Lokomotifnya diproduksi sendiri juga oleh INKA?
Iya, INKA ini sebetulnya core business-nya produksi sama sarana. Sarana itu lokomotif, kereta. Keretanya macam-macam, kereta berpenggerak dan kereta tidak berpenggerak. Yang berpenggerak itu seperti LRT, KRL, pokoknya kereta api bermesin. Yang tidak berpenggerak sama, yang digandeng lokomotif. INKA sudah berhasil memproduksi 5 lokomotif diesel, dan kita sudah ekspor ke Filipina. Ada 3 lokomotif diesel hidrolik, dengan 4 KRDE, plus 15 gerbong penumpang ke Filipina.
Sekarang ini kita lagi memproduksi alhamdulillah dapat order dari New Zealand, sekarang sedang produksi 262 gerbong untuk kontainer ditambah platform lokomotifnya. Mungkin dulunya itu China, China, China. Karena situasi global macam-macam, akhirnya New Zealand pilih kita. Mereka datang sendiri, mengaudit sendiri konsultannya. Dan alhamdulillah kita lulus, jadi pabrik itu dicek satu persatu sampai manajemennya segala macam. Akhirnya kita dapat kontrak 262.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jadi kemungkinan, kita akan mendapatkan kontraktor baru. Mereka ini lelang sebetulnya di antara perusahaan Australia. Jadi perusahaan Australia nanti yang dapat lelang di Kiwi, berpartner sama INKA untuk men-support itu. Sekarang lagi produksi di sana di INKA di Madiun. Jadi itu kita produksi rolling stock, ya lokomotif, gerbong kereta, kereta khusus, kereta ukur, inspeksi, dan macam-macam. Ada yang luxury penumpang 18, penumpang 24. Itu punya KAI produksinya INKA.
Tapi baterainya masih dari China?
Untuk trem baterai dari China. Dua tahun yang lalu orang masih belum berpikir baterai. Cuma saya sudah berpikir, mau nggak mau, suka nggak suka nanti the end of the day pasti baterai. Kuasai sekarang.
Teman-teman ngomong 'Pak kita bikin bus listrik'. Ayo bus listrik! Tapi pada saat itu kan masih awam benar anak-anak. Kereta bisa, bus gimana sih? Akhirnya kita kolaborasi dengan salah satu pabrik bis di Taiwan, kita lihat bersama-sama. Kita beli komponennya, di-intercase di INKA prototipe pertama tiga tahun yang lalu. Karena itu kita masih prototipe, tapi sudah ke mana-mana itu, sudah sampai Transjakarta, ke Bali macam-macam, sampai dengan ke ESDM ke G20 dan kemarin terakhir ke Labuan Bajo.
Masalahnya, busnya nggak lolos SUT, terlalu berat. Justru lagi-lagi regulasi perlu disiapkan dari awal, belum ada regulasi bus listrik. Jadi kita gunakan regulasi bus biasa 8 meter yang mesin biasa. Padahal yang utama itu adalah baterai. Baterai itu berat sekali. Kalau kita gunakan baterai dari Taiwan itu beratnya 1 ton baterainya doang. Sedangkan kalau gunakan lokal itu beratnya 1,5 ton. Ini prinsipnya pemerintah regulasi tetap dipercepat. Supaya pemain-pemain baru di dunia EV akan punya acuan bagaimana kita memproduksi sesuatu untuk sesuatu berdasarkan aturan yang benar. Kalau INKA agak nekat nih, begitu kita dapat kemarin, kebetulan ada perhelatan G20.
Jadi E-Inobus sendiri dirancang sebelum G20?
Belum. Saya sudah punya prototipe pertama. Itu pertama kali kita coba memberanikan diri. Saya berpikir kalau kita tidak bertransformasi bisnis kita, hanya tergantung pada rolling stock saja, yang sampai sekarang KAI customer besar kita. KAI Kena COVID, selesai semua. Nggak cukup bergerak di situ aja. Makanya kita coba diversifikasi usaha lain yang masih bisa. Makanya kita buat bus listrik.
