"Saya ingin menjadikan negara dengan 17 ribu pulau dan 30 ribu petani garamnya ini swasembada garam," kata Susi di kantornya kemarin.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kebutuhan garam konsumsi di 2014 adalah 1,5 juta ton, dan garam industri sebanyak 2 juta ton, sehingga total kebutuhan garam 3,5 juta ton. Sejak 2012, swasembada untuk garam konsumsi sudah tercapai, sehingga hanya garam untuk kebutuhan industri yang masih perlu impor.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, di tengah upaya KKP tersebut, Kementerian Perdagangan justru menerbitkan izin impor garam hingga 1,506 juta ton per 30 Juni 2015. Menteri Susi pun meradang, berikut ungkapan kegeraman Menteri Susi seperti dirangkum detikFinance.
1. Buka-bukaan Soal Impor Garam
|
Susi menceritakan soal kekesalannya setelah menggelar rapat dengan pihak Kementerian Perdagangan, dan para pelaku importir garam. Hasilnya, tak ada kesempatan dari pelaku importir garam untuk mengurangi kebutuhan garam impornya, dan mengutamakan garam lokal.
"Kita juga sudah meeting dengan kemendag, asosiasi yang menghabiskan waktu 6 jam diakhiri kekecewaan karena tidak ada good will dari pihak perusahaan (importir). Kelihatannya importir keberatan," kata Susi dengan nada kesal.
Susi mengatakan, pada pertemuan waktu itu tidak ada kesepakatan dan tak ada niatan dari importir untuk menyerap garam lokal. "Mereka berprinsip kualitas garam petani tidak bagus. Industri tetap bisa impor," katanya.
2. Putar Video Rapat 6 Jam dengan Importir
|
Susi membahas impor garam di Kantornya sore ini, dia memutar video yang menayangkan rapat dengan para importir garam dan pejabat Kementerian Perdagangan sampai 6 jam. Namun, tak dijelaskan kapan dan di mana rapat itu berlangsung.
Dalam tayangan video tersebut juga tampak mantan pejabat Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag Partogi Pangaribuan, yang telah non aktif karena tersangkut kasus dwelling time.
Usai memutar video tersebut, dengan nada kesal Susi mengatakan bahwa rapat tersebut berakhir tanpa hasil dan hanya menghasilkan kekecewaan bagi dirinya. Sebab, tidak ada itikad baik dari para importir untuk mendukung program swasembada dengan mengurangi impor garam.
"Kami sudah meeting dengan Kemendag, importir, asosiasi yang menghabiskan waktu 6 jam diakhiri kekecewaan karena tidak ada good will dari pihak perusahaan (importir)," kata Susi kecewa.
3. Anggaran Rp 600 Miliar Sia-sia Karena Garam Impor
|
Gara-gara adanya garam impor, harga garam di tingkat petani anjlok. Padahal, tahun ini pemerintah sudah mengalokasikan dana hingga Rp 600 miliar untuk program pemberdayaan petani garam rakyat. Anjloknya harga garam bakal membuat petani malas untuk produksi garam di saat musim kemarau yang bagus untuk produksi.
Dalam APBN-P 2015, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menganggarkan Rp 258 miliar untuk memberdayakan petani dan meningkatkan kualitas garam petani. Kementerian BUMN juga menyuntik PMN Rp 300 miliar untuk PT Garam melalui dana Penyertaan Modal Negara (PMN). Menurut Susi, anggaran Rp 600 miliar terbuang sia-sia akibat impor garam yang tidak terkendali.
"Jadi total Rp 600 miliar untuk penambahan lokasi, pembelian teknologi, penyerapan garam petani. APBN yang kita pakai untuk membuat garam bagus nanti jadi sia-sia," ujar Susi bernada tinggi kemarin.
Banyaknya garam impor tersebut membuat upaya pemerintah untuk memberdayakan petani menjadi sia-sia. Bila demikian, Susi berkelakar, lebih baik anggaran sebesar Rp 600 miliar tersebut dibagikan saja kepada petani garam.
"Kalau begitu lebih baik tidak ada anggaran pemberdayaan petani di APBN, ya percuma, mending duitnya dibagikan saja ke petani. Petani garam suruh cari kerja yang lain, ganti profesi," katanya berkelakar.
4. Importir Garam Untung Rp 2 Triliun, Petani Rugi
|
Keuntungan yang didapat importir bisa lebih dari 2 kali lipat. Garam garam dari Australia hanya Rp 500/kg tapi bisa dijual sampai Rp 1.500/kg di dalam negeri.
Dengan keuntungan Rp 1.000/kg, total keuntungan para importir setiap tahun mencapai sekitar Rp 2 triliun. Padahal ada 30.000 keluarga petani di Indonesia yang menggantung hidupnya dari usaha tambak garam rakyat. Adanya garam impor, membuat harga garam lokal kualitas 1 (K1) yang seharusnya Rp 750/kg, K2 sebesar Rp 550/kg, dan K3 Rp 400/kg, semuanya jatuh menjadi hanya Rp 300-375/kg.
"Kalau impor 2 juta ton, untungnya Rp 2 triliun. Sangat menggiurkan," ungkap Susi.
5. Akan Bentuk Satgas
|
Satgas ini melibatkan seluruh pemangku kepentingan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai koordinatornya. Hingga terbentuknya Satgas, Susi meminta proses impor garam dihentikan sama sekali. Tujuannya untuk melindungi harga garam petani lokal agar tak jatuh karena garam impor.
"Saya inginnya sampai Satgas ini terbentuk status quo dulu, jangan impor dulu. Satgas terdiri dari asosiasi importir, petani, KKP, dan sebagainya. KKP harus jadi leader karena kita mewakili produsen," ujar Susi.
6. Ada Dirjen Kemendag Tak Setuju Usulan 'Bulog' Garam
|
Namun usulan ini sempat dianggap bakal menimbulkan ekonomi biaya tinggi oleh seorang dirjen di Kementerian Perdagangan (Kemendag). Menurut Susi, usulan ini tidak akan menimbulkan biaya tinggi bila PT Garam mengambil keuntungan yang wajar.
Susi tak menjelaskan siapa dirjen tersebut, namun saat konferensi pers hari ini Susi sempat memutar video yang menayangkan dirinya yang sempat rapat dengan para importir garam dan pihak kementerian perdagangan (kemendag), beberapa waktu lalu.
Dalam tayangan video tersebut juga tampak mantan pejabat Dirjen Perdagangan Luar Negeri (Daglu) Kemendag Partogi Pangaribuan, yang telah non aktif karena tersangkut kasus dugaan suap dwelling time.
Usai memutar video tersebut, dengan nada kesal Susi mengatakan bahwa rapat tersebut berakhir tanpa hasil dan hanya menghasilkan kekecewaan bagi dirinya. Sebab, tidak ada itikad baik dari para importir untuk mendukung program swasembada dengan mengurangi impor garam.
"Bulog saja bisa satu pintu untuk beras, kenapa garam tidak? Kata Dirjen Kemendag nanti ekonomi biaya tinggi. PT Garam ambil untung 50 perak saja, masih murah," kata Susi.
Halaman 2 dari 7