Mewujudkan Ambisi Besar Industri Pertahanan RI

Eksklusif Dirut DEFEND ID, Bobby Rasyidin

Mewujudkan Ambisi Besar Industri Pertahanan RI

Herdi Alif Al Hikam - detikFinance
Jumat, 05 Apr 2024 18:18 WIB
Direktur Utama Len Industri, Bobby Rasyidin
Foto: Achmad Dwi Afriyadi
Jakarta -

Indonesia mulai melangkah maju untuk mewujudkan industri pertahanan yang memiliki kompetensi tinggi untuk bersaing di pasar global. Kemandirian industri untuk memenuhi kebutuhan pertahanan dalam negeri menjadi salah satu tujuannya.

Maka dari itu, pemerintah meluncurkan holding program strategis BUMN industri pertahanan bernama DEFEND ID untuk mewujudkan ambisi tersebut.

Direktur utama DEFEND ID Bobby Rasyidin mengatakan tugas kemandirian industri pertahanan Indonesia ada di DEFEND ID.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tugas kemandirian ada di kami, tugas pembangunan SDM itu paling berat itu di kami. Karena kami dealing dengan teknologi-teknologi tinggi sehingga penyiapan SDM juga harus siap ke sana. Belum lagi ada aspek keekonomian yang mesti kita kejar, secara perusahaan dan aspek keekonomian untuk Indonesia secara keseluruhan," ungkap Bobby.

Bobby juga mengungkapkan pemerintah dan DEFEND ID punya target besar untuk membangun kapasitas industri pertahanan masuk ke dalam 50 besar dunia. Dia juga bercerita soal beberapa pengembangan persenjataan yang sedang dilakukan DEFEND ID dalam program Blak-blakan detikcom.

ADVERTISEMENT

Berikut ini kutipan lengkap wawancara dengan Direktur Utama DEFEND ID Bobby Rasyidin:

Banyak yang belum paham mengenai DEFEND ID dan PT LEN itu sebenarnya apa, boleh dijelaskan sedikit?

PT LEN Industri itu adalah induknya, induk dari grup bernama DEFEND ID. Jadi sejak 1991 PT LEN dijadikan BUMN itu sudah tidak ada singkatan lagi. Kalau dulu kan bagian dari LIPI. Tahun 2022 bulan Maret dibentuk lah namanya holding industri pertahanan.

Ada lima perusahaan di dalamnya, PT LEN sebagai induknya, kemudian ada Pindad, PT PAL, Dirgantara, sama Dahana sebagai anggota holding. Atau bisa juga disebut sebagai anak usaha PT LEN, karena pada saat itu terjadi inbreng saham pemerintah yang ada di empat perusahaan ini sebagai penyertaan modal tambahan ke PT LEN Industri, dengan kata lain jumlah saham pemerintah di PT LEN lebih banyak, sementara di anak usaha tadi disertakan ke LEN.

Selama ini kan empat BUMN yang sudah ada hidup sendiri-sendiri, tahun 2022 disatukan, ini inisiatif siapa?

Inisiatif ini sebenarnya dari pemerintah, stakeholder-nya kita itu pemerintah. Inisiatif awalnya di Kementerian BUMN yang melihat kalau lima perusahaan ini digabung which is nature-nya itu sama. Itu tentunya berikan kekuatan yang lebih kuat. Misalnya, 1 tambah 1 mungkin hasilnya bukan 2, bisa 10, bisa 20. Ada amplifikasinya.

DEFEND ID jadi frontliner pertahanan Indonesia, dorongan dari Kementerian Pertahanan seperti apa?

Sebelum holding dibentuk kan sudah di-rataskan. Ini persetujuan Presiden juga untuk pembentukan holding ini. Dengan PP lho ini, ada dua, satu lahir di Desember 2021, itu perubahan anggaran dasar PT LEN, yang tadinya sendiri saja sekarang memiliki 4 anak eks BUMN. Dan inbrengnya itu juga ada Peraturan Pemerintah juga di Maret 2022. Jadi ini memang prosesnya panjang untuk pembentukan holding ini.

Apakah Anda pernah diskusi dengan Pak Prabowo, atau dari Kementerian Pertahanan soal tujuan holding ini seperti apa?

