati Hari Kartini. Setiap tahunnya hari tersebut diperingati sebagai bentuk penghargaan atas jasa dan perjuangan Raden Ajeng (R.A) Kartini untuk memajukan perempuan Indonesia.
Kartini menjadi simbol bagaimana perempuan tidak dipandang sebelah mata. Bahwa perempuan bisa melakukan apa yang dilakukan oleh laki-laki.
Meski sudah wafat sejak 17 September 1904, perjuangan sosok pahlawan nasional itu masih terdengar hingga kini. Kartini menjadi pelecut para perempuan Indonesia agar terus berjuang mencapai posisi tertinggi, pelecut agar perempuan tak pantang menyerah, dan pelecut perempuan untuk membuktikan bahwa apa yang dilakukan laki-laki juga bisa dilakukan perempuan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti apa yang dilakukan Direktur Public Affairs, Communications & Sustainability Coca-Cola Europacific Partners Indonesia (CCEP Indonesia) Lucia Karina. Perjuangannya hingga bisa menjadi direktur di perusahaan multinasional tidaklah mudah. Ia pernah ada di situasi yang rumit. Karina pernah berada di situasi lingkungan kerja di mana ia "dikepung " oleh laki-laki. Hanya ia seorang perempuan yang bekerja di perusahaan itu.
Tapi dengan tekad bulat, berani terhadap tantangan, serta tahu bahwa perempuan tidak kalah dari laki-laki Karina mampu melewatinya. Selain soal perjuangan dirinya sendiri, Karina kerap memotivasi perempuan untuk mampu bersuara. Ia peduli terhadap nasib perempuan di Indonesia.
Berikut wawancara lengkap dengan Karina, terkait bagaimana perjuangannya menjadi seorang Kartini di era modern.
Bisa diceritakan perjalanan Ibu Karina hingga sekarang? Mulai dari sekolah di mana, hingga bisa join di Coca Cola?
Perjalanan karir saya itu memang cukup panjang dan saya belum cukup lama di CCEP Indonesia. Saya mulai perjalanan karir saya itu dari bidang konstruksi, karena memang saya seorang insinyur teknik sipil. Dan pada saat saya bekerja di dunia konstruksi otomatis mungkin karena di proyek, ya, saat itu dari sekian ribu karyawan, itu mungkin hanya bisa dihitung dengan jari mungkin waktu itu hanya 3-4 perempuan yang ada di proyek tersebut. Itu sekitar tahun 1992-1996.
Saya lebih banyak di proyek. Karena saya berprinsip bahwa untuk berkarir, kita perempuan tidak mendapat pengecualian, tidak mendapat perlakuan yang berbeda atau mungkin diberikan semacam kemudahan untuk menduduki bidang tertentu, itu tidak.
Kalau saya dari awal prinsipnya mau itu laki-laki atau itu perempuan yang harus kita tunjukkan adalah kinerja kita dan integritas kita kepada perusahaan dan hasil kualitas pekerjaan kita.
Perjalanan ini akhirnya membawa saya juga menduduki beberapa posisi di manajer level pada usia yang relatif muda saat itu. Sementara yang lain di usia saya itu mereka masih menduduki posisi misalkan engineer level, saya sudah masuk di level manajerial.
Dan ini juga memicu saya untuk selalu, saat itu ,ya, menyampaikan kepada rekan-rekan yang kita tuntut sebetulnya bukan emansipasi, tapi yang kita tuntut adalah persamaan perlakuan dengan cara kita menunjukkan kinerja dan integritas pekerjaan dari kualitas pekerjaan kita ini kepada perusahaan.
Kemudian saya dari konstruksi diminta untuk bekerja di perusahaan bahan bangunan kimia. Dan itu saya masuk di sana dan kemudian saya mencoba juga di mining company, saya juga mencoba di perusahaan baja saya cukup lama.
Saat itu di sana juga saya juga banyak belajar dan pada saat itu saya dipercaya untuk menjadi salah satu tim manajemen dan kebetulan saya paling muda dan satu-satunya perempuan.
Nah, ini akhirnya mendorong saya supaya lebih banyak lagi karyawan-karyawan perempuan yang bekerja di sana dan menduduki posisi manajer level. Di tempat saya saat itu ada yang disebut namanya Karin Akademi karena di situ saya betul-betul mendidik orang-orang tersebut untuk masuk ke jenjang berikutnya ataupun kalau dia mendapat pekerjaan di perusahaan yang lain, buat saya tidak boleh dalam satu posisi yang sama, dia harus naik.
Jadi yang dikejar bukan hanya uang atau gaji. Tapi betul-betul yang dikejar adalah penambahan tanggung jawab, sehingga dia bisa berkembang jauh lebih bagus lagi.
Kemudian akhirnya saya dipercaya untuk memegang satu divisi baru di Coca Cola. Dulu namanya Coca-Cola Amatil, sekarang namanya CCEP Indonesia.
Dalam perkembangannya kemudian karena ada beberapa kali pergantian juga di sini dan saya akhirnya diminta juga untuk merangkap sementara dan untuk ketiga kali sebagai Direktur People & Culture CCEP Indonesia.
Perempuan sering diasosiasikan sebagai orang dapur, bagaimana menurut Ibu dengan pandangan itu?
