Dalam perbincangan santai itu, pria yang akrab disapa Boy tersebut berpesan bahwa jangan takut berinovasi dan membuat terobosan. Ia pun membagi kisahnya saat banyak pelaku industri batu bara mempertanyakan kebijakan perusahaannya yang masuk ke sektor pembangkit listrik.
"Lima-enam tahun lalu ketika saya memutuskan Adaro masuk ke bisnis power plant (pembangkit listrik) di saat industri batu bara tengah menjadi primadona dengan permintaan tinggi dan harga yang menjanjikan," ujar dia, sore itu di Lobo Resto, Jakarta, Selasa (23/6/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pikiran saya simple waktu itu. Tambang ini adalah sektor yang tinggi risiko. Jadi saya perlu jalankan sektor yang stabil. Nah, bisnis powerplant (pembangkit listrik) ini bisa jadi stabilisator ketika tambangnya lagi turun," cerita dia.
"Kemudian, dengan membangun powerplant ini juga saya menciptakan market (pasar) baru. Kalau terjadi over supply (kelebihan suplai) batu bara seperti hari ini, kita nggak bergantung lagi dengan penjualan ekspor," sambungnya.
Dengan inofasi yang dilakukan, perusahaan tambang ini telah berubah menjadi perusahaan energi dengar jangkauan pasar yang lebih luas.
"Dulu 95% pendapatan Adaro berasal dari tambang. Saat ini 63% saja yang dari tambang sisanya 37% dari non tambang. Lima persen power dan 32% logistik. Lima-enam tahun ke depan, Adaro bisa lebih kuat lagi karena makin banyak powerplant yang kita bangun dan operasikan," cerita dia.
Dengan pola seperti ini, Boy percaya perusahaannya akan semakin kuat di tengah persaingan industri di sektor yang digelutinya.
"Pelan-pelan trennya domestik akan mengimbangi ekspor. Sekarang Adaro saja 20-23% domestik. Lima-enam tahun ke depan, kalau kita bisa perkuat domestik kita bisa punya daya tawar yang besar untuk menentukan harga ketika industri batu bara kembali menanjak," pungkasnya.
(dna/ang)