Tentunya kalau kita lihat begini, itu kan ada porsinya masing-masing. Kalau Kementerian Pertahanan itu visinya sebagai membangun pertahanan, kalau kita lihat Mabes TNI itu adalah pengguna alat pertahanan, dan kalau kita lihat angkatan itu sebagai pembina dari alat pertahanan. Tentunya industri itu dalam hal ini bertindak sebagai penyedia alat pertahanan. Nah itu satu aspek.

Kalau bicara pertahanan itu ada 3 hal, satu itu ada platform-nya, kedua senjatanya, ketiga sistemnya. Nah kalau dilihat di masa lalu, 3 hal ini terpecah nih. Pindad, PT PAL, Dirgantara itu hanya kuat di platform-nya saja, PT LEN hanya kuat di sistemnya saja, dan PT Dahana kuat hanya di armamennya saja, di persenjataan saja. Dengan di-holding-kan ini bisa saling mengisi, maka kalau kita lihat impact-nya memang sangat eksponensial.

Bicara sebelum ada DEFEND ID, industri pertahanan kita seperti apa, kabarnya ada sesuatu yang ingin dilakukan Pak Menhan Prabowo?

Itu signifikan sekali, jadi sebelum penggabungan ini, kalau kita jumlah industri pertahanan kita ini kalau dilihat global chart-nya ini masih di atas 100 besar dunia. Di tahun 2022 akhir kita ukur ulang kita di peringkat 87-88, tahun lalu itu kita di tingkat 76. Diharapkan tahun ini masuk ke peringkat 60-an, dan target kita di tahun 2025 kita ada di top 50.

Kalau kita bisa masuk top 50, ini satu anomali, satu kekuatan besar di dunia. Kenapa begitu? Industri yang ada di top 50 itu spending pertahanan negaranya di atas 2% dari GDP. Kita masih hanya 0,8% dari GDP. Kalau kita masuk top 50, itu satu industri di suatu negara yang spending pertahanannya di bawah 1%.

Idealnya spending pertahanan di atas 2%, kalau dilihat secara global, spending pertahanan rata-rata di dunia itu 2,3%. Nah kalau bicara hari ini spending kita cuma 0,78% di bawah 0,8% itu jauh di bawah rata-rata dunia. Apalagi dengan tensi geopolitik dunia yang meningkat juga, ekskalatif.

Ke depan apa yang dilakukan atau sejauh ini apa yang sudah dilakukan selama 2 tahun ini?

Yang sudah dilakukan tentunya sinergitas, kita sinergi, sudah saling compliment. Kita saling menguatkan lah. Sudah banyak program atau proyek yang kita lakukan bersama, misalnya modernisasi kapal, tadinya dilakukan hanya PT PAL, sekarang berbarengan. PT PAL platform-nya, LEN sistemnya. Kemudian kalau dilihat juga di teknologi pesawat tempur, atau pesawat angkut misalnya, yang tadinya PT Dirgantara sendiri, sekarang ada PT LEN. Begitu juga di matra darat dengan PT Pindad.

Karena kami sudah bersama-sama dan kekuatan itu ada di sana, kami lebih percaya diri untuk ambil proyek domestik, tentunya stakeholder utamanya Kementerian Pertahanan. Cukup signifikan juga dibandingkan dengan renstra yang lalu.

Misalnya di 2014 sampai 2019 kita bandingkan 2020 sampai 2024 sekarang itu magnitude yang kita ambil bisa lebih dari 6 kali. Kalau di renstra sebelumnya bicara angka 100, maka yang kita kerjakan bisa sampai 600 sudah 6 kali. Jumlah programnya itu bahkan pengalinya 10, kalau 2014-2019 cuma 10 program dari Kementerian Pertahanan, sekarang kita kerjakan 100 program.

Kemudian kita lakukan operational excellence dan efisiensi juga, yang tadinya IT cost masing-masing, sekarang terintegrasi. Lalu misalnya human capital services tadinya masing-masing sekarang terintegrasi jalan bersama. Termasuk talent mobility, tadinya satu engineer yang stay di sana terus sekarang bisa muter-muter. Jadi banyak hal-hal yang kita kerjakan di 2 tahun ini tercermin di kinerja perusahaan, dari tahun 2021-2022 kita alami peningkatan 30% secara kinerja, dari 2022-2023 kemarin itu angkanya 30% juga. Diharapkan di tahun ini kalau ada lompatan 30% lagi, di akhir tahun ini kita bisa jadi 60 besar dunia.

