3 Hal Ini yang Bikin The Fed Begitu Sakti Versi Bank Dunia

3 Hal Ini yang Bikin The Fed Begitu Sakti Versi Bank Dunia

- detikFinance
Rabu, 18 Mar 2015 18:30 WIB
Foto: Reuters
Jakarta - Saat ini, bisa dibilang bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve/The Fed menjadi penentu nasib perekonomian global. Apa yang dilakukan, bahkan dikatakan, oleh The Fed seakan menjadi sabda yang mempengaruhi pasar keuangan seluruh dunia.

Misalnya hari ini, di mana The Fed akan melakukan pertemuan untuk membahas arah kebijakan moneter ke depan. Bursa saham maupun komoditas dunia menjadi kurang bergairah, karena harap-harap cemas apa kebijakan yang akan dilakukan The Fed, terutama soal kenaikan suku bunga.

Mengapa The Fed bisa begitu perkasa?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Karena itu Amerika. Negara dengan ekonomi terbesar di dunia," kata Ndiame Diop, Kepala Ekonom Bank Dunia untuk Indonesia, kala ditemui di Energy Building, Jakarta, Rabu (18/3/2015).

Menurut US Bureau of Economic Analysis (BEA), perekonomian AS yang diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB) per 2014 mencapai US$ 17.418,3 triliun. Bila dirupiahkan, nilainya sekitar Rp 226.437.900.000.000.000.000. Entah bagaimana cara menyebutkan angka ini, tapi yang jelas sangat jauh dibandingkan PDB Indonesia yang Rp 10.542,7 triliun.

Faktor kedua, lanjut Diop, dolar AS saat ini adalah mata uang global yang menjadi cadangan devisa dunia. Dolar AS bisa diterima oleh hampir seluruh negara.

"Dolar adalah international currency. Banyak perdagangan di dunia memakai dolar, banyak negara yang menggunakan dolar sebagai reserve," tutur Diop.

Ketiga, tambah Diop, keputusan The Fed untuk menaikkan bunga akan sangat berpengaruh terhadap pasar. Ketika suku bunga di AS naik, maka investasi di Negeri Paman Sam tentu akan semakin menarik.

Sekarang juga instrumen dolar AS seperti obligasi pemerintah (US Treasury Bonds/Bills) sudah dianggap sebagai instrumen paling aman alias safe haven. Apalagi kalau suku bunga naik.

"Kemudian kalau suku bunga di satu negara hampir mendekati 0%, maka itu akan merusak perekonomian negara itu. Dalam beberapa poin, kebijakan harus dinormalisasi," ucap Diop.

(hds/hen)

Hide Ads