WTO Larang Subsidi Ekspor Produk Pertanian, Ini Dampak Bagi RI

WTO Larang Subsidi Ekspor Produk Pertanian, Ini Dampak Bagi RI

Michael Agustinus - detikFinance
Rabu, 23 Des 2015 12:58 WIB
Jakarta - Salah satu hasil penting dari Konferensi Tingkat Menteri (KTM) WTO di Nairobi, Kenya, pada 15-19 Desember 2015 lalu adalah kesepakatan Ministerial Decision yang menetapkan bahwa negara maju harus menghapus segala bentuk subsidi ekspor untuk petani mereka.

‎Dalam dokumen kesepakatan, disebutkan bahwa penghapusan subsidi ekspor pertanian ini harus dilakukan 'as soon as possible' alias segera oleh negara-negara maju. Sementara, negara berkembang masih diberikan waktu hingga 2018 untuk komponen promosi dalam subsidi ekspor pertanian, dan 2023 untuk komponen transportasi.

Meski hanya disebutkan 'as soon as posible' tanpa jangka waktu yang spesifik, negara maju harus menghapus subsidi ekspor pertanian sebelum 2018 karena negara berkembang sudah mulai menghapus pada tahun tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Mereka (negara maju) harus bikin arrangement, tapi harus segera dilakukan. Dalam kesepakatan Ministerial Decision dikatakan 'as soon as posible'. Mungkin bisa 2016," kata Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Bachrul Chairi, dalam konferensi pers di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu (23/12/2015).

‎Menurut Bachrul, kesepakatan ini merupakan kemajuan besar dalam pembahasan isu pertanian di WTO, sebab sudah 2 dekade tak ada pergerakan dalam pembahasan penghapusan subsidi ekspor pertanian negara maju.

"Isu pertanian yang paling berat (di KTM WTO). 20 tahun dibicarakan tidak ada pergerakan dari negara maju. Subsidi pertanian harus segera dihapus negara maju. Ini sudah disepakati," tandasnya.

‎Subsidi ekspor kepada petani di negara maju, sambungnya, merupakan salah satu penyebab keterpurukan petani di negara berkembang. Akibat serbuan komoditas pertanian dari negara maju yang disubsidi, para petani di negara berkembang mati perlahan. Hasil pertanian negara berkembang kalah bersaing karena tak disubsidi. Ujung-ujungnya, negara berkembang jadi ketergantungan pada impor komoditas pertanian dari negara maju.

Indonesia adalah salah satu korban dari kebijakan subsidi ekspor pertanian negara maju ini. Bachrul menyontohkan, sekarang Indonesia amat bergantung pada pasokan kedelai dari Amerika Serikat (AS). Para petani di Indonesia tak mau menanam kedelai karena pasti rugi, kedelai lokal kalah murah dibanding kedelai impor. Akibatnya, produksi kedelai di Indonesia sangat sedikit, hanya 30% dari total kebutuhan.

"Subsidi ekspor salah satu penyebab petani di negara berkembang terpuruk. Contohnya kedelai, competitiveness mereka (negara maju) jauh lebih tinggi. Kenapa sekarang 80 persen kedelai kita impor? Kita nggak bisa bersaing," tukasnya.

Karena itu, Bachrul mendesak agar negara-negara maju segera menjalankan kesepakatan yang sudah dicapai di Nairobi dengan meniadakan subsidi ekspor bagi produk pertanian mereka. Dengan begitu, sektor pertanian negara berkembang bisa bergairah. "Dengan tidak disubsidi akan kembali ke persaingan yang sehat," pungkasnya.

(hns/hns)

Hide Ads