Bank Dunia dalam riset yang dipublikasi beberapa pekan lalu memproyeksikan, perekonomian dunia hanya mampu tumbuh 2,7% pada 2017. Masih sedikit lebih baik dari estimasi realisasi pada 2016 yang sebesar 2,3%.
Ini dengan asumsi ekonomi Amerika Serikat (AS) tumbuh 2,2%, Uni Eropa sebesar 1,5% dan Jepang 0,9%. Sementara negara berkembang diproyeksi tumbuh cukup bagus, yakni 4,2% atau lebih tinggi dibandingkan estimasi 2016 sebesar 3,4%.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Chatib Basri, Mantan Menteri Keuangan pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengaku, cukup sulit memprediksikan kondisi 2017. Apalagi kemudian harus ditentukan dalam angka-angka.
Ada beberapa tahapan yang perlu diperhatikan dalam kurun waktu enam bulan terakhir. Pertama adalah ketika kampanye calon Presiden Amerika Serikat (AS), terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS, dan pasca pelantikan.
Menurut Chatib, Bank Dunia dan IMF atau lembaga lain dengan fungsi yang sama, kebingungan dalam menyiapkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia. Hal ini dikarenakan proyeksi bisa saja berubah drastis pasca Trump dilantik sebagai Presiden AS.
Ketidakpastian juga muncul dari Eropa, terutama proses peralihan Inggris keluar dari Uni Eropa atau dikenal dengan istilah Brexit. Selain itu adalah China yang tengah mencari posisi yang tepat untuk kestabilan ekonomi dalam jangka panjang.
"Sangat sulit untuk memproyeksikan ekonomi global sekarang, karena ketidakpastiannya itu sangat besar," ungkapnya saat berbincang dengan detikFinance, Rabu (25/1/2017).
Fakta yang harus diterima adalah kondisi perdagangan internasional sedang dalam persoalan besar. Dalam satu dekade terakhir, maka periode 2016 dikatakan cukup buruk karena perdagangan internasional tumbuh di bawah angka pertumbuhan ekonomi.
Tercatat perdagangan internasional hanya tumbuh 1,9%. Salah satu istilah yang muncul adalah kondisi stagnasi sekuler yang artinya besarnya pasokan barang dari satu negara terhadap negara-negara lain atau hanya terjadi satu arah. Sehingga banyak industri pada banyak negara kemudian mati.
"Rendahnya perdagangan Internasional itu adalah persoalan yang serius dan menunjukkan bahwa ekonomi dunia itu memang sulit bergerak lebih tinggi," ujarnya.
Bila negara maju sulit untuk memacu pertumbuhannya dengan cepat, maka begitu juga dengan negara berkembang. Sedikit lebih tinggi dari ekonomi 2016, menurut Chatib sudah sangat baik. Artinya optimisme terhadap harus diimbangi dengan realitas yang terjadi.
Hal yang senada diungkapkan oleh Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk (BCA), David Sumual. Ekonomi dunia masih akan tumbuh moderat, di mana tidak akan jauh berbeda dibandingkan 2016. Ada ketidakpastian lain dari sisi geopolitik. Misalnya Prancis dan Jerman yang tahun ini juga akan melangsungkan pemilihan umum.
"Ada kemungkinan juga intalasi krisis di laut China selatan, apalagikan Trump lebih agresif secara geopolitik, kemungkinan lain hard landing di ekonomi China sendiri. Ini risiko yang harus diwaspadai," tegas David kepada detikFinance. (mkl/wdl)