Perang mata uang yang dimaksud adalah negara-negara sengaja melemahkan nilai tukarnya terhadap dolar AS supaya nilai ekspornya bisa meningkat. Hal ini hanya bisa menjadi keuntungan bagi negara dengan eksportir yang tinggi dengan cadangan devisa yang kuat.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Ekspor di Juli lalu sudah melambat, sementara cadangan devisa juga berkurang terus dipakai menahan rupiah supaya tidak terlalu lemah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebab, tambah Anggito, sampai saat ini belum diketahui secara pasti sampai kapan yuan akan dilemahkan oleh bank sentral China. Malah dari kabar yang beredar, euro dan yen juga sedang siap-siap dilemahkan oleh otoritas setempat.
"Sampai kapan (pelemahan yuan) ini kita kan tidak tahu. Ini bisa mengganggu neraca perdagangan dan cadev (cadangan devisa) kita dalam jangka panjang," ujarnya.
Langkah China itu memicu dolar AS naik tinggi, kemarin sempat menembus Rp 13.800. Bank Indonesia (BI) akan semakin kesulitan menjaga rupiah jika dolar terus menguat seperti sekarang ini.
"Saya sarankan menteri keuangan dan gubernur BI untuk berbicara dengan ASEAN Plus Three atau G-20. Bicarakan dengan mereka supaya ada semacam solusi global," ujarnya.
ASEAN Plus Three adalah forum antara negara-negara Asia Tenggara dengan China, Jepang, dan Korea Selatan.
Sementara G-20 adalah forum internasional yang terdiri dari pemerintah dan bank sentral 20 negara dengan ekonomi paling berpengaruh di dunia. Indonesia jadi wakil satu-satunya dari Asia Tenggara.
"Ini harus segera dilakukan, kita (Indonesia) kan anggota aktif. Jadi harus ada solusi bersama, jangan sampai China bergerak seenaknya sendiri," ungkapnya.
(ang/hen)