Ketua umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Shinta Kamdani, berbagi cerita kepada kami atas sejumlah kritik yang saat ini dilayangkan ke pemerintah. Pengusaha yang memimpin Sintesa Group tersebut membeberkan sejumlah sinyal buruk yang ditangkap dunia usaha hingga harapannya untuk pemerintahan baru mendatang.
Bagaimana dunia usaha melihat kondisi ekonomi Indonesia saat ini? Benarkah Indonesia punya jalan terjal untuk bisa menjadi negara maju?
Berikut wawancara khusus detikcom bersama Ketum APINDO, Shinta Kamdani.
Kalau kita dengar beberapa waktu terakhir, pengusaha cukup keras mengingatkan pemerintah situasi ekonomi Indonesia yang sedang tidak baik-baik saja. Boleh cerita, apa sih sinyal buruk yang ditangkap pengusaha di lapangan saat ini?
Pertama-tama kalau melihat ekonomi yang saya sebut kondisinya tidak baik-baik saja, kondisi dunia usaha saat ini ya. Kalau kita lihat makro, secara makro fundamental perekonomian Indonesia sih baik-baik saja. Baik in the sense pertumbuhan ekonomi kita, kan masih di atas pertumbuhan ekonomi rata-rata global. Jadi 5% itu masih cukup tinggi dianggapnya dan inflasi sangat terkendali di bawah 3%.
Suku bunga walaupun agak tinggi tapi prinsipnya kalau saat ini ya tentu saja ada pengaruhnya suku bunga itu. Tapi maksudnya, yang mungkin dari segi exchange rate karena itu volatilitas nya. Tapi prinsipnya secara makro fundamentalnya itu baik lah. Indonesia dianggap lebih di atas global.
Nah mungkin yang menjadi challenge adalah ekonomi global sendiri bagaimana? Kita tahu kondisi di global itu memang tidak baik karena kita melihat situasi geopolitik yang banyak pengaruhnya ya kepada kita di Indonesia. Jadi contohnya, apa yang terjadi dengan konflik di middle east, dengan Palestina-Israel, maupun Rusia-Ukraina, itu pengaruhnya kan banyak tuh ke Indonesia. Kita melihat bahwa kita punya energy crisis, kita juga melihat dari segi harga itu semenjak adanya itu suplai dan harga itu jadi kendala.
Tapi kita juga lihat supply chain misalnya dengan Laut Merah, dengan adanya konflik di Israel-Palestina, itu logistik dan pengaruhnya tinggi sekali karena itu jadi jauh lebih tinggi cost-nya. Hal-hal semacam itu pasti ada pengaruhnya juga ke Indonesia. Nah, yang paling utama adalah juga dari segi demand. Demand ini yang menurun signifikan. Demand ekspor kita katakan ya, karena Indonesia kan termasuk negara ekspor. Jadi demand ini menurun cukup besar.
Berarti lebih ke global demand ya?
Global demand. Nah, tentu saja kita masih menopang karena 60% itu masih konsumsi rumah tangga dalam negeri. Jadi itu jelas membantu, tapi kan tetap banyak perusahaan yang ekspor ini pengaruhnya ada dari segi global demand. Dan kita juga melihat dari El Nino, karena El Nino juga masuk ke pangan. Kita lihat scarce kepada pangan ini juga mempengaruhi Indonesia ya. Kita melihat harga pangan juga naik cukup tinggi.
Hal-hal semacam ini ada pengaruhnya kepada Indonesia, jadi prinsipnya walaupun pemerintah sudah mendorong supaya makro ekonominya tetap baik, kita juga termasuk masih surplus kalau kita lihat surplus kan, perdagangan kita masih surplus walaupun ekspornya tumbuh jauh, tapi masih ada surplus. Kemudian investasi yang paling penting. Kita lihat 2023 itu investasinya malah di atas target, lebih di atas Rp 500 triliun, jadi ini yang menurut saya, kalau kelihatan itu kondisi dari segi hasil outcome di 2023 masih baik.
Cuma, kita melihat di pelaku yang ada di lapangan, ini yang tidak baik-baik saja. Dan mungkin kekhawatiran kita lebih ke depan, di 2024 ini, kemudian di tahun depan seperti apa, itu yang menjadi kekhawatiran dari pelaku.
Dengan statement yang menyatakan bahwa ekonomi tidak baik-baik saja dan ada peringatan 'ayo ini harus dijaga betul supaya tidak goyang'. Sepertinya ada indikasi ada sesuatu yang dilakukan pemerintah saat ini kurang dijaga dengan baik, apa sinyal yang ditangkap oleh dunia usaha?