Kita sebelum itu juga bikin container yang berpendingin. Itu susah itu nyarinya. Kita didorong oleh Kementerian. Sudah dipasarkan kalau mau, tapi pengguna kadang-kadang kalau tak kenal maka tak sayang. Tapi saya juga beruntung ada perpres TKDN itu. TKDN yang membantu INKA sebagai pelaku usaha industri yang kepengin meningkatkan total kandungan dalam negeri semaksimal mungkin. Bus listrik kita loncat, bus listrik kita ada 3 tipe sekarang. Tipe pertama TKDN-nya 46%, kemudian tipe kedua yang sudah menggunakan baterai ABC lokal, itu TKDN 56%. Nanti kalau Dikti ITS berhasil merakit motor, maka TKDN sudah 76%.
Sekarang kita sudah menginjak ke 56%. Yang sudah dikirim ke Bali itu masih 46%. Tapi sekarang kita sudah menggunakan baterai ABC. Yang pakai baterai Taiwan itu ada 10 bus. Sisanya pakai yang baterai ABC. Cuma memang ini sesuatu yang harus kita ambil, sesuatu yang melangkah sedikit ke belakang tapi bisa loncat ke depan. Artinya kalau saya beli baterai dari Taiwan itu lebih murah. Beratnya relatif lebih ringan. Itu nggak mudah. Tapi karena saya pengin TKDN 56%, apapun. Ya sudah saya pilih harga lebih mahal, lebih berat, tapi itu untuk bekal ke depan. Dan ini supaya mendorong pelaku pelaku bisnis berinvestasi ke baterai. Kan Indonesia ini gudangnya baterai, tapi faktanya nggak. Makanya saya mendorong teman-teman di industri itu mengikuti kita. Saya berani saja melangkah sedikit ke belakang, tapi lompat tiga kali ke depan.
Kalau nanti kolaborasi dengan Dikti, harapannya riset teman-teman itu bisa kita absorb untuk diproduksi, di-scale up untuk jadi sesuatu yang baik. Itu kalau bisa dicapai, ini ada 3 bus listrik yang nanti kita akan gunakan motor rakitan Dikti atau PTN dan Swasta, kolaborasi di situ kita bisa mencapai TKDN 76%. Ada 3 bus rencananya, yang juga akan dipamerkan di G20. Kita dorong itu semuanya, sehingga harapannya nanti industri baterai bisa tumbuh, ekosistem juga tumbuh. Kan ada jaminan TKDN 76%, pasti akan meng-adsorb produk dalam negeri kita. INKA juga akan melakukan langkah strategis, menggandeng perguruan tinggi negeri dan swasta yang mau berkolaborasi dengan kita. Kenapa? Karena INKA butuh research. Di sini banyak riset, nah ini di-link and match-kan. Sehingga nanti sekian riset yang dilakukan sekian ribu dokter itu nggak jadi buku saja, ada produknya. Saya bisa menikmati hasil produknya tanpa biaya.
Berarti Inobus bisa dibilang jadi satu masa depan baru buat produk milik INKA yang akan diandalkan? Lalu apa kelanjutan dari bus listrik setelah G20 selesai?
Jadi sebetulnya G20 ini bus pinjaman. Jadi ada program Menteri Perhubungan buy the service yang dulu pakai bus diesel. Buy the service itu pokoknya operator silakan investasi, ada nggak ada penumpang itu dibayar. Nah pertama kali buy the service ini nanti dengan DAMRI itu akan dioperasikan di Bandung dan Surabaya 53 bus. Nah ini dipinjam 30 bus ke G20. Jadi ke depan ini akan dipakai DAMRI dari sisi operasi. Dari sini kita produksi yang lain. Saya yakin ke depan ini, apa lagi ada Perpres 55, bahwa harus menggunakan kendaraan operasional Kementerian/Lembaga untuk EV. Saya tidak akan bermain EV untuk sedan. Itu lebih komplek. Saya lebih cocok yang eksklusif untuk satu daerah, misalkan daerah turis atau wisata, lalu tambang. Itu kan gampang ngaturnya, jadi chargernya ini ngaturnya gampang.
