Peta Jalan Mengembalikan Kejayaan Perikanan Indonesia

Eksklusif Menteri KP, Sakti Wahyu Trenggono

Peta Jalan Mengembalikan Kejayaan Perikanan Indonesia

Retno Ayuningrum - detikFinance
Rabu, 11 Des 2024 08:05 WIB
Jakarta -

Indonesia dianugerahi dengan mempunyai luas laut yang besar. Kondisi geografis inilah yang membuat Indonesia disebut sebagai negara maritim.

Dengan hampir luas wilayah 70% lautan, Indonesia mempunyai sumber daya kemaritiman yang melimpah. Namun, belum dikelola dan dimanfaatkan secara optimal.

Berdasarkan catatan detikcom, Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Sakti Wahyu Trenggono pernah mengungkapkan beberapa tantangan dalam mengelola sekaligus menjaga laut Indonesia. Salah satunya, baik masyarakat pesisir hingga pengusaha belum peduli menjaga ekosistem laut dalam aktivitasnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hal ini dapat dilihat dari nelayan yang masih menggunakan alat-alat tangkap tradisional yang dapat merusak ekologi. Selain itu, nelayan juga masih menangkap ikan secara tidak terukur sehingga berdampak pada keberlanjutan ekosistem laut. Bahkan masih banyak pihak yang memanfaatkan ruang laut Indonesia untuk kepentingan reklamasi dan pariwisata.

Kepada detikcom, pria yang akrab disapa Trenggono mengungkapkan sejumlah strategi untuk membangkitkan kembali sektor kelautan dan perikanan Indonesia. Berikut cuplikan lengkap wawancaranya.

ADVERTISEMENT

Gimana rasanya jadi menteri lagi di bawah kepemimpinan yang berbeda, Pak?

Ya, ini sebenarnya lebih ke arah ini sesuatu yang ideal ya, jadi boleh dibilang kayak panggilan. Dulu kan sebetulnya ketika saya ditugaskan Pak Presiden Jokowi untuk menjadi Wakil Menteri Pertahanan satu tahun, saya terima karena itu adalah sesuatu yang menarik buat saya untuk terutama bagaimana mengembangkan industri pertahanan dalam negeri. Lalu satu tahun dua bulan saya mendampingi Pak Prabowo, kemudian ditugaskan lagi sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Hampir satu tahun kurang lebih saya belajar tentang kelautan dan perikanan ya, jadi empat tahun sampai dengan sekarang ini, empat tahun lebih satu bulan lah.

Berarti di masa periode Pak Prabowo sekarang sudah masuk mau dua bulan, ya?

Mau masuk dua bulan. Jadi sebenarnya setelah empat tahun itu, jadi saya sudah tahu persis apa yang harus dilakukan dan apa yang harus dikerjakan. Dan Kelautan dan perikanan mau menuju kemana sudah clear gitu.

Salah satunya juga ada delapan misi besar dalam Asta Cita, yaitu swasembada pangan. Ini juga KKP punya peran besar, dan ini terkait dengan strategi untuk mengejar swasembada pangan yang kabarnya dimajukan lagi jadi 2027. Dari sisi KKP, seperti apa strateginya?

Ya tadi kan, tadi ditanya tuh rasanya gimana dengan dua kepemimpinan yang berbeda. Rasanya sih mirip ya, cuma kalau Pak Jokowi dulu ke arah hilirisasi, sumber daya alam. Kalau Pak Prabowo sekarang lebih menekankan kepada, karena hilirisasi kan sudah ya, artinya sudah berjalan dan kita terus merambah ke sektor-sektor yang lain kan gitu. Nah, sekarang di Pak Prabowo ini lebih ke arah bagaimana ketahanan pangan kita kuat, jadi artinya swasembada pangan.

Kalau kita bicara pangan kan ada tiga, ada karbohidrat, ada lemak, ada protein. Protein ada dua, protein dari hewani, protein dari perikanan. Nah, saya kebetulan kan menangani bidang kelautan dan perikanan. Satu sisi menjaga ekologi laut tetap harus baik, karena itu kan menyangkut soal masa depan. Masa depan umat ya, bukan hanya bangsa Indonesia, tapi juga umat, khususnya kepada bangsa Indonesia.