Jadi memang saat ini contohnya ya kita sekarang sedang bergelut mengenai urusan impor. Di media juga sudah kemana-mana, sebenarnya urusan Permendag 36 yang kemudian ada revisinya, nah ini banyak menimbulkan skeptis.
Maksudnya, pertama, dari segi sosialisasinya mungkin yang harus lebih di-inikan, tapi pengaruhnya. Jadi memang kalau kita lihat tujuan pemerintah sebenarnya baik untuk mengurangi illegal import, itu juga dihadapi banyak pelaku usaha ya, terutama di industri tekstil yang sedang dalam perjuangan mereka sekarang. Nah tentu saja illegal import sangat buruk untuk mereka. Jadi itu membantu dengan kita mengalihkan dari post border ke border.
Tapi dalam sisi yang lain, pemerintah harus menyadari bahwa proses impor kita ini sangat sulit karena dengan diperketat, misalnya sekarang kuota harus setiap 6 bulan harus minta izin, minta persetujuan. Prosesnya sendiri dari impor, impor kita itu 70% kan masih bahan baku bahan penolong. Jadi walaupun pemerintah sudah mencoba untuk mengevaluasi mana nih yang bisa dapat? Ya kita tahu lartas-lartas (larangan terbatas) yang ada ya. Tapi waver-waver-nya itu gitu, Tapi tetap masih banyak yang punya kendala dari segi impor. Jadi ini salah satu kebijakan contoh yang saat ini sedang dihadapi pelaku (usaha) yang cukup memberatkan.
Kebijakan mengenai DHE (Devisa Hasil Ekspor), sebenarnya tujuannya kan baik gitu supaya DHE masuk ke Indonesia. Tapi bahwa kita harus tahan 3 bulan dan lain-lain, ini juga ada pengaruhnya karena bunga kita tidak kompetitif dibandingkan dengan negara lain juga. Dan itu pasti ada pengaruhnya.
Ini yang membuat dunia usaha sulit lari kencang?
Well, sekarang aja mau lari kencang udah nggak mungkin, kita ngomongin untuk surviving mode. Dan saya mesti jelas, bahwa kita tidak bisa generalisasi semua sektor, tentu saja ada winning sector yang saat ini tetap berjalan dengan sangat baik. Karena kemarin saya juga baru ngomong sama perbankan dia bilang 'udah mulai tumbuh kok kredit', berarti kan ada sektor tertentu. Tapi kalau kita lihat kondisi secara umum, ini sedang tidak baik-baik saja, terutama yang tadi saya katakan yang hubungannya dengan ekspor. Yang pasti eksportir pada kaget, ini semua sedang mengalami kendala gitu.
Jadi di situ, lah, kita harus melihat kondisi yang terjadi di lapangan. Di sini yang banyak kebijakan yang mungkin perlu dievaluasi kembali karena ini sangat menimbulkan kesulitan dari segi melakukan usaha. Dan terutama kita kaitkan juga dengan perizinan, karena banyak sekali kaitan dengan perizinan semisal OSS. Itu, kan bagus, itu reformasi struktural yang sudah dilakukan pemerintah melalui Undang-Undang Cipta Kerja. Tapi dalam kenyataannya implementasinya masih banyak kendala di lapangan, terutama yang risk based yang LBE. Jadi ini hal-hal yang mungkin kenyataan policy, praktik di lapangan masih banyak gap-nya.
Inilah kami di sini bukan mau memberi kritikan, tapi bagaimana juga masukan dan solusi, gimana caranya bisa diperbaiki dan ini masukan-masukan yang kami sampaikan ke pemerintah.
Pemerintah menetapkan ekonomi saat ini tumbuh di angka 4,8% sampai 5,2%. Dari pengusaha seperti ada pesimisme target tersebut bisa dicapai atau tidak. Apakah sesulit itu kondisi saat ini di lapangan?
Saya rasa begini, kita jelas 4,8% dan 5-2,% itu cukup besar. Itu bukan pesimis ya, makanya tergantung dari kacamata siapa pesimis? Karena kalau melihat dari secara global pertumbuhan ekonomi global jauh lebih rendah daripada pertumbuhan Indonesia.
Mungkin kita melihat bahwa berapa persisnya, ini semua estimasi kan, jadi yang penuh ketidakpastian ini angka yang rentang besar ini bisa dari 4,9% sampai 5,2% itu bisa-bisa saja gitu lho. Jadi kita tidak bisa mengatakan 'oh ini 5%'. Ya bisa di bawah, bisa di atas.
