Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2004 memutuskan untuk merevsi 2 pasal dalam UU Migas tersebut. Pasal yang direvisi antara lain pasal 22 ayat 1 yang berbunyi:
"Badan usaha atau bentuk usaha tetap wajib menyerahkan paling banyak 25 persen bagiannya dari hasil produksi minyak bumi dan atau gas bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Yang direvisi adalah kata-kata paling banyak".
MK ketika itu merevisi kata-kata 'Paling Banyak'. MK menilai pasal itu bermasalah karena menyebutkan batas maksimal tanpa batas minimal sehingga menyebabkan badan usaha dapat memberikan bagian sekecil mungkin untuk kebutuhan dalam negeri. MK menilai pasal tersebut bertentangan dengan pasal 33 UUD 45.
Sementara dalam PP 55/2009 baru ini, kata-kata 'sebesar 25%' kembali muncul. Dalam pasal 46 ayat 3, dikatakan:
"Kewajiban kontraktor untuk ikut memenuhi kebutuhan sebagaimana dimaksudkan pada ayat 1 dilakukan dengan menyerahkan sebesar 25 persen dari hasil produksi minyak bumi dan/atau bagian kontraktor".
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Energy and Resources Law, Ryad A Chairil menilai, pasal dalam PP itu harus batal demi hukum karena bertentangan dengan keputusan MK.
"PP ini mencoba menghidupkan lagi pasal dalam UU Migas yang sudah direvisi oleh MK. Pasal itu harus batal demi hukum," ujarnya saat dihubungi detikFinance, Rabu (16/9/2009).
Selain itu, adanya izin dari menteri untuk ekspor seakan-akan membatasi Domestic Market Obligation (DMO). Padahal adanya izin tersebut seharusnya tidak membatalkan kewajiban untuk memasok kebutuhan domestik.
"Artinya walaupun ada izin ekspor dari menteri, tetap tidak membatalkan kewajiban kontraktor untuk memenuhi kewajiban domestiknya," pungkasnya.
Sementara Direktur Eksekutif Refor-Miner Institute, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan pasal yang menyebutkan mengenai kewajiban pasokan domestik itu terlalu normatif dan menyatakan sesuatu yang sudah jelas.
"Yang diperlukan sebenarnya adalah bagaimana pemerintah bisa membuat produsen atau KKS dan konsumen gas sepakat sehingga gas tidak perlu diekspor," tegasnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sesuai dengan keputusan MK, maka di PP yang baru, kata sekurang-kurangnya dihapus, jadi DMO 25%. Jadi nggak ada kata sekurang-kurangnya," tegas Evita.
Ia juga menegaskan, sebenarnya tidak ada yang baru dalam PP ini. Dalam PP sebelumnya juga memang memungkinkan untuk ekspor produksi.
"Di PP yang lama sudah ada, dimungkinkan untuk ekspor. Ini bukan hal yang baru, dari dulu juga sudah seperti itu," tegasnya.
Namun menurut Evita, hadirnya PP baru ini tidak otomatis membuat gas Senoro boleh diekspor. "Hasil dapat di wapres kan diminta untuk domestik. Sekarang kita sedang mengevaluasi konsumen domestik sanggupnya berapa," tegasnya.
Sementara Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro yang ditemui di Gedung DPR malah mengaku tidak tahu soal PP baru ini.
(epi/qom)