Besar di dunia perkeretaapian membuat Budi Noviantoro paham betul bagaimana harus mengelola bisnis di industri ini. Tapi di saat yang sama, justru pengalamannya selama 32 tahun di KAI membuatnya harus mengubah tradisi bisnis yang selama ini dijalankan oleh PT INKA (Persero).
Kepada detikcom, Budi berbagi cerita tentang awal perjalanannya meniti karir di dunia perkeretaapian. Ia mengaku tak punya mimpi dan rencana berkarir di dunia perkeretaapian.
"Justru saya ingin menjadi engineering di bidang irigasi sesuai dulu jurusannya hydro. Bayangan saya Indonesia kan negara agraris. Nah itu namanya tenaga, sumber daya alam, waduk, bendungan termasuk irigasi sawah-sawah, dulu mikirnya Indonesia negara agraris pasti sawahnya butuh banyak itu macam-macam. Jadi masuk sini betul-betul kaget, tetapi terpaksa." kata Budi dalam program Ask d'Boss detikcom, Selasa (11/10/2022).
Kini Budi telah memimpin INKA dalam empat tahun terakhir. Dia mengemban tanggung jawab membawa INKA harus terus berinovasi demi bisa bertahan dan terus berkembang sebagai BUMN.
Sejumlah produk dan pasar baru dijajal demi ruang gerak yang lebih luas. Bus listrik, trem baterai, hingga kereta hidrogen dikembangkan. Pasar ekspor baru juga terus dicari mulai dari Asia hingga ke benua Afrika. Bahkan ada mimpi INKA bisa membuat kereta cepat sendiri yang dipakai dari Aceh hingga Bali.
Berikut wawancara lengkapnya:
Pak Budi ini dari awal karirnya di dunia perkeretaapian, awalnya sekali itu di KAI. Benar ya?
Betul, saya itu di KAI masuk tahun 86. Jadi kira-kira kalau saya berhenti 2018, sudah hampir 32 tahun sebagai operator. Cukup malang melintang. Alhamdulillah saya pernah jadi Pimpro jalan kereta api lintas utara, Pimpro Jawa Barat di bawah Dirjen Perhubungan Darat pada saat itu. Saya juga mendapat posisi di PT Kereta Api Indonesia menjadi Kepala Divisi Palembang, kemudian sebagai Dirut KAI Logistik anak usaha dari KAI, terakhir saya juga posisi salah satu direktur logistik dan pengembangan. Saya lama di perencanaan dan pembangunan KAI. Cukup lama lah karirnya di KAI.
Dengan cita-cita masa kecil pak Budi dan sekarang yang tengah dijalani, kira-kira ada irisannya nggak? Dan bagaimana akhirnya sampai menemukan jalan pada titik sekarang?
Nggak sih. Kalau saya melihat background ilmu saya, saya lulusan ITS jurusan hydro, pengairan lah kira-kira. Waktu itu ada tujuan, wah ini saya bisa masuk ke bio pengairan, mengelola soal ketahanan pangan, cetak sawah, irigasi, dan sebagainya. Tetapi ya nggak tahu, mungkin jalan saya mungkin garis tangan barang kali, terakhir akhirnya masuk di PT Kereta Api Indonesia. Itu sebetulnya saya nggak tahu, disarankan sama salah satu saudara, saya nggak tahu.
Jadi apa sih kerja di kereta api? Jadi kepala stasiun atau gimana? Memang tahunya jadi kepala stasiun mana. Tapi ternyata perkeretaapian itu tidak hanya sarana tapi juga infrastrukturnya. Jadi semua disiplin ilmu itu akan masuk di-adsorb oleh perkeretaapian. Mau ekonomi, mau macam-macam itu di-adsorb oleh perkeretaapian. Yang infrastruktur itu porsinya 60% saja.
Akhirnya mau nggak mau saya harus belajar menjadi insan perkeretaapian sebagai operator. Sehingga saya masuk, INKA umurnya mungkin baru 4 tahunan. Kan INKA baru muncul 82, saya kan 86. Jadi seperti itu, sehingga saya masih harus belajar banyak menyesuaikan dunia perkeretaapian khususnya sebagai operator pada saat itu.