Ini mungkin kalau pesimisme itu lebih melihat kondisi secara menyeluruh gimana pengaruhnya ke Indonesia. Mungkin itu karena kita melihat pelaku usaha dalam mereka beroperasi ya. Tapi kalau pertumbuhan ekonomi Indonesia sendiri, saya rasa kita kalau bisa mencapai 5% saja sebenarnya sudah cukup baik. Ini yang harus kita perhatikan.
Namun ada hal yang lebih penting, apakah 5% itu cukup untuk Indonesia tumbuh? Nah ini mungkin pertanyaan yang juga sangat penting, karena kita faktornya pada penyerapan tenaga kerja dan lain-lain, ini yang saya rasa menjadi topik yang juga penting.
Pengusaha merasa 5% bukan angka yang cukup lagi untuk Indonesia bisa tumbuh?
Jadi begini, sebenarnya pertanyaannya lebih kepada pemerintah, karena, kan, kita mau mencapai Indonesia Emas 2045. Untuk mencapai itu kita perlu tumbuh 6% sampai 7%. Kalau kita cuma tumbuh 5% itu tidak mungkin bisa mencapai angka tersebut. Dan kalau kita lihat leading sector-nya di Indonesia gimana manufacturing, kemudian mining, kemudian kita melihat infrastrukturnya, dan sektor konstruksi, ini leading-leading sector yang setiap tahun tumbuh tidak pernah lebih dari 10%. Jadi semua di bawah 5% sekarang, nah ini akan sulit untuk Indonesia bisa mencapai pertumbuhan setinggi yang mau ditargetkan.
Dan ini kaitannya dengan penyerapan tenaga kerja tadi, kenapa? Kita perlu menyiapkan paling tidak 2 juta pekerjaan baru. Ini ada ketimpangan dari sisi itu, jadi yang jadi permasalahan sebenarnya di Indonesia adalah yang saya selalu katakan 'kita mesti siaga apakah kita cukup untuk menyiapkan lapangan pekerjaan', creation of jobs, ini yang 'apakah cukup?' Ini yang jadi kekhawatiran karena kalau kita lihat, investasi yang masuk juga sekarang sudah berpindah dari yang padat karya ke padat modal. Jadi di 9 tahun tahun terakhir sudah turun lebih dari seperempat, bayangin. Jadi itu satu yang harus jadi perhatian.
Kedua, ICOR (Incremental Capital Output Ratio) Indonesia itu 6,8, itu sangat tinggi, itu bagaimana kita bisa mencapai itu, kan. Nah hal-hal yang seperti ini ditambah dengan digitalisasi, otomatisasi, itu juga penyerapan tenaga kerja, kan, semakin lebih rendah lagi gitu. Jadi bonus demografi Indonesia nanti bisa jadi beban, bukan jadi bonus lagi. Ini yang harus jadi perhatian.
Soal demand dari global yang masih lemah, saat ini kita memang masih mengandalkan pertumbuhan dari domestik, kalau dari domestik sendiri ada gejolak tidak yang dirasakan dunia usaha? Apakah masih kuat aja nih, daya beli dan konsumsi?
Saya rasa daya beli ini menjadi satu faktor yang utama karena ini stimulus yang terus-menerus harus diperhatikan dan dimonitor oleh pemerintah. Memang kalau kita lihat dari (indeks kepercayaan konsumen) IKK-nya masih cukup baik ya, indeks (purchasing managers index) PMI kita juga masih ekspansif. Tapi tetap menurut saya kita harus memperhatikan isu daya beli ini.
Dan juga, kita mesti lihat bahwa kita tuh akan depend banyak dengan APBN, spending pemerintah. Biasanya kan gitu kan, spending pemerintah ini juga sangat tinggi. Jadi ketepatan daripada spending, dana yang bergulir untuk spending-nya ini akan sangat membantu gitu. Jadi banyak faktor yang menjadi pegangan pemerintah, bagaimana mempertahankan daya beli untuk terus bisa naik, bagaimana APBN itu juga bisa digunakan tepat waktu, saya rasa itu faktor-faktor yang juga harus menjadi perhatian.
Artinya concern yang dilihat oleh pengusaha, APBN yang digulirkan saat ini untuk berbagai pos belanja itu harus dipastikan tepat sasaran penggunaannya?