Presiden selalu ingatkan untuk memanfaatkan produk dalam negeri, Menteri Pertahanan juga minta agar optimalkan sumber daya di dalam negeri. Apakah DEFEND ID akan ke arah sana, semua kebutuhan persenjataan dipenuhi DEFEND ID saja?

Idealnya memang begitu. Memang DEFEND ID ini kami ini kompleks, sangat kompleks. Tugas kemandirian ada di kami, tugas pembangunan SDM itu paling berat itu di kami karena kami dealing dengan teknologi-teknologi tinggi sehingga penyiapan SDM juga harus siap ke sana. Ketiga ada aspek keekonomian yang mesti kita kejar, secara perusahaan dan aspek keekonomian untuk Indonesia secara keseluruhan.

Untuk mencapai 3 hal ini, bagaimana kita siapkan SDM-nya untuk pencapaian teknologi tinggi tadi kita tentu tak bisa sendiri, kita harus benchmarking, transfer of technology, lakukan partnership, ini lah yang kita lakukan untuk mengejar ketertinggalan kita, kita akselerasi itu sekarang.

Bicara jangka panjang, butuh waktu berapa lama untuk penuhi kebutuhan pertahanan dalam negeri agar bisa maksimal?

Kalau kita lihat industri pertahanan yang sudah matang, seperti Raytheon, Airbus, Lockheed Marten, kemudian sistem elektronika itu yang paling maju adalah Thales Prancis, mereka ini membangun ini tidak dalam jangka waktu pendek, umur perusahaannya saja sudah ratusan tahun. Kalau kita tempuh dengan cara yang sama tentu kita kemandirian kita itu masih sangat jauh sekali.

Lalu, apa yang kita lakukan? Kita lakukan prioritasisasi, kita lakukan yang paling basic dulu, amunisi, kemudian senjata ringan, pistol, senapan, senjata serbu, kemudian senapan runduk juga untuk sniper. Itu hal yang sangat basic sekali. Mulai dari penyiapan explosive material, atau warhead, hulu ledaknya, kemudian siapkan amunisi dan senjata ringan. Ini paling basic. Pada saat ini kita lumayan mandiri di sana.

On the next level kita bicara platform operasionalnya dulu, kalau bicara platform tempur ekosistemnya sangat sulit untuk dapatkan itu di dalam negeri, karena suatu industri itu kan ada tier 1, 2, 3, 4. Komponen raw material-nya, spesifikasi bajanya itu nggak ada di Indonesia, maka prioritas kendaraan tempur ini kita taruh sedikit ke belakang. Yang bisa kita lakukan adalah kemandirian kendaraan operasional dulu. Lahir lah produk macam Maung, sebelumnya Anoa, itu untuk menunjang operasional sebenarnya.

Nah next-nya lagi yang dikejar adalah platform tempurnya. Kalau dibedah lagi platform tempur ini yang paling gampang untuk kita kejar adalah kesistemannya. Kalau di kapal itu ada combat management system, di darat ada battle management system, di pesawat ada mission system. Kenapa kita kejar ke sana? Karena itu banyak software driven-nya.

Jadi kita bangun software, meskipun hardware masih kita impor sensor kita impor, komputernya kita impor, tapi at least kita ada kemandirian bangun software. Tiga prioritas ini yang kita kejar. Kalau kita develop sendiri, butuh waktu panjang, sehingga kami maksimalkan kerja sama dengan principal-principal yang jauh lebih maju dari kami.

Banyak oknum menilai industri pertahanan tak usah canggih-canggih amat, bahkan katanya di balik pembelian itu banyak gula-gulanya. Ini pernah dibicarakan sama pak Menhan?

Spirit pak Prabowo itu utamakan kemandirian. Bagaimana kita bikin alutsista sendiri, bagaimana kita swasembada alutsista, bagaimana kita harus menemukan dan mengembangkan sendiri. Karena kalau dilihat perang ke depan ini perang berbasis elektronika. Misalnya, perang Rusia dan Ukraina itu lebih banyak perang elektronikanya dibandingkan fisiknya. Kemudian bagaimana kemarin Iron Dome dilumpuhkan, itu kan dengan cara elektronika juga sebenarnya.