Yang ekosistemnya lebih lengkap?
Betul. Tapi kalau saya masuk ke sedan, bingung saya taruh di mana itu chargernya. Itu pertanyaan yang susah, pertanyaan EV mobil sedan kalau ke Surabaya di tengah-tengah baterai tinggal 5%. Selesai. Jadi saya nggak main di situ, saya main bus rutenya kayak Transjakarta atau Surabaya. Saya hitung oh sekian kilometer, maka ngecas di mana di mana. Tapi kalau nggak terkontrol, setengah mati. Makanya kita masuknya yang tadi, kayak buy the service untuk mass transit di suatu daerah, daerah tambang, wisata, itu gampang ngaturnya.
Sudah ada penawaran ke INKA untuk bus listrik?
Kalau untuk yang 8 meter itu baru DAMRI, tetapi saya yakin tahun depan program buy the service yang sekarang masih pakai diesel, itu bertambah banyak dengan listrik. Itu bisa ratusan atau ribuan jumlahnya.
Kemudian juga saya sekarang ini membuat satu prototipe lagi, sudah dipamerkan di Kemayoran, itu yang 12 meter. Untuk apa? Untuk Transjakarta. Itu kan Transjakarta cukup banyak. Dengan teknologi yang kita kuasai, kalau bisa TKDN 75% itu kan luar bisa. Jadi mohon dukungannya teman-teman media, bahwa inilah sesuatu yang dari Indonesia untuk Indonesia.
Bukan untuk INKA saja, kalau di G20 kan semacam sesuatu luar biasa bus INKA bisa digunakan.
Kalau nilai ekonomisnya gimana?
Kalau ekonomisnya oke, bicara secara margin menguntungkan.
Kalau kereta kan ada standarnya ya, bus listrik itu belum ada. Jadi karena lebih cepat memproduksinya, kemudian bus EV ini sebetulnya mudah merawat karena komponennya jauh lebih sedikit dan memang bersifat elektrik. Jadi diagnosisnya sudah pakai komputer, dicoloki gitu sudah tahu nih apakah sakit perut, atau sakit pinggang ketahuan. Anak INKA mengecek 'Ohh ini virusnya', jadi lebih gampang dibandingkan kalau mobil diesel itu.
Jadi pembuatannya praktis lebih mudah?
Lebih mudah, jadi komponennya nggak banyak. Komponen mekanik seperti roda. Kenapa cuma sampai 76% (TKDN) maksimal, baterai Indonesia, motor sudah rakit Indonesia. Satu sebenarnya yang belum kita buat. Makanya kami berharap teman-teman otomotif memproduksi as rodanya itu, atau gardan masih impor semua. Alhamdulillah dari Pak Anindya Bakrie juga merapat dengan kami, berkolaborasi, 'Pak ini kita masih impor ini, bisa nggak dibuat sama Bakrie Otopart?' Termasuk juga Barata. Silakan pak, masih banyak peluang komponen yang bisa dibuat di Indonesia.
Cuma memang untuk gardan ini nggak mudah. Sampai detik ini susah nyuri teknologinya. Sehingga mungkin lebih baik kita kolaborasi dengan pabrikan yang sudah eksis di luar negeri bawa ke Indonesia. Kalau buat sendiri rasanya nggak mudah. Kalau nggak panas ya bunyi. Saya pikir perlu bersama-sama membangun ekosistem EV supaya nanti Indonesia juga bisa. Kita kan rajanya baterai ke depan, tapi kalau EV-nya impor nggak lucu juga. Karena kan 40% harga EV itu baterai. Kalau baterai itu bisa di Indonesia, mulai dari A-Z rasanya EV akan lebih murah. Kalau sekarang memang masih mahal.