Lalu, yang kedua adalah tekanan ekonomi juga dari sisi lainnya. Tekanan ekonomi, jadi karena ekonominya, manusianya terus meningkat kan ekonominya juga harus meningkat. Nah, sementara daya dukung alam, khususnya laut ya segitu, cuma segitu. Ini bagaimana kita mengolah, menyeimbangkan antara ekologi dan ekonomi.

Nah, terkait dengan soal swasembada pangan sebagai satu kekuatan ketahanan kita terhadap pangan, khususnya di sektor protein, kita mendukung. Karena domain-nya di situ, pangan kan tiga hal tadi, soal karbohidrat, beras ini oleh Menteri Pertanian sekarang sedang genjot all out di seluruh wilayah-wilayah persawahan, sekaligus membuka lahan persawahan baru. Itu satu sisi.

Indonesia Timur itu ya?

Ya di antaranya Indonesia Timur, nanti revitalisasi yang di Kalimantan Tengah, dan di wilayah-wilayah lain yang lalu di-improve lah supaya produksi pertanian kita, produksi padi kita meningkat. Dengan demikian karbohidratnya kita cukup kan gitu ya. Lemak kan ada perkebunan, ada perkebunan sawit gitu ya, yang digunakan untuk kepentingan lemak.

Tapi kan itu jumlahnya mungkin juga tidak besar untuk kepentingan lemak. Selisihnya dikembangkan untuk energi, seperti itu B35, B100, dan lain sebagainya, ya saya tidak ikutin di situ. Tapi yang terakhir soal protein, karena menjadi penting. Kalau makan karbohidrat, proteinnya nggak ada kan repot. Nah kita secara neraca, kan kalau dari sisi protein kita cukup kuat ya. Import kita sedikit sekali, cuman kisaran kira-kira US$ 700 juta. Sementara ekspor perikanan kita di rata-rata US$ 5,5 miliar.

Komoditas terbesarnya apa?

Udang, tuna, cakalang, cumi, sotong, gurita, dan beberapa ikan lain ya, yang kecil-kecil tapi kalau dikumpulin juga cukup besar. Itu menjadi sebuah andalan kita, yang ekspornya cukup tinggi. Dan kemudian produksi kita, kalau produksi tangkap itu kira-kira sekitar 8 juta ton. Sementara produksi budidaya, untuk ikannya ya, jadi rumput laut dipisahkan dulu nih. Budidaya itu sekitar 5 juta ton. Jadi total produksi untuk ikannya 13 juta ton, ditambah dengan rumput laut 9 juta ton. Jadi 24 juta ton kurang lebih ya.

Jadi untuk diekspornya sebagian besar ke negara mana?

Kalau ikan tadi terhadap 4-5 komoditas itu yang paling besar ke Amerika. Amerika, China, Jepang, dan beberapa negara Eropa. Itu ekspornya. Tapi saya mau ceritakan bahwa ketahanan protein, yang paling tinggi itu kan protein dari ikan. Karena dia ada kandungan omega-3, kandungan omega-5, omega-6. Kemudian saya bisa katakan sumber protein dari ikan ini yang paling tinggi, paling bagus, dan kemudian paling murah. Nah tinggal cara mengolahnya.

Kalau di Indonesia Timur kan segala jenis kan tidak susah. Kalau di wilayah-wilayah tertentu seperti di Jawa, di Sumatera misalnya begitu, itu butuh yang selektif. Ada ikan darat juga, ikan air tawar.

Inisiasinya akan seperti apa untuk di wilayah yang mungkin mayoritas bukan di kawasan pesisir, akan seperti apa nanti skemanya?

Kalau di Jawa Barat misalnya, tematik di Jawa Barat itu suka dengan ikan-ikan air tawar. Seperti nila, gurame, terus kemudian ikan-ikan mujair. Kalau di Jawa Tengah itu lele. Kalau di Jawa Timur campuran, tapi lebih banyak juga ikan laut. Kalau di Indonesia Timur, ikan laut semua, dan semuanya cukup memadai.