Tepat sasaran dan tepat waktu ya. Jadi biasanya, kan, kita kalau melihat banyak yang mundur semua ke belakang spending-nya. Ini, kan, kita sangat tergantung kepada project-project APBN itu kan semua ketergantungannya sangat tinggi.
Sekarang pemerintah semakin banyak mengandalkan APBN buat berbagai macam proyek pemerintah, salah satunya adalah IKN yang saat ini dipakai untuk bisa membangun IKN sebelum nanti swasta diajak masuk. Dari pengusaha melihat sejauh ini APBN digulirkan sekian puluh triliun untuk IKN apakah sudah dalam koridor yang tepat atau ada pandangan lain dari pengusaha?
Pertama-tama kita mesti melihat kenapa IKN. Kenapa Presiden Joko Widodo (Jokowi) punya visi IKN, itu dulu kita lihat. Kenapa ibu kota harus berpindah. Dia melihat kondisi apakah Jakarta bisa terus (jadi ibu kota). Kan kondisi Jakarta kita bisa lihat dari segi lingkungan, ya, kita lihat lah kondisi alam dan lain-lain, banjir, overpopulated. Kita tidak bisa mikir dalam setahun dua tahun, kita mesti berpikir jangka panjang apakah Jakarta bisa terus untuk menjadi (ibu kota), ini sudah overpopulated city. Jadi mungkin ini harus menjadi pandangan alasan kenapa berpindah.
Kemudian kalau kita melihat, oke, sekarang kita mengerti kenapa itu pindah. Nah dananya seperti apa? Jelas yang basic infrastructure itu harus datang dari pemerintah, APBN. Tapi tidak bisa source-nya hanya dari APBN, makanya pemerintah mengajak dunia usaha, baik itu BUMN, swasta, dalam dan luar negeri untuk ikut serta berinvestasi di IKN.
Ini jadi faktor, karena kalau kita lihat dari nilainya, of course kalau tanpa ini tidak bisa hanya tergantung pada APBN aja. Nah ini harus ada seberapa besar appetite investor untuk mau masuk. Nah kalau appetite berarti kita harus melihat demand, berarti apakah kemudian IKN ini bisa memberikan demand yang signifikan untuk project-project yang dikembangkan di sana bisa feasible, karena kalau APBN is one thing, tapi kalau swasta itu kan melihatnya pasti ada feasibility, mesti commercially feasible proyeknya. Nah itu membutuhkan demand yang cukup tinggi.
Nah ini yang mungkin harus jadi faktor, jadi kita harus melihat secara komprehensif, keseluruhan gitu, it's not benar atau tidak tapi lebih kalau kita mau melakukan ini, apa faktor-faktor yang harus jadi perhatian? Saya rasa IKN itu menjadi three states, kita perlu kota-kota pendukungnya untuk masuk ke dalam demand tadi gitu, nah dia tidak bisa hanya berdiri sendiri sebagai IKN, ini kota-kota penopangnya juga harus dimasukkan sebagai pertimbangan.
Kalau bisa menyampaikan kritik atau mungkin warning ke pemerintah tentang apa yang saat ini sedang dibangun di IKN, pengusaha mau bilang apa?
Saya rasa saat ini kita mulai bangun itu dengan yang dasar. Jadi kalau pembangunan saya lihat perumahan, hotel, kemudian infrastruktur dasar, rumah sakit, sekolah, pendidikan, saya rasa itu sudah tepat. Mungkin yang paling penting masukan adalah dari demand. Itu. Karena demand adalah segalanya. Jadi kalau misalnya ASN itu tadinya mau masuk 200 ribu, ini bertahap, kan, ini, kan, perlu tahapan, ini tidak satu proses terjadi dalam satu tahun. Ini bertahap. Nah demand ini yang harus cari, karena nggak cukup kalau kita hanya mengandalkan ASN yang ada. Itu mungkin masukan yang paling penting bagi pemerintah. Bagaimana bisa creating more demand sebetulnya.
Berarti menjaga kondisi ekonomi dalam negeri juga termasuk salah satunya untuk menjaga demand tadi?
Nah demand itu maksud saya begini, demand itu orang yang harus berpindah ke sana. Kalau cuman turis atau visitor saja kan tidak bisa. Nah jumlah ini bagaimana berpindah masyarakat cukup pindah ke IKN atau ke (kota) penopang sekitarnya, ini yang saya rasa harus menjadi kunci utama untuk supaya IKN ini bisa kemudian bertumbuh.