Masih ingat nggak waktu itu jobdesknya apa?
Kita diminta mengevaluasi usulan dari daerah. Jadi biasanya daerah itu, misalnya dulu kan ada namanya inspeksi. Waktu itu saya diminta untuk bagian pemeliharaan jalan kereta api dan jembatan. Waktu itu saya ditugaskan untuk mengecek usulan-usulan daerah, karena saya sebagai engineer muda dari perguruan tinggi. Jadi saya masih bisa menerapkan ilmu saya sedikit. Ilmu sipilnya masih ada sedikit masuk.
Jadi kami diminta untuk mengecek usulan-usulan daerah. Misalnya mereka membuat usulan proteksi jembatan, proteksi sungai. Itu kan ada desain seperti itu, dan kami mengoreksi atau memperbaiki kalau perlu. Dari situ baru nanti di-approve untuk dieksekusi di lapangan. Jadi awalnya seperti itu, keliling ke mana-mana itu. Ke Jember segala macam itu pertama kali tugas kami sebagai tenaga muda insan perkeretaapian.
Bekerja akhirnya meniti karir di KAI itu pernah ada terbayangkan pada masa-masa muda nggak? Pernah ada cita-cita berkarir di dunia perkeretaapian?
Nggak ada. Saya ingin menjadi engineer di bidang tadi. Saya dulu jurusannya hydro, bayangan saya Indonesia ini kan negara agraris. Nah itu kan butuh tenaga-tenaga pengelolaan sumber daya alam. Mau itu waduk, jembatan, DAM, bendungan, termasuk irigasi sawah-sawah. Dulu mikirnya gitu. Agraris pasti sawahnya butuh banyak itu macam-macam. Jadi masuk sini ya betul-betul kaget, terpaksa tapi nggak apa-apa.
Tetapi masih ada hubungannya dengan sawah ya, karena kereta api melewati sawah?
Ada-ada lah, bukan nggak ada. Tapi ada lah dikit, tapi okelah kita bisa jalani sampai hari ini.
Dan di INKA menjadi direktur utama sudah jalan tahun ke-5 sejak 2018 Januari. Empat tahun lebih memimpin Inka boleh share suka dukanya?
Saya ini waktu di kereta api itu mengerti kapan PT KAI beli dan tidak beli kereta lagi. Saya membuat RJPP pada saat itu, untuk 5 tahun ke depan. Waktu itu perintah dari pimpinan, sesuai dengan peraturan pemerintah dalam hal ini Permenhub, bahwa sarana umur 30 tahun harus diganti demi safety. Saya membuat planning itu tahun ini, tahun ini, tahun ini. Katakanlah armada kita itu waktu itu sebelum covid, paling juga nggak sampai 6 tahun selesai, ganti armada kalau ada duitnya. Anggaplah 10 tahun, kereta api bukan nggak mau beli. Karena sudah baru pasti tidak beli. Sehingga, saya pikir 'waduh ini INKA kira-kira 10 tahun lagi mau tutup nih,' kira-kira gitu.
Makanya saya juga waktu itu saat masuk berpikir, saat itu masih punya satu pabrik, pabrik yang kedua sedang proses. Secara teori kapasitas produksi kalau di Madiun kira-kira dua per hari. Kalau di sana kapasitas per hari bisa 4. Nah ini harus kita jual.
Di sisi lain kita kan sifatnya job order, kita siap menjadi mono shop nih. Yang beli KAI, ada juga operator lain tapi belum banyak, sehingga memang customer terbesar itu adalah KAI. Waktu itu memang saya diskusi sama teman-teman, ini situasi seperti ini.