Ini juga salah satunya dari swasembada pangan ini untuk mendukung program makanan bergizi gratis juga ya? Nah, ini juga nantinya akan seperti apa? Mulai dari hulu hingga ke hilir, program makanan bergizi gratis dari perspektif Kementerian Kelautan dan Perikanan, akan seperti apa?

Jadi gini, kita kan punya lima roadmap perencanaan jangka panjang di Kementerian Kelautan dan Perikanan itu. Ada lima kebijakan ekonomi biru kita sebutnya.

Yang pertama soal pengelolaan konservasi, wilayah konservasi. Kita ingin memperbesar kawasan konservasi hingga mencapai 30 juta hektar, sampai dengan tahun 2045.

Lalu, penangkapan ikan di laut harus terkontrol dan terukur. Itu PP Nomor 11 Tahun 2023 sudah lahir, jadi penangkapan ikan di laut itu ke depannya nggak sebebas-bebasnya gitu ya. Tapi ya tentu yang sudah siap untuk ditangkap. Yang kecil nggak boleh. Kalau sekarang pun main digaruk aja semuanya. Jadi tidak sustain gitu.

Nah, kemudian yang ketiga, itu budidaya kita arahkan untuk menjadi core competence Indonesia. Jadi, kalau di Vietnam itu budidaya ikan itu produksinya sampai 25 juta ton setiap tahun. Kita masih baru 5 juta, padahal kita negara maritim. Nah, itu salah satunya yang kita mengejar ketertinggalan. Kalau kita bisa mencapai yang tinggi, rasanya sih mestinya kita menjadi paling bagus.

Keempat, itu pulau-pulau kecil, pengawasan pemanfaatan dan pengawasan pulau kecil.

Kelima, pembersihan sampah plastik di laut itu yang jadi penting juga ya. Tapi yang saya ingin sampaikan dalam hal penyediaan pangan khususnya protein. Apalagi dikaitkan dengan makan bergisi gratis. Ada 30 ribu rencana, ada 30 ribu dapur. Setiap dapur melayani 3 ribu siswa seluruh Indonesia. Nah itu kan sangat luar biasa. Belanjanya menurut Kepala Badan Gizi yang disampaikan ke saya, satu hari itu Rp 1,2 triliun. Jadi kalau Senin-Jumat berarti kan Rp 6 triliun itu uang yang di-spending.

Nah, kalau ini kemudian beredar di seluruh masyarakat, di desa-desa. Satu desa katakan ada 3 ribu siswa di situ, ada 30 ribu desa. Itu ekonominya kebayang, 'kan? Kalau itu kemudian kita mendorong untuk membangun, kemarin kita dengan Menteri Desa salah satunya adalah membangun misalnya desa perikanan. Jadi misalnya desa gurame, desa lele, desa patin, desa nila, misalnya begitu. Harapannya supaya dia bisa dibeli oleh dapur itu, lalu kemudian digunakan untuk kepentingan pemenuhan protein setempat.

Tapi sisi lain kita juga dari sisi negara, pemerintah, kita ingin membangun kawasan budidaya yang luas, yang masif. Nanti yang dikelola oleh korporasi, lalu produknya dalam kuantum atau dalam kuantiti yang besar, yang bisa diolah ke proses hilirisasi berikut, bisa menjadi bakso ikan, bisa menjadi fishball, dan lain sebagainya. Taste-nya dan lain sebagainya itu bisa secara umum bisa diterima, dan kandungan proteinnya tinggi.

Terkait dengan hilirisasi, jadi produk perikanan juga nantinya akan dihilirisasi. Perkiraan untuk nilainya sendiri, akan meningkatnya bisa sampai berapa?

Begini, nilainya pasti besar lah ya, tapi yang pasti begini, angka satu komoditi saja misalnya, sebut tilapia yang kita mau kembangkan di wilayah Pantura. Tilapia itu targetnya kita ingin memproduksi 4 juta ton. Kalau sampai 4 juta itu gimana? Tidak pernah berpikir kalau dia sudah menjadi skala sebesar itu, berarti menjadi skala industri.