Kira-kira terobosan apa yang diharapkan pengusaha pada pemerintah yang baru agar ekonomi 6% sampai 7% itu tercapai, bahkan Pak Prabowo sebagai presiden terpilih hasil hitung KPU menginginkan perekonomian tumbuh di angka 8%. Apakah ibu melihat possibility itu? Kalaupun dilihat terobosan seperti apa yang harus bisa dilakukan pemerintah jika sudah berganti?
Jadi pertama-tama kita melihat kita punya waktu cuma 10 tahun lagi untuk bisa bonus demografi itu dimanfaatkan. Makanya kita selalu mengatakan pemimpin masa depan ini sangat penting karena dia yang akan mengawal 'kita bisa nggak nih keluar dari middle income trap'. Nah yang pertama, saya rasa yang kita lihat harus lihat adalah dari segi creation of jobs. Kita melihat bahwa tidak cukup bisa di-absorb oleh industri, oleh karenanya kita mesti menciptakan lapangan-lapangan baru dari pengembangan pekerjaan melalui kewirausahaan, melalui UMKM. Kenapa kita selalu menggaung-gaungkan UMKM itu, karena mereka bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru.
Tapi UMKM-nya harus naik kelas, jadi dia tidak cukup hanya duduk di sini, dia harus meningkatkan diri. Nah itu perlu ekosistem, nah ini harus jadi perhatian bersama pemerintah bagaimana agar UMKM bisa naik kelas dengan menciptakan ekosistem memadai.
Kedua, kalau kita melihat, dari sisi human capital development-nya sendiri. Kita harus melihat bahwa Indonesia saat ini masih (didominasi) low skill labor. Kita musti naikkan, musti upskill, musti reskill karena jenis pekerjaan sudah beda, masuk sekarang ke digitalisasi, otomatisasi, ini technology based, kita harus memperkuat dari segi human capital development karena jenis pekerjaannya sudah beda.
Nah, kita juga mesti melihat bahwa aspek sustainability juga penting. Untuk bisa jadi negara maju, kebetulan kita menyiapkan 'Peta Jalan Indonesia Emas 2045', itu kita juga perlu faktor sustainability atau keberlanjutan. Kita tahu ke depannya, dunia ini masuk ke dalam green economy dan hal-hal semacam itu, sehingga kita mesti mulai melihat untuk tumbuh industri-industri juga yang sustainable, jadi makanya kita masuk dalam transisi energi, kita masuk ke dalam electric mobility, kita masuk ke dalam sustainable agriculture jadi pertanian itu peningkatan produktivitas lebih sustainable. Kemudian kita juga lihat dari segi forestry, degenerative forest dan lain-lain, kita lihat dari segi nature based. Itu semua arahnya sudah ke lebih sustainable. Saya rasa ini menjadi perhatian.
Mungkin yang juga penting adalah untuk kita bisa mencapai itu, kita juga mesti melihat faktor dari segi pertumbuhan (ekonomi) itu dapatnya dari mana? Artinya investasi kita harus terus tumbuh. Untuk investasi bisa tumbuh kita mesti punya iklim investasi yang kondusif supaya investor tidak hanya (datang dari) dalam negeri tetapi juga luar negeri juga akan terus masuk. Jadi ini yang saya rasa pemimpin masa depan bagaimana caranya untuk terus mendorong lebih banyak investasi agar Indonesia bisa menarik lebih banyak investasi.
Kemudian yang terakhir dari segi industrialisasi karena ini adalah kunci utama. Jadi kalau kita lihat industrialisasi Indonesia kita selalu masuk ke hilirisasi, tapi tidak cukup hilirisasi juga, added value, tetapi juga upstream industry kita karena saya katakan tadi, bahan baku kita masih banyak impor. Jadi bagaimana caranya kita bisa mengembangkan industrialisasi Indonesia. Ini saya rasa menjadi kunci utama juga untuk kita bisa terus tumbuh dan kita tidak tergantung pada negara lain.
Tentu saja kita selalu mengatakan enabler daripada sistem di Indonesia baik itu infrastrukturnya kita juga harus kembangkan tentu saja, karena untuk bisa investasi masuk itu banyak faktornya. Mesti ada infrastruktur yang memadai, kita mesti banyak yang tadi over regulated, perizinan dari segi itu juga harus kita perbaiki, kemudian kita juga melihat dari faktor yang berhubungan dengan koordinasi. Jadi menurut kami, ini sesuatu hal, reformasi yang dilakukan pemerintah, reformasi birokrasi, ini harus bisa dijalankan karena ada pengaruhnya juga.
(eds/eds)