Jokowi dipaksa merancang arah kebijakan ekonomi yang mampu meloloskan Indonesia dari jebakan kelas menengah, atau negara setengah kaya (middle income trap).
Wakil Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menuturkan, ada dua arah kebijakan yang bisa diimplementasikan oleh pemerintahan baru sebagai rencana jangka panjang. Pertama adalah revitalisasi manufaktur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia pernah merasakan tingginya pertumbuhan manufaktur di 1990-an. Kala itu pertumbuhannya mencapai 30% terhadap PDB. Berbeda dengan sekarang yang sulit menembus angka 25% tehadap PDB.
Sektor manufaktur, kata Bambang, akan melahirkan daya saing produksi yang kuat. Faktor penyebabnya adalah kapasitas dan skala ekonomi yang dihasilkan jumlahnya besar. Di samping itu sektor ini berpotensi masuk dalam rantai perdagangan dunia.
"Contohnya adalah otomotif. Dulu begitu banyak dipertanyakan karena diberikan berbagai fasilitas. Tapi sekarang neraca perdagangan kita dari otomotif itu surplus," jelasnya.
Manufaktur lain yang berpotensi dikembangkan adalah pertanian. Sebab, pertanian dapat menghasilkan produk untuk pemenuhan konsumsi, membuka banyak lapangan kerja dan mendorong ekspor.
Selanjutnya adalah, manufaktur kelompok jasa keuangan dan telekomunikasi. Ini merupakan kelompok modernisasi dengan nilai tambah yang tinggi.
"Jasa pun bisa punya nilai tambah tinggi. Jadi intinya kalau mau diversifkasi. Harus ada justifikasi value added (nilai tambah) yang dihasilkan," tukas Bambang.
Kedua adalah menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Termasuk di dalamnya peningkatan kualitas dari berbagai komponen seperti Sumber Daya Manusia (SDM). "Jadi bagaimana menjaga ekonomi tumbuh berkelanjutan dengan menjaga inklusif dan indeks kualitas," terangnya.
Bila dengan kerja keras, maka pada 15 tahun mendatang, Indonesia akan keluar dari jebakan negara kelas menengah. Rata-rata pertumbuhan ekonominya adalah 8,7% per tahun.
"Tapi itu memang sulit. Untuk 7% saja itu sudah susah. Lebih realistis saya katakan tahun 2040 dengan pertumbuahn rata-rata ekonmi 7% per tahun," tegas Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini.
(mkl/dnl)