Target berikutnya adalah di proses. Bisa menjadi, hilirisasi pasti otomatis akan masuk. Bisa bikin fishball, bisa bikin fillet, bisa diekstrak menjadi berbagai macam. Sama seperti kayak di Kalimantan Selatan kan ada ikan gabus yang diekstrak, kemudian hasilnya bisa digunakan untuk kepentingan farmasi, tapi dagingnya bisa untuk kepentingan protein konsumsi.

Dengan nilai protein yang sangat tinggi. Lalu kemudian tulang-tulangnya kan bisa menjadi tepung ikan, yang bisa digunakan. Jadi siklusnya terus saling terkait, dan ini yang kita sebut dengan ekonomi biru atau ekonomi yang sustain. Tapi intinya begitu. Jadi soal hilirisasi tidak akan pernah masalah pasti, apabila hulunya kuat. Kalau hulunya kuat, produksinya melimpah, dia mau berubah menjadi satu inovasi apa aja, untuk menciptakan nilai tambah tidak pernah masalah.

Soal budidaya ikan, ini juga salah satunya dari KKP ada budidaya ikan tuna ya. Nah, mungkin boleh dielaborasi, karena mengingat juga saat ini di perairan jumlah ikan tuna juga semakin sedikit ya. Dari KKP juga concern ke budidaya tuna. Boleh dielaborasi?

Ya jadi gini ya, tuna itu kan secara dunia ada batasan. Di beberapa negara mendapatkan kuota, ada batasnya. Indonesia itu kira-kira sekitar 1.200 ton satu tahun. Lalu negara-negara lain seperti Australia itu sampai dengan 6.000 ton. Terus kemudian Turki itu ya 5.000-6.000 ton.

Nah tuna ini satu komoditas yang sangat strategis, karena dia value atau nilainya kan tinggi sekali. Dan kemudian dia di-shasimi dan seterusnya dengan berbagai macam model. Khususnya Jepang yang menginisiasi itu kan.

Nah di beberapa negara, tapi tangkapan di Indonesia, artinya bisa kita sebut sebagai satu tangkapan ilegal ya. Kenapa? Karena kita cuma diperbolehkan 1.200 ton sebetulnya. Tapi sejujurnya dari data yang kami dapatkan itu kira-kira sekitar 340.000 ton. 340.000 ton kan angka yang sangat besar gitu.

Ada tiga jenis tuna di kita itu, yellow fin, mata besar atau big eye, terus kemudian yang terkenal adalah blue fin. Ada yang namanya southern blue fin dan pacific blue fin. Jadi, di bagian utara itu ada pacific blue fin, yang bagian selatan itu ada southern blue fin. Nah, kalau di negara maju seperti di Turki, kemudian di Australia itu dia melakukan namanya tuna farming. Jadi yang baby-baby itu digiring masuk ke dalam satu keramba gitu, terus kemudian dikasih makan, sampai kemudian dalam usia tertentu dengan jumlah berat yang tertentu.

Di Turki itu sampai 200 kilogram bahkan, 200-230 kilogram, besar-besar gitu. Itu di Turki ya, di Izmir. Itu hasil farming. Jadi di-feeding, dikasih makan, terus itu sampai sebesar itu. Kalau sudah gitu, baru kemudian dipanen lah istilahnya. Itu fresh kondisinya. Jadi dagingnya tidak rusak dan sebagainya. Kita Indonesia karena juga jumlahnya banyak, kita sudah mulai masuk ke situ.

Jadi kita undang investor dari Turki untuk kemudian masuk di Biak salah satunya. Mereka sudah bawa dua kapal, lalu kemudian sudah membangun keramba, sekarang sedang dalam proses pembangunan. Harapannya tahun depan sudah bisa mulai budidaya, dan kemudian mungkin yang pertama kali di Indonesia untuk tuna farming dilakukan di Biak.

Untuk nilai investasinya?

Sekitar US$ 40 juta.