Kalau kita tidak mandiri dan selalu pakai teknologi negara lain, bisa jadi teknologi itu gampang dirusak juga. Kedua dengan kondisi geopolitik yang memanas dan eskalatif ini itu kan sudah banyak negara yang tidak lagi ekspor alutsistanya lagi, kemudian kalau dapat di pasar juga harganya kan mahal sekali. Maka kata kuncinya adalah kemandirian.

Teknologi berkembang, sekarang kan sudah masuk ke era AI hingga potensi serangan jarak jauh, apakah DEFEND ID sudah persiapkan hal ini, strateginya bagaimana?

Jadi gini kalau kita berkaca dengan teknologi maju atau beyond teknologi maju, parameternya itu adalah rudal missile hypersonic, itu adalah rudal kecepatan tinggi, kalau supersonic itu kan 3-4 kali kecepatan suara, which is masih bisa di-detect sistem radar, mungkin masih bisa di-intercept. Kalau hypersonic itu kan dia kecepatannya 10-20 kali kecepatan suara. Mungkin masih bisa di-detect tapi tak mungkin ada waktu untuk intercept.

Kemudian AI, kalau dilihat perang Ukraina dan Rusia dia pakai drone kamikaze, which is sudah AI-Based. Dia itu menemukan sasaran sendiri, dianalisa sasaran itu, kemudian baru menabrakkan diri. Itu sudah di luar kendali operator semuanya.

Ketiga bicara soal space, ini kan sesuatu yang bukan wilayah nasional sebuah negara. Jadi kalau dilihat di atas stratosfer, bukan ruang udara, itu ruang angkasa. Di atas 100 kilometer itu kan sudah ruangan internasional dan tak bertuan, itu adalah ruang penguasaan yang baru, ketika satelit dipasangin sesuatu yang menimbulkan kerusakan juga maka harus dihadapi dengan satelit juga. Ini sesuatu yang harus kita capai, uangnya tidak sedikit.

Komitmen pemerintah seperti apa?

Kalau bicara teknologi itu ada 3 aspek, satu research, development and innovation, kedua talent development-nya membangun manusianya, ketiga baru fabrication-nya, manufakturnya, bicara membuatnya secara masif. Tentunya ini tak lepas dari peran dan keterlibatan pemerintah.

Kalau research and innovations, technology development, pemerintah sudah ada BRIN, dan arms-arms yang lain, ini juga harus diperhatikan sehingga kami industrinya akan lebih kuat lagi. Jadi tidak selalu kami manutnya sama prinsipal di luar, juga harus ada sesuatu yang dikembangkan di dalam negeri. Kalau nyemplung ke dunia baru yang penting tahu roots-nya ya gampang sekali.

Ceritanya bagaimana bapak bisa masuk ke industri pertahanan seperti apa, ngobrolnya sama Pak Prabowo sebagai Menteri Pertahanan di 2020 kemarin itu bagaimana?

Pak Prabowo itu orangnya detil, jadi bukan cuma konsepnya dan strateginya juga detail-nya, beliau ini seringkali ajak kami diskusi. Jadi ada satu atau dua proyek kita dipanggil mendadak dan sudah kita bicara detil. Jadi penyatuannya itu tidak hanya di strategic level, tidak hanya vision level, dan tidak hanya di concept level, itu detail down to technical.

Misalnya, beliau ini memberikan pandangan berharga sekali buat kami, ketika kita milih teknologi di luar dia meminta kita lihat aspek geopolitiknya, jangan sampai kita ketergantungan sama negara yang dia lebih pragmatis ke kita. Dilihat geopolitiknya bagaimana, ideologisnya bagaimana. Beliau juga berikan insight dengan hal baru, misalnya dengan wilayah laut cukup luas dan jarak antar pulau tidak jauh dan dekat-dekat, maka yang kita butuhkan bukan kapal frigate ke atas tapi yang dibutuhkan kapal serbu ringan.

Nampaknya beliau paham sekali semuanya ya?

Sangat paham sekali, jadi memang enak sekali ngobrol sama beliau ini. Pasti ada konklusinya, pasti ada keputusannya.

