Padahal dengan menggunakan skema ini, wajib pajak (WP) bisa dikenakan pajak berlipat. Karena, masing-masing harus menghitung besaran pajak sendiri, begitu juga saat pembayaran dan pelaporan.
"Jadi wanita kawin yang gajinya sama, bisa membayar pajak lebih besar karena berdiri sendiri," ungkap Yustinus Prastowo, Pengamat Pajak CITA, kepada detikFinance, Senin (1/2/2016)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun ketika masing-masing memiliki NPWP, maka harus dihitung secara terpisah. Caranya kedua penghasilan digabung, kemudian dibagi lagi berdasarkan masing-masing untuk pembayaran pajaknya.
"Makanya muncul tarif PPh progresif, karena dimungkinkan akan kena tarif lebih tinggi," jelasnya.
Prastowo menambahkan, kebijakan pembayaran pajak secara terpisah ini muncul ketika adanya revisi Undang-undang (UU) Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) tahun 2008. Alasannya adalah kesetaraan gender.
"Jadi karena kesetraan gender, kemudian ada revisi di 2008. Dengan masing-masing boleh memiliki NPWP cuma saat itu digabung dengan suami baru dibagi," kata Prastowo.
Persoalan yang muncul, justru bukan pada kesetaraan gender, melainkan kerumitan administrasi dan memungkinkan pembayaran pajak yang lebih besar.
"Ini menjadikan berat. Kesetaraan gender tidak tercapai, tapi justru membuat masalah di administrasi. Lebih baiknya wanita kawin mencabut NPWP dan ikut suami," terangnya. (mkl/wdl)