Harapannya nantinya dari investasi itu akan menghasilkan berapa juta ton tuna dari hasil budidaya ini?

Ya cukup signifikan ya, karena satu keramba saja 2.000 ekor gitu. Nah kalau dia 10 ya, sudah banyak. Itulah salah satu. Itu terobosan sih menurut saya, karena nelayan kita sukanya mancing, pakai handline sama longline gitu ya. Dan itu sebetulnya tidak sustain. Karena kalau longline, handline itu kan disebar dalam jumlah banyak, longline khususnya ya. Dengan cara ini, dengan cara farming kayak gini, ya tentu akan sedikit berbeda.

Ada cara lain selain dari farming? Apakah mungkin bisa juga di dalam kerambanya, misalnya dikembangbiakan di dalam situ?

Seluruh dunia sedang melakukan riset itu. Sedang melakukan riset. Kita bersama Jepang pernah melakukannya di Gondol, Bali, tapi belum berhasil dengan baik ya, karena hasil pemijahannya itu kan kecepatannya 80 km per jam. Jadi nabrak begitu. Nabrak, mati.

Jadi, 'kan dia jadi telurnya terus berubah menetas jadi ikan. Begitu sudah kira-kira sebesar ini, itu mati karena menabrakkan diri ke dindingnya itu. Sekarang belum. Di seluruh dunia belum lah, tapi masih riset terus.

Masih riset ya. Semoga ke depannya Indonesia juga bisa jadi salah satu tempat ya?

Iya harus, harus kita lakukan. Sementara seperti kayak Norwegia saja berhasil melakukan pemijahan salmon. Salmonnya sudah mendunia.

Selain budidaya tuna, kira-kira akan ada agenda budidaya ikan apa lagi ke depannya? Mengingat perairan Indonesia kan juga luas sekali.

Banyak lah. Seperti kayak ikan bubara, ikan kakap putih. Itu kita sudah sangat menguasai di situ. Itu juga yang akan kita kembangkan. Terus kemudian lobster sudah, kita sudah berhasil baik modelling budidaya lobster di Batam. Itu salah satunya mudah-mudahan nanti kita akan bangun juga intens. Jadi nanti budidaya laut, budidaya pesisir itu ikan air payau, lalu budidaya air tawar. Jadi tiga itu ya fokusnya.

Turunan dari ikan-ikan ini juga bisa bikin susu ikan ya? Yang juga masuk ke dalam menu makanan bergizi gratis. Sejauh ini perkembangannya sudah sampai mana terkait dengan susu ikan ini? Kabarnya juga susunya tidak bau amis ya?

Ya, itu sudah di-inovasi ya. Susu ikan ini kan sebetulnya sama aja seperti misalnya kedelai melimpah, lalu diekstrak dan sebagainya, terus kemudian menjadi tepung dan diubah menjadi susu. Nah, di ikan juga sama. Jadi targetnya di situ sebetulnya kita ingin mendapatkan protein yang tinggi dari ikan itu. Di-ekstrak, diproses, dan seterusnya, kemudian menjadi tepung yang halus, dan dijadikan susu.

Kalau di Indonesia Timur makan ikan agak ada bau amis dan sebagainya itu tidak ada masalah dia. Karena sudah terbiasa. Kalau orang daratan seperti saya terasa bau amis. Tapi orang Indonesia Timur, orang laut, kalau dikasih daging juga sama, daging hewan itu kan sama aja. Nah, itulah kemudian inovasinya terus berjalan. Itu yang saya maksud dengan hilirisasi. Jadi inovasi jalan terus lalu kemudian taste-nya juga dimodifikasi, dikasih rasa stroberi, dikasih rasa vanila. Tujuannya supaya orang itu terbiasa, dan so far sampai hari ini bagus. Itu sudah dua tahun kurang lebih.

Targetnya untuk susu ikan ini sendiri Pak nanti akan didistribusikannya ke wilayah mana saja? Mengingat seperti tadi Pak Menteri sampaikan, belum tentu semua suka.