Kadang kala saya berpikir bahwa para pria ini kadang-kadang mereka takut tersaingi sehingga mereka menciptakan suatu anggapan perempuan cukup di dapur padahal itu tidak tepat. Dan menjadi pilihan juga sebetulnya bagi perempuan apakah mereka mau bekerja sebagai ibu rumah tangga atau mereka mau bekerja karir atau mereka mau menyeimbangkan antara pekerjaan sebagai ibu dan istri, dan sebagai perempuan karir itu kembali pada pilihan.
Tapi kalau dengan stigma perempuan itu cukup di dapur ini saya protes keras. Kenapa? kita lihat apalagi dalam era sekarang namanya pendidikan itu tidak cukup hanya dari sekolah. Seorang perempuan kalau pun dia memutuskan menjadi sepenuhnya sebagai ibu rumah tangga dia harus mempunyai pendidikan, karena itu berfungsi untuk mendidik anaknya dan juga menjadi penyeimbang suaminya berdiskusi.
Kalau misalkan dia tidak bisa menyeimbangi suaminya untuk berdiskusi dan suaminya memilih untuk berdiskusi kepada orang lain atau dengan perempuan lain, namanya itu kan sudah musibah yang tidak diharapkan. Dan terjadilah yang namanya. Mohon maaf saya agak sedikit tegas, perselingkuhan akibat sang istri tidak bisa mengimbangi sang suami. Kan begitu kadang-kadang kan.
Nah itu karena itu, sebagai istri pun dia harus update terhadap informasi yang ada terhadap teknologi yang ada. Sehingga anaknya pun merasa enak ke ibunya untuk bertanya. Apalagi kalau yang sudah namanya sekolah di rumah keluhannya banyak.
'Saya nggak tahu cara mengajarkan ini, cuma tahu bumbu dapur'. Nah, ini yang harus kita coba ubah stigmanya. Ubah bahwa perempuan itu juga bisa, perempuan itu merupakan partner di dalam rumah tangga.
Kebetulan saya banyak juga melakukan volunteering, ya, untuk membuka wawasan teman-teman perempuan terhadap hal ini. Saya bilang sama mereka bahwa sekarang ini kita tidak cukup hanya menjadi ibu rumah tangga. Tuntunan jaman itu begitu banyak tuntutan perekonomian, baik itu yang ada di dalam lingkungan rumah tangga kita sendiri untuk sektor makanan pokok, sekolah, dan sebagainya.
Nggak cukup itu hanya dari income sang suami. Namun kalau memutuskan untuk tidak bekerja di perusahaan, ada alternatif lain, iaitu, membuka bisnis melalui banyak hal, salah satunya adalah jalur UMKM.
Sehingga perekonomiannya dari keluarga tersebut paling tidak bisa dibantu oleh sang istri. Jadi itu yang mungkin harus kita mulai arahkan ke sana dan saya pikir dengan beberapa program yang sudah mulai dicanangkan oleh pemerintah untuk membantu dan mendorong UMKM itu kuat. Paling tidak itu membantu, kalau bukan belum dari sudut atau segi perekonomian secara nasional paling tidak itu secara regional rumah tangganya sendiri sudah terbantu.
Diskriminasi terhadap perempuan di dunia kerja muncul dalam ragam bentuk. Ada soal struktural yang kentara macam ketimpangan gaji dan jabatan strategis. Bagaimana pendapat Ibu soal itu?
Saya pernah punya pengalaman di salah satu perusahaan, untungnya hanya sebentar dan itu memang ada perbedaan antara gaji perempuan, kemudian jenjang karir juga dilihat kalau perempuan cuma cukup sampai di sini dengan saat itu namanya tahun 90-an sih pikirnya mereka bahwa perempuan itu tidak akan bisa berpikir secara strategis.
Jadi perempuan itu hanya bisa sesuatu yang pekerjaannya administratif yang ini membuat membuat saat itu kecewa, saya bilang sebetulnya nggak seperti itu dan saya akhirnya memutuskan untuk hanya sebentar di perusahaan tersebut dan keluar.
Sebagai seorang perempuan/Ibu, apa suka dukanya menjadi wanita karir di salah satu perusahaan multinasional?
Nah terkait multinasional, salah satu keuntungan perempuan bekerja di multinasional khususnya multinasional yang sudah memegang prinsip human right dan juga women empowerment hal ini tuh nggak ada (diskriminasi structural).
Tapi yang ada sekarang yang saya juga dengar dari rekan-rekan karena banyak yang curhat. Itu banyak di nasional company. Di perusahaan nasional yang masih menganggap untuk menduduki perusahaan di level manajerial itu nggak bisa perempuan karena perempuan itu selalu berpikirnya hanya intuisi saja, tidak berpikir strategis, berpikirnya hari ini bukan berpikir masa depan. Padahal itu tidak benar.
Alhamdulillah saya bisa mengatakan untuk CCEP Indonesia tidak melakukan pembedaan terhadap perempuan atau laki-laki, baik dari benefit maupun posisi.
Apapun juga kalau dari kami melihatnya mau laki-laki, mau perempuan yang membedakan hanyalah kinerja dari orang tersebut, hanyalah integritas dari orang tersebut,
Kami sekarang sudah menerapkan struktur gaji berbasis kinerja. Ini juga kita komit, tidak ada perbedaan sama sekali berdasarkan kinerja.