Pembiayaan proyek dilakukan dengan skema International Project Financing melalui sindikasi Japanese Bank for International Cooperation (JBIC) dan Mizuho Bank Tokyo dengan masa pinjaman yang panjang, yaitu 19 tahun.
Proyek PLTA Rajamandala tidak mendapatkan Jaminan Kelayakan Usaha (JKU) dari pemerintah. Jaminan justru berasal dari Bank Dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nur mengatakan, dengan skema bisnis seperti ini, mencerminkan adanya perbaikan di tingkat kepercayaan dari lembaga pembiayaan internasional terhadap bisnis ketenagalistrikan di Indonesia.
"Tanpa keterlibatan pemerintah secara langsung dan untuk ke depan diharapkan cara ini dapat digunakan untuk proyek kelistrikan lainnya, sehingga pembangunan kelistrikan dapat berjalan lebih cepat lagi" ungkap Nur
Pembangunan PLTA Rajamandala akan menelan biaya sekitar US$ 150 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun. Dari jumlah itu, 2 bank Jepang membiayai 75% dan sisanya dipenuhi dari ekuitas pemegang saham, yaitu Putra Indotenaga (51%) dan KPIC Nederland (49%). Masa konstruksi PLTA Rajamandala diperkirakan selama 33 bulan, yang dilaksanakan dengan pola full turnkey dan dijadwalkan akan mulai beroperasi secara komersial pada Mei 2017.
"Untuk tahap awal, skema ini masih digunakan untuk proyek dengan skala US$ 200 juta, namun ke depan tidak menutup kemungkinan akan digunakan juga pada proyek dengan skala yang lebih besar lagi," kata Nur.
PLTA Rajamandala akan dibangun di sungai Citarum, desa Cihea Kecamatan Haurwangi Kabupaten Cianjur dan akan menghasilkan energi listrik rata-rata sebesar 181 Giga Watt hour (GWh) per tahun atau setara dengan produksi listrik yang dihasilkan oleh 70 juta liter BBM.
PPA untuk proyek ini telah ditandatangani pada 20 Agustus 2013 untuk masa kontrak 30 tahun masa operasi, dengan Skema BOOT (Bulit-Own-Operate-Transfer) dimana setelah masa kontrak berakhir PLTA Rajamandala akan diserahkan kepada PT PLN (Persero).Β
(rrd/dnl)