Ya, sekarang mudah-mudahan kalau dibilang semua itu sebagian besar sudah suka. Karena sudah ada rasanya. Saya sih berharap, karena impor susu kita kan tinggi sekali untuk susu yang dari hewan seperti sapi dan sebagainya, dan cenderung mahal. Nah, kalau misalnya pakai susu ikan kita juga sudah tersedia. Jadi, artinya di setiap dapur itu kalau disediakan itu intinya ready dan siap sekali.

Perkiraan akan ada dampaknya juga tidak nih, untuk mungkin industri perikanan di daerah-daerah? Apakah nanti ke depannya dari KKP terkait dengan susu ikan ini juga akan bekerja sama, mungkin dengan tambak-tambak lokal?

Sudah pasti. Karena sumber bahan bakunya kan dari mereka. Jadi justru yang ikan-ikan yang jelek itu diproses menjadi seperti itu. Kalau yang bagus dagingnya yang bisa langsung diolah dan dimakan. Yang lainnya bisa diproses seperti susu itu. Jadi nilai proteinnya tetap ada dan tinggi.

Terkait dengan garam, pemerintah juga punya target untuk stop impor garam konsumsi di tahun 2025, dan garam industri di tahun 2026?

Jadi gini ya. Kita ini negara kepulauan, negara maritim kan. Tapi kan garam kita itu masih impor. Garam konsumsi itu beberapa dipenuhi dari dalam negeri. Terutama oleh PN Garam, PT Garam ya. Tapi kualitasnya juga kan selalu NACL-nya itu. Garam konsumsi kan NACL-nya itu minimal 95%, Kalau garam industri itu harus 97% minimal.

Nah saya udah keliling ke Indonesia Timur, di antaranya adalah di Nusa Tenggara Timur. Nusa Tenggara Timur itu masa panasnya itu sampai delapan bulan. Jadi itu sangat bagus sekali untuk dikembangkan untuk industri garam. Dan menurut saya tinggal kepedulian atau dorongan dari pemerintah saja untuk melakukan pembangunan modeling industri pergaraman. Jadi kalau misalnya, kan negara kita itu kebutuhan garam kira-kira 4,9 juta ton. 2 juta itu dipenuhi dari dalam negeri, sementara sisanya itu adalah dari luar, impor. Nah rata-rata yang impor itu adalah untuk kepentingan industri. Seperti kayak pabrik roti, kecap, atau mungkin di pabrik kaca, dan lain sebagainya. Kan tetap butuh garam.

Nah itu dengan melihat potensi dan kondisi di lapangan di Indonesia, saya meyakini kita bisa. Jadi segala hal sebetulnya, saya sudah lapor kepada Pak Presiden, segala hal yang bisa kita lakukan substitusi untuk kita tidak harus impor, ya itu akan kita lakukan. Salah satunya garam.

Untuk wilayahnya di Indonesia Timur itu tadi, perkiraan apakah sudah ada ancang-ancang? Biayanya berkisar di angka berapa?

Kalau biaya ya, mau membangun 4,5 juta ton misalnya itu cukup besar. Tapi kan kita tidak harus seperti itu. Garam yang diproduksi oleh rakyat, masyarakat 'kan jalan terus. Kita harus membangun satu model untuk kepentingan yang bisa digunakan industri. Di daerah Nusa Tenggara Timur itu, NACL-nya bisa di atas 97%. Jadi, kalau di atas 97% kan industri bisa menggunakannya.

Nah, di sana ada sporadis saja gitu. Ini yang saya kira mesti dibangun dalam bentuk skala industri. Kalau dia dalam bentuk skala industri, mungkin inisiasinya itu dari pemerintah, sekarang ini Kementerian Kelautan Perikanan. Nanti kalau sudah jadi di running oleh BUMN pangan, di antaranya yang berkaitan dengan kelautan dan perikanan, BUMN perikanan atau garam. Kalau sudah begitu, maka tentu harapan kita sebetulnya pada yang tadi disebutkan, di 2027 garam industri harusnya sudah tidak perlu impor lagi. Catatannya, selama yang dukungan untuk kepentingan pembangunan di daerah NTT, modeling-nya itu harus bisa berjalan.