Pada saat covid KAI kan luar biasa. Sehingga saya tanya waktu itu, pilihannya mau jadi anak usaha KAI atau berdiri sendiri. Teman-teman itu ada dua kubu. Yang senior pilihnya jadi anak perusahaan KAI. Saya bilang enak kok gajinya gede-gede. Pada saat itu yang muda itu bilang 'nggak lah. Kita tetap menjadi BUMN'. Ini kan pilihan yang sulit buat saya. Kalau jadi anak usaha PT KAI kan nggak nggak repot cari order, udah pasti ada, gaji gede.
Oke, kalau begitu kita mesti berjuang. Maka saya bilang mau nggak mau kita harus berusaha. Satu, kita masuk pasar-pasar yang memang non tradisional. Kedua, kita mesti bertransformasi bisnis. Artinya kalau bisa kita jangan produksi kereta tok. Kalau nggak punya order, jadi nganggur. Itu memang nggak mudah, kan juga butuh kesiapan fasilitas, SDM segala macam. Nah yang going global, kita coba yang sudah dirintis oleh direksi sebelumnya. Saya melanjutkan contohnya yang di Bangladesh.
Kemudian saya juga dapat kontak di Filipina dan macam-macam. Kita masuk ke pasar Afrika, walaupun sulit ya kita coba. Karena kan kalau istilah orang itu, kalau nggak di-blend, lubang jarum jadi pintu. Afrika itu menurut saya ekonomi masa depan. Sekarang belum digarap secara maksimal, tapi lama-lama pasti digarap. Karena dia punya potensi tambang yang sangat besar. Logistik untuk angkutan mineral banyak di sana, ada emas dan macam-macam.
Ini sudah proses 3 tahun, it's okay lah kita coba. Nggak mudah memang, kita coba lihat.
Nah yang lain kita coba transformasi bisnis. Saya berpikir, waktu itu tahun kedua. Saya ke belakang kok ada kereta prototipe ya, dibiarin begitu. Cobalah kita perlu bikin. Saya yakin ke depannya tenaga baterai ini akan menjadi booming, itu tiga tahun yang lalu.
Terus, teman-teman saya minta dorong, coba Anda belajar kereta ini dibuat sebagai prototipe baterai. Dibuat sama teman-teman, kita mesti beli baterai di China cukup mahal saat itu. Alhamdulillah berhasil memproduksi kereta biasa menjadi kereta listrik berbasis baterai. Masih menjadi prototipe, tapi itu sudah berjalan, malah sudah advance dikasih software untuk bisa berhenti, bisa macam-macam. Jadi itu kereta pandai, menggandeng teman-teman dari ITB.
Itu rencananya mau dipasarkan ke mana?
Maunya ke Bali trem baterai itu. Sudah sih sebetulnya proses harapannya. Cuma memang Bali itu dengan Kabupaten Badung. Kita sudah diskusi intens, kita buat trem baterai dari belakangnya Patra Jasa, Bandara itu menyusuri pantai sampai ke Seminyak sampai Canggu, itu 12 kilometer. Sudah FS. Masalahnya ini nunggu reklamasi. Kalau lewat tengah-tengah, susah setengah mati, macet. Tapi kalau bisa lewat pantai itu bisa dan mudah. Masalahnya sekarang pantai itu tidak boleh dipakai. Tetapi Badung punya program reklamasi pantai sampai 100 meter ke arah laut. Kalau ini bergeser ke garis pantai, saya pakai. Ini sudah diskusi intens dan segala macam, dia pakai trem baterai. Dan pihak kabupaten Badung merespons positif, Pak Gubernur juga positif.
Sudah ada gambarnya itu, bagus di pinggir pantai itu dan bisa mengatasi kemacetan yang ada di daerah Kuta. Transportasi dari bandara sampai Seminyak itu tahap pertama 6 kilometer, sampai ke canggu 12 kilometer. Totalnya mungkin biayanya sekitar Rp 700-an (miliar). Dari pengalaman teman-teman mengoprek trem baterai itu, paling nggak sudah tahu baterai itu apa sih. Kedua, bagaimana mengintegrasikan baterai pada suatu fungsi penggerak kereta. Ini kita sudah coba alhamdulillah walaupun dengan motor seadanya, tapi secara fungsi oke.
(ada/eds)