Apa yang mau kita jangkau terlebih dahulu pada konsep pertahanan, apakah karena kita punya wilayah laut luas akan fokus ke sana dulu?

Jadi membangun pertahanan kita ini adalah pengamanan teritorial dulu, jadi ada tiga ya, ruang udara, garis pantai dan garis batas darat. Ruang udara di Indonesia ini cukup terbuka, garis pantai kita juga cukup luas, bahkan kita adalah negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Which is kalau kita lihat rasio ketersediaan alat pertahanannya masih jomplang sekali. Maka menurut saya itu harus di-catch up dulu, menjaga udara dan menjaga maritim atau lautannya dulu.

Tidak bisa menunggu industri dalam negerinya memenuhi itu. Makanya kebijakan pak Prabowo sebagai Menteri Pertahanan ini tidak menunggu bahwa PT DI siap produksi pesawat tempur dulu. Mau nggak mau kita impor dari luar. Sementara dengan kontrak impor ini industri dalam negeri kita akan maksimalkan local content dan offset-nya, sambil kita catch up transfer of technology-nya lagi. Itu ada Undang-undangnya, UU 16 2012 kalau tidak salah, jadi setiap kontrak pengadaan luar negeri maka local content dan offset-nya itu harus sekian persen diberikan kepada industri dalam negeri.

Ada ngomong masa depan sama Pak Prabowo, misalnya Anda ditawarkan jadi Menteri?

Nggak lah. Kita masih happy di sini.

Anda butuh waktu berapa lama di sini untuk bisa 'tinggal landas'?

Kalau sekarang itu kita ini sudah taxi, untuk beberapa produk sedang taxi. Seperti PT LEN itu sudah banyak kita bisa bikin sesuatu, which is tahun ini sudah kita pasang itu di KRI-KRI. Salah satunya combat system, kemudian ada namanya FCS, Fire Control System, jadi misalnya ada meriam ada canon di situ kemudian ada obyek, radar detect obyeknya, kemudian ada sensor infonya, elektrooptik sama infrared-nya itu dia ikutin. Sistem ini dia prediktif, ini arahnya ke mana, trajectory ke mana, kecepatan berapa, kemudian dia nembak. Itu udah AI-Based juga.

PT PAL beberapa waktu lalu juga sudah buat kapal untuk Filipina?

Itu jenis landing dock, bukan untuk kapal perang, tetap di industri pertahanan, cuma klasifikasinya untuk logistik untuk support. Kemudian kita bangun frigate di PT PAL, itu yang pertama kita bangun sendiri setelah 70 sekian tahun.

Ini frigate terbesar juga jadi 143 meter panjang haluannya juga. Dia frigate cukup kompleks juga, dia anti serangan udara, anti serangan permukaan, dan anti kapal selam. Kelasnya itu kalau di luar itu di Jepang itu Mogami, di Inggris itu Hero Head, di Italia itu saya lupa. Standarnya sudah seperti itu, meskipun memang komponennya belum semua dalam negeri, misalnya sistem FCS dari kita tapi missile-nya masih kita beli dari luar. Cuma kita one day harus bisa kita bikin itu.

Apakah sudah ada rencana untuk bikin misil itu?

Sangat. Cuma itu kan termasuk layer 1 itu, kita lihat prioritas tadi dulu. Jadi misalnya bahan bakunya apa sih roket ini, bahan bakarnya kan propelan, maka kita harus bisa produksi propelan dulu. Ini tugas Dahana produksi ini. Strukturnya, siapa yang ahli? Itu adalah Pindad, hulu ledaknya Dahana dan Pindad. Control system-nya itu LEN. Mesin prokursinya ada di PT DI. Jadi bisa bikin missile bersama-sama. Ini ada di roadmap kita, untuk bikin simple rocket sudah bisa.

Kita itu ditugasi sama pemerintah untuk bangun 10 teknologi kunci industri pertahanan, salah satunya adalah roket. Kita sudah bisa luncurkan tahun lalu, kolaborasi Dahana dan Pindad. Tapi ini unguided, jadi dia tak punya guided-nya. Kami godok saat ini rudal nasional, RN. Ini libatkan 5 perusahaan untuk bangun teknologi itu.

(hal/eds)

Hide Ads