Ada kendala spesifik tidak terkait dengan mengejar target, untuk garam konsumsi saja ya terutama, mengingat 2025 sudah sebentar lagi?

Secara prinsip sih tidak. Lebih ke arah pembiayaan, jadi pembiayaannya, skemanya harus kita buat. Bagaimana dia tidak seperti pembiayaan APBN murni, yang di-deploy, terus hilang gitu. Kita ingin semacam pendekatan investasi. Jadi, diinvestasi tapi inisiasinya oleh pemerintah. Nanti dalam kurun tertentu yang bagus segala macem, begitu dia sudah running, dia bisa jalan sendiri gitu.

Tadi berarti kebutuhan garam untuk Tanah Air 4,9 juta ton. Untuk target dari pergerakan garam ini, di 2025 paling dekat dulu saja. Estimasi di angka berapa?

Saya kira di 2025 kalau memproduksi 800 ribu ton tambahannya, katakanlah 1 juta ton, mesti harusnya bisa.

Optimistis ya?

Optimis. Jadi, existing 2 juta tambah itu jadi 3 juta. Tinggal satu tahap lagi sudah selesai itu, dan wilayahnya cukup.

Ini juga terkait dengan KKP. Ada penandatanganan kerja sama dengan Tiongkok ya? Boleh dielaborasi untuk kerja samanya apa saja?

Yang bidangnya dengan saya tentu kerja sama kemaritiman dan perikanan. Jadi ada lagi kemaritiman juga, tapi arahnya misalnya ke migas, atau ke yang lain. Kalau ke tempat saya itu tentunya kemaritiman satu hal, terus yang kedua adalah untuk seperti aquaculture, di sektor perikanannya, kemudian di perikanan tangkap, hilirisasi juga di situ, terus rumput laut. Berkaitan dengan itu.

Implementasinya nanti apakah akan bekerja sama juga dengan nelayan-nelayan lokal dalam pengolahan ikannya, atau akan seperti apa?

Nelayan-nelayan jadi bagian penting dalam proses produksi tentu, untuk mendukung industri itu sendiri. Itulah tugas negara, tugas pemerintah, untuk kemudian memperkuat posisi mereka. Jadi di antaranya dengan memberikan bantuan, kemudian bantuan-bantuan kapal, alat tangkap dan seterusnya selain pendidikan juga kemudian memudahkan akses moda kerja.

Ini juga mendukung hal ketahanan pangan ya. Belum lama ini, Pak Prabowo juga mengundang investor asing dalam hal 40 ribu kapal penangkap ikan. Ini bagaimana?

Sebenarnya bukan 40 ribu ya, mungkin salah kutip. Tetapi kalau 40 ribu, karena begini, itu statement beliau ya. Idealnya kalau menurut saya, seluruh kapal ikan kita setiap hari beredar lebih dari 40 ribu di laut Indonesia. Itu hampir 99,9% itu kapal kayu, jadi kalau beliau ke arah sana mungkin lebih ke arah merevitalisasi atau mengubah dari kapal kayu menjadi kapal besi.

Sebenarnya mungkin bukan ditambah ya, tetapi menggantikan kapal-kapal kayu?

Ya, tetapi ada juga yang dibangun menjadi satu model penangkapan yang hulu-hilir. Mungkin itu kira-kira sekitar 2000-an digunakan untuk kepentingan itu, selebihnya menggantikan. Kira-kira begitu.

Untuk memediasi nelayan-nelayan lokal terkait dengan kerja sama ini, akan seperti apa nantinya?

Kita bisa deteksi di kampung ini mereka biasa tangkap apa, contoh di Biak, kita buatkan kampung nelayan modern lengkap terintegrasi, mereka menggunakan kapal dengan 1-5 gross ton (GT). Kita berikan bantuan sampai 70 kapal, itu satu kapal 5 GT bisa 3-4 orang, itu menangkap tuna. Lalu kita siapkan cold storage di situ, siapkan pabrik es di situ.


Hide Ads