Untuk itu, Kementerian Pertanian didorong meningkatkan komitmen pada pengembangan produksi dan pemetaan kebutuhan pasar untuk menggenjot ekspor hortikultura, khususnya buah-buahan.
Kepala Badan Ketahanan Pangan, Gardjita Budi mengatakan, hambatan daya saing komoditas hortikultura Indonesia lebih dikarenakan faktor internal, seperti ketidakstabilan volume dan kualitas produksi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, penanganan pasca panen yang baik akan membuat buah-buahan tersaji dalam keadaan segar dan pasokannya ada sepanjang musim.
"Iklim Indonesia kan tropis, beda dengan subtropis, panen sekarang, minggu depan dia bisa awet. Kalau tropis, panen sekarang, harus langsung siangnya. Jadi sebenarnya lebih segar juga buah dipetik pagi ini atau kemarin, kita jual ke pasar besoknya, lebih segar. Tapi kalau penanganan tidak bagus, pembusukan bisa sekian hari," ungkapnya.
Faktor logistik juga termasuk hal yang menyebabkan harga produk Indonesia tidak kompetitif di negara tujuan ekspor. Namun demikian, potensi Indonesia untuk menjadi negara pengekspor buah tropis kata dia masih sangat besar.
"Karena buah tropis banyak diminta oleh pasar internasional, karena mereka belum tentu bisa memproduksi, karena iklim agroclimatic zone mereka. Banyak yang spesifik, negara lain tidak punya. Seperti manggis, sawo, salak, mangga, terbatas negara lain," tambahnya.
Hal ini terbukti dari pasar ekspor Indonesia yang masih didominasi oleh buah-buahan tropis seperti nanas, salak, dan manggis.
"Kalau pasar Singapura dan yang dekat-dekat, itu sekarang mangga. Dulu kan mangga Asia saja, sekarang Australia juga suka mangga," tukas dia.
Sebagai informasi, volume ekspor buah-buahan Indonesia pada tahun 2015 adalah sebesar 68.556 ton, dengan nilai ekspor sebesar US$ 37,7 juta atau meningkat 65,26% dibanding tahun 2014. Namun volume ekspor Indonesia masih kalah dengan volume impor yang mencapai 344.221 ton pada tahun 2015, dengan nilai impor sebesar US$ 534,83 juta. (dna/dna)