Padahal pertengahan Desember 2015 lalu, dolar AS sempat mencapai kisaran Rp 14.000. Namun seiring dengan makin besarnya arus modal asing yang masuk, rupiah menguat cukup drastis.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Haryadi Sukamdani menyatakan dengan posisi rupiah sekarang, sebenarnya produk Indonesia masih cukup kompetitif untuk ekspor karena masih di bawah level fundamental nilai tukar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nilai tukar yang di bawah fundamental sebenarnya sangat menguntungkan kalangan pengusaha, khususnya yang produksinya mengandalkan bahan baku lokal, namun penjualannya berorientasi ekspor.
Pengusaha juga bisa menekan harga lebih rendah dibandingkan produk dari negara lain. Strategi ini sangat penting dilakukan, terutama ketika permintaan atas produk tersebut menurun.
Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor Indonesia selama 2015 mencapai US$ 150,25 miliar, sedangkan nilai impor menurun sampai dengan US$ 142,74 miliar. Artinya ada surplus perdagangan sebesar US$ 7,52 miliar.
Meski demikian, Haryadi mengaku ekspor Indonesia masih sangat lemah, dari sisi produk maupun penetrasi pasar. Alhasil, surplus yang terjadi pada perdagangan 2015 lebih dikarenakan penurunan impor, bukan lonjakan ekspor.
"Korelatif itu sebenarnya ada pada seberapa besar kita membuat produk yang bagus dan penetrasi untuk ekspor," ujarnya.
Konsentrasi penetrasi pasar ekspor masih berkutat pada negara-negara Eropa dan AS serta Jepang dan China. Padahal, Asia Tenggara (ASEAN) adalah potensi besar dalam penetrasi pasar.
"Ini harus diubah semua. Benar ekspor jauh-jauh, tapi ada regional kenapa tidak dikuasai. Saya yakin eksportir serius amat garap ASEAN. Ini sekarang Apindo selalu dorong menjadi serius garap pasar ASEAN," pungkas Haryadi. (mkl/feb)