Wakil Ketua Kadin Indonesia Natsir Mansyur menganggap Kemendag tak punya upaya untuk menahan laju impor bahan baku, apalagi program hilirisasi mineral masih belum signifikan.
"Apa, programnya tidak ada yang jalan," tegas Natsir dalam pertemuan itu di Kantor Kadin Indonesia, Kuningan, Jakarta, Senin (26/5/2014).
Mendengar kritikan tersebut, Mendag Lutfi mengakui di luar impor produk Migas, impor bahan baku untuk industri termasuk yang tertinggi. "60% bahan baku kita masih diimpor, tentu kita harus cari penggantinya, ada 3 produk bahan baku yang paling tinggi yakni suku cadang otomotif, baja dan baja terapan dan petrokimia," katanya.
Menurutnya meski impor bahan baku cukup tinggi, namun hasil produksi barang jadi yang dihasilkan Indonesia diekspor lebih banyak daripada bahan baku yang diimpor.
"Otomotif, kita impor US$ 2,5 miliar tapi kita bisa ekspor US$ 4,5 miliar, impor baja tapi yang impor US$ 1,7 miliar tapi kita berhasil jual US$ 4 miliar, begitu juga produk petrokimia," ungkapnya.
Meskipun Indonesia menghasilkan baja, namun konsumsi baja per kapita masyarakat Indonesia masih sangat rendah dibandingkan dengan Singapura. Indonesia konsumsi bajanya hanya 7 kg per kapita per tahun, sedangkan di Singapura 700 kg per kapita per tahun.
"Dampaknya apa? kena 6 SR (gempa) di Jogyakarta 3.000 rumah rusak," ujarnya.
Pada kesempatan itu, Lutfi juga bercerita soal Indonesia yang harus impor hasil buangan kilang dari Thailand.
"Indonesia itu paling banyak impor bahan baku polyester, tekstil yang berbasis kimia, tapi memang kita banyak ekspor tekstil dari polyster juga," ucap Lutfi.
Hal ini terjadi karena Indonesia tidak memiliki kilang yang memproduksi aromatik yang merupakan hasil buangan dari kilang. "Faktanya pabrik petrokimia kita terpecah-pecah, kilangnya ada di Balongan, polyester-nya ada di Chandra Asih di Banten, kemudia Aromatiknya ada di Tuban, ini mau gimana?," ucapnya.
Ia mengungkapkan Indonesia impor aromatik hampir US$ 9 miliar dari Thailand dalam bentuk kondesat. Solusinya Indonesia harus membangun kilang baru untuk menekan impor bahan baku di sektor migas.
"Sakit nggak rasanya, kita impor dari Thailand yang di mana tidak menghasilkan minyak sampai 2010, padahal kondesat aromatiknya itu buangan dari kilang," ucapnya.
(